bahwa Mas Paiman perlu mendapatkan nasihat dari Pariyem untuk menjalani kehidupannya dan konteks situasi komunikasi yang berupa
waktu percakapan saat Pariyem dan Mas Paiman terlibat dalam percakapan mengenai hidup Mas Paiman dan waktu percakapan di siang
hari setelah Pariyem menyelesaikan pekerjaannya sehingga ia dapat mengutarakan pendapatnya pada Mas Paiman. Tuturan 35 dirasa tidak
santun karena melanggar prinsip cara Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34 yakni cara penyampaian tuturan ketika berkomunikasi. Penutur
secara langsung menohok mitra tutur dengan nasihatnya yang ditujukan pada
Mas Paiman.
Seharusnya penutur
lebih berhati-hati
dalam menyampaikan nasihat dengan memperhatikan perasaan mitra tutur,
sehingga tuturannya terkesan lebih santun. Dari tuturan di atas, dapat dikatakan bahwa daya nasihat muncul pada
pemakaian kalimat yang digunakan untuk memberikan nasihat ataupun saran terhadap orang lain. Karena digunakan untuk memberikan nasihat
maupun saran terhadap orang lain seharusnya tuturan yang mengandung daya nasihat perlu diperhatikan pilihan kata dan cara penyampaiannya
sehingga apa yang dikatakan mencerminkan kesantunan dan mitra tutur merasa tidak digurui oleh penutur.
4.2.1.6 Daya Harap
Daya harap merupakan bentuk penggunaan fungsi bahasa yang digunakan oleh penutur untuk menginginkan agar sesuatu hal dapat terjadi.
36. Semoga Dewi Sri Kembang yang cantik jelita Dewi Kesuburan yang melindungi kaum petani
Semoga menganugerahkan rahmat bagi padi yang ditanam dalam musim pengharapan. Dan menjauhkan hama tikus dan wereng yang
merusak penghidupan kami Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 6, data tuturan DBPP6
Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi
pertanyaan Mas Paiman mengenai harapan orang tua Pariyem yang memberinya nama Pariyem yang berasal dari nama padi.
37. Ya, ya, saya hanya berharap kelak Semoga thuyul yang saya kandung ini tidak nakal dan tidak manja
Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 161, data tuturan DBPP161
Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan Mas
Paiman tentang harapan apa yang diinginkan Pariyem setelah ngidhamnya telah terpenuhi.
Data tuturan 36 merupakan bentuk tindak tutur representatif. Pariyem mengharapkan Dewi Sri memberikan berkat untuk tanaman padi
para petani supaya dijauhkan dari hama tanaman yang dapat dilihat dari unsur intralingual melalui pilihan kata “semoga”. Penggunaan kata
“semoga” ini memiliki pengertian memanjatkan harapan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tuturan 36 mengandung daya harapan. Daya
harapan diperkuat dengan Unsur intralingual diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan
dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui harapan yang dipanjatkan orang tua Pariyem di dalam
namanya dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan saat mengingat harapan yang dipanjatkan bapak Pariyem pada Tuhan
melalui Dewi Sri melalui nama dan kelahiran Pariyem di musim tanam
padi. Tuturan 36 dipandang santun karena cara yang digunakan dan pilihan kata yang digunakan mencerminkan kesantunan terlebih tuturan
tersebut ditujukan pada sesuatu yang dihormati. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo 2009:23 yakni kata-kata yang
digunakan dalam
berkomunikasi seharusnya
mencerminkan “aura
kesantunan”. Data tuturan 37 merupakan bentuk tindak tutur representatif yang
digunakan untuk mengungkapkan sesuatu hal pada orang lain. Penutur berharap pada Tuhan supaya anak yang dikandungnya tidak menjadi anak
yang manja seperti yang terlihat melalui unsur intralingual berupa diksi “semoga”. Penggunaan kata “semoga” memiliki pengertian memiliki
harapan akan sesuatu hal, sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan 37 mengandung daya harapan. Daya harapan diperkuat dengan unsur
ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum tahu
harapan Pariyem akan jabang bayi yang dikandungnya dan konteks situasi komunikasi
yang berupa
waktu tuturan
saat Pariyem
terpenuhi ngidhamnya akan pisang dan mangga sehingga ia memanjatkan harapan
untuk anaknya supaya tidak rewel setelah terpenuhi inginnya. Ungkapan “thuyul” dirasa tidak santun karena digunakan untuk menyebutkan janin
yang ada di kandungan. Kata “thuyul” yang berasal dari kosakata bahasa Jawa yang memiliki berarti makhluk halus berupa anak-anak dirasa tidak
pantas untuk menyebutkan janin manusia. Hal ini melanggar prinsip