kalimat itu pada Mas Paiman. Tuturan 23 dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo 2009 bahwa penggunaan
gaya bahasa
dapat mengefektifkan
tuturan menjaga
kesantunan berkomunikasi.
Selanjutnya analisis data tuturan 25 merupakan bentuk tindak tutur representatif yang berfungsi untuk memberitahukan sesuatu hal. Penutur
memberitahukan tentang perubahan yang terjadi dalam diri Kang Kliwon dengan menggunakan majas personifikasi yang dapat dilihat dengan unsur
intralingual melalui klausa “Jakarta sudah menelannya”. Melalui penggunaan majas personifikasi dalam tuturan tersebut mitra tutur dapat
membayangkan cara kota Jakarta mengubah seseorang di dalamnya, sehingga dapat dikatakan data tuturan 25 mengandung daya imajinasi
dengan menggunakan majas personifikasi. Daya imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi diperkuat dengan unsur ekstralingual
yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena tindak tutur representatif yang digunakan Pariyem untuk
menjelaskan sebab Kang Kliwon berubah dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang nyaman sehingga membuat Pariyem
leluasa membicarakan tentang Kang Kliwon pada Mas Paiman. Ungkapan “Jakarta sudah menelannya” dirasa santun karena dapat mengefektifkan
tuturan dan maksud yang disampaikan tidak secara langsung menunjuk pada gaya hidup Jakarta yang terkenal dengan kota metropolitan. Hal ini
sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo 2009 bahwa
penggunaan gaya
bahasa dapat
mengefektifkan tuturan
menjaga kesantunan berkomunikasi
Berdasarkan kelima contoh tuturan yang mengandung daya imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi di atas, dapat disimpulkan
bahwa daya imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi muncul karena penggunaan majas personifikasi pada klausa dan kalimat dalam
tuturan. Tuturan daya imajinasi dengan menggunakan majas personifikasi yang digunakan oleh Pariyem cenderung terkesan santun karena yang
diucapkan sesuai dengan fakta yang ada. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan tersebut sesuai dengan prinsip kualitas dalam berkomunikasi.
4.2.1.3 Daya Retoris
Daya retoris merupakan bentuk penggunaan fungsi bahasa untuk menanyakan sesuatu hal namun tidak membutuhkan atau tidak menuntut
jawaban dari mitra tuturnya. 26. Bukankah, bila suatu hari saya mati tak bakal saya mendengar pak
Lurah sesorah dan menyebutkan nama lengkap saya? Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 11,
data tuturan DBPP 11 Konteks tuturan : Tuturan ini diucapkan oleh Pariyem sebagai
tanggapan dari jawaban mitra tutur Mas Paiman mengenai pendapat Pariyem tentang penggunaan nama lengkap yang tidak boleh
digunakan secara sembarangan.
27. Apa perempuan dalam dunia politik ibarat bumbu masak dalam makanan? Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus
Suryadi Ag halaman 128, data tuturan DBPP 128 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah
percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat Mas Paiman mitra tuturnya mengenai kedudukan wanita
dari zaman Raja Kerajaan Singosari Sri Rajasa Kertanegara hingga Presiden Amerika John Kennedy
28. O, penderitaan mana yang lebih edan dibanding saat-saat ibu melahirkan? Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya
Linus Suryadi Ag halaman 158, data tuturan DBPP 158 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah
percakapan. Tuturan dikatakan oleh Pariyem yang menanggapi pendapat Mas Paiman mengenai penderitaan yang paling sakit di
dunia.
29. Lha apa ta tujuan orang hidup itu kalau bukan mencapai kebahagiaan ? Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag
halaman 177, data tuturan DBPP 177 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu
percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan Mas Paiman bahwa kebahagiaan dalam hidup itulah yang
dicari oleh orang.
Data tuturan 26 merupakan bentuk tindak tutur representatif yang digunakan untuk menanyakan sesuatu hal terhadap orang lain. Penutur
menanyakan pada mitra tuturnya apabila ia mati masih dapatkah ia mendengar nama lengkapnya disebutkan saat pidato kematiannya yang
dapat dilihat
dari unsur
intralingual melalui
kalimat pertanyaan
“Bukankah, bila suatu hari saya mati tak bakal saya mendengar pak Lurah sesorah dan menyebutkan nama lengkap saya?”
. Jawaban dari pertanyaan tersebut jelas terlihat sekali tentunya tidak mungkin, tanpa
harus menunggu jawaban dari mitra tuturnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa data tuturan 26 mengandung daya retoris. Daya retoris
diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa
Mas Paiman mengetahui kenyataan bahwa nama lengkap hanya digunakan saat-saat formal saja dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu
percakapan di sore hari yang membuat Pariyem mengeluarkan semua pendapatnya tentang penggunaan nama lengkap pada Mas Paiman.
Tuturan tersebut dirasa santun karena sesuai prinsip kesantunan yakni memenuhi prinsip kuantitas Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34 yakni
apa yang diucapkan cukup seperlunya saja tidak lebih dan tidak kurang. Data tuturan 27 bentuk tindak tutur representatif yang berfungsi
untuk menanyakan sesuatu hal terhadap orang lain. Pariyem bertanya pada Mas Paiman tentang kedudukan wanita hanyalah sebagai pelengkap seolah
tanpa wanita semua urusan dunia terasa hambar yang dapat dilihat dari unsur intralingual melalui kalimat “Apa perempuan dalam dunia politik
ibarat bumbu masak dalam makanan?” . Seperti sudah menjadi rahasia
umum kehadiran wanita memang menjadi pelengkap, tentu jawaban dari pertanyaan mitra tutur sudah terlihat jelas, sehingga dapat dikatakan data
tuturan 27 mengandung daya retoris. Daya retoris diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai
tuturan dapat dilihat dari fenomena tindak tutur yakni lokusinya berupa pertanyaan, ilokusinya sindiran Pariyem terhadap lelaki bahwa dunia tanpa
wanita pun tak akan bisa apa-apa, perlokusinya Mas Paiman jangan merendahkan wanita. dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu
percakapan saat
malam hari
ketika Pariyem
dan Mas
Paiman membicarakan tentang wanita dari jaman kerajaan Singosari hingga di
jaman modern ini. Data tuturan 27 dirasa santun karena mengibaratkan wanita dengan bumbu-bumbu makanan yang menjadi perasa dalam setiap
hidangan makanan, digunakan untuk mendeskripsikan fungsi wanita dalam kehidupan pria. Hal itu sesuai dengan prinsip kesantunan menurut
Pranowo 2009 yakni pemakaian bahasa dengan menggunakan gaya bahasa akan terasa lebih santun dibandingkan dengan tuturan biasa.
Selanjutnya data tuturan 28 merupakan bentuk tindak tutur representatif yang berfungsi untuk menanyakan sesuatu hal terhadap orang
lain. Pariyem
menanyakan adakah
penderitaan lain
yang lebih
menyakitkan daripada penderitaan saat melahirkan pada Mas Paiman yang dapat dilihat melalui unsur intralingual berupa kalimat “O, penderitaan
mana yang lebih edan dibanding saat-saat ibu melahirkan?” . Jawaban
dari pertanyaan tersebut tentunya tidak ada, tanpa mitra tutur menjawab pertanyaan tersebut Pariyem telah tahu jawabannya, sebab semua orang
pun tahu kesakitan wanita saat berjuang sendirian ketika melahirkan. Oleh karena itu, data tuturan 28 dapat dikatakan berdaya retoris. Daya retoris
diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena tindak tutur yakni
lokusinya berupa
pertanyaan, ilokusinya
permintaan agar
tidak meremehkan wanita sebab wanita jauh lebih pantas dihormati karena
berjuang sendiri melawan mautnya, dan perlokusinya Mas Paiman menghormati siapapun wanita yang ada disekitarnya dan konteks situasi
komunikasi yang berupa waktu percakapan dengan Mas Paiman saat membicarakan tentang proses seorang ibu hamil, merawat kandungannya
hingga ia melahirkan anaknya. Data tuturan 28 dirasa tidak santun karena
melanggar prinsip kesantunan berbahasa menurut Leech 1983 dalam Pranowo, 2009:102-103 yakni meminimalkan pujian terhadap diri sendiri.
Mitra tuturnya adalah seorang laki-laki, sedangkan Pariyem adalah seorang wanita yang hendak melahirkan. Tuturan yang dikatakan Pariyem
seolah membanggakan dirinya sebagai wanita sedangkan lelaki tidak pernah mengalami kesakitan yang berarti. Seharusnya penutur menjaga
agar tuturannya lebih santun. Data tuturan 29 merupakan bentuk tindak tutur representatif yang
digunakan untuk menanyakan sesuatu hal pada orang lain. Pariyem bertanya pada Mas Paiman tentang tujuan orang hidup adalah mencari
kebahagiaan yang dapat dilihat melalui unsur intralingual berupa kalimat “Lha
apa ta
tujuan orang
hidup itu
kalau bukan
mencapai kebahagiaan?”
. Pertanyan yang dilontarkan Pariyem pada dasarnya tidak membutuhkan jawaban dari mitra tuturnya karena pertanyaan tersebut
digunakan untuk meyakinkan diri penutur bahwa pendapatnya itu benar. Oleh karena itu tuturan 29 dapat dikatakan berdaya retoris. Daya retoris
diperkuat unsur ekstralingual berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena tindak tutur yakni yaitu lokusinya
berupa pertanyaan, ilokusinya Pariyem telah menemukan kebahagiaannya saat ini, perlokusinya Mas Paiman pun harus mencari kebahagiaan
hidupnya dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan di siang hari saat Pariyem berada di ladang sehingga ia dapat bertanya
pada Mas Paiman tentang tujuan orang untuk hidup di dunia. Data tuturan
29 dirasa santun karena memenuhi prinsip kuantitas Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34 yakni apa yang diucapkan cukup seperlunya saja tidak
lebih dan tidak kurang. Berdasarkan contoh tuturan yang mengandung daya retoris di atas,
dapat dikatakan bahwa daya retoris muncul pada penggunaan kalimat pertanyaan yang sudah terlihat jelas jawabannya sehingga tanpa menunggu
jawaban dari mitra tutur sudah menyimpan jawabannya. Tuturan yang mengandung daya retoris seperti yang diucapkan oleh Pariyem cenderung
terlihat santun. Penggunaan kalimat pertanyaan biasanya langsung pada intinya dan tidak bertele-tele, sehingga dapat dikatakan bahwa kalimat
yang berdaya retoris sesuai dengan prinsip kuantitas yakni yang dikatakan seperlunya saja tidak perlu dilebih-lebihkan atau dikurangi.
4.2.1.4 Daya Ancam
Daya ancam merupakan bentuk penggunaan bahasa yang berfungsi sebagai sindiran, ejekan maupun kritikan terhadap sesuatu hal. Daya
ancam ini ada yang dinyatakan secara langsung maupun tidak langsung.
4.2.1.4.1 Daya Kritik
Daya kritik merupakan bentuk pemakaian bahasa yang digunakan penutur untuk mengkritiki sesuatu hal. Adapun hal yang dikritiki dapat
berupa hal-hal yang bersangkutan dengan diri pribadi, orang lain maupun yang bersangkutan dengan masyarakat luas.
30. Ah, ya, maklum Jawa Baru, mas Semua serba pakai kelas