Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem merasakan kekosongan dihidupnya dan tidak punya harapan lagi akan hidupnya
ketika ia mengingat kembali peristiwa ia kehilangan keperawanannya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tuturan 27 mengandung nilai
rasa hampa. Nilai rasa hampa diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari
fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui perasaan Pariyem kehilangan sesuatu yang sangat berharga baginya dan konteks
situasi komunikasi yang berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat
Pariyem membayangkan
kembali ingatannya
ketika ia
mengetahui bahwa ia sudah tidak perawan. Tuturan 27 dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo 2009:23
yakni kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi seharusnya mencerminkan “aura kesantunan”.
Berdasarkan contoh tuturan di atas, tuturan yang bernilai rasa hampa muncul pada penggunaan kalimat yang di dalamnya terdapat perasaan
kekosongan dari penutur terhadap sesuatu hal yang terlihat dalam tuturannya. Tuturan yang bernilai rasa hampa cenderung terasa santun
karena apa yang diucapkan menggunakan pilihan kata yang mencerminkan kesantunan.
4.2.2.7.3 Nilai Rasa Menyesal
Nilai rasa menyesal adalah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan menyesal penutur yang terdapat dalam tuturannya.
28. O, Allah Gusti nyuwun ngapura Kenapa ati saya nelangsa kejeblos ke dalam jugangan
Kenapa ati saya kelara-lara, terjaring ke dalam kegelapan Sumber data: Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 69,
data tuturan NRPP 69 Konteks tuturan : Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menceritakan
pada Mas Paiman mitra tuturnya perasaannya keesokan harinya setelah ia melakukan hubungan badan dengan Kang Kliwon
Data tuturan 28 yang digunakan Pariyem untuk mengungkapkan perasaannya pada Mas Paiman setelah ia melepaskan keperawanannya
pada Kang Kliwon mengandung nilai rasa menyesal yang terlihat dari unsur intralingual melalui penggunaan kalimat “Kenapa ati saya nelangsa
kejeblos ke dalam jugangan ” dan “Kenapa ati saya kelara-lara, terjaring
ke dalam kegelapan ”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan penyesalan
yang dirasakan Pariyem setelah kejadian itu, Pariyem merasa sedih kehilangan sesuatu yang sangat berharga yang harusnya ia jaga sampai
pernikahan. Nilai rasa menyesal diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari
fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang dirasakan Pariyem setelah mengetahui dirinya sudah tidak perawan lagi
dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat Pariyem membayangkan kembali ingatannya saat ia
kehilangan keperawanannya dan bisa merasakan rasa saat ia tersadar telah melakukan hal yang belum sepantasnya dilakukan. Tuturan 28 dirasa
santun karena mengatakan hal yang sebenarnya terjadi hal ini sesuai dengan prinsip kualitas menurut Grice 1975 dalam Pranowo, 2009:34
yakni apa yang dikatakan sesuai dengan data atau fakta yang sebenarnya.