lelaki, oh,
dasar bebal
maunya menang
sendiri ”.
Kalimat ini
memperlihatkan Pariyem sangat kesal dengan kebanyakan lelaki, kalimat ini menjadi alasan bagi Pariyem untuk tidak mudah percaya orang lain.
Nilai rasa kesal diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena
praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui alasan Pariyem hanya mengaku pada Mas Paiman saja dan konteks situasi komunikasi yang
berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman sehingga ia merasa leluasa untuk mengatakan hal yang ingin ia ucapkan. Tuturan
40 dianggap tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan menurut Pranowo 2009:23 yakni menggunakan kata-kata yang mencerminkan
“aura kesantunan” dan penutur tidak menjaga perasaan mitra tuturnya atau sikap tepa selira
yang notabenenya adalah seorang laki-laki. Berdasarkan contoh tuturan di atas, tuturan yang bernilai rasa kesal
muncul pada penggunaan kalimat yang di dalamnya terdapat perasaan kesal dari penutur terhadap sesuatu hal. Tuturan yang bernilai rasa kesal
cenderung terasa tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan menurut
Pranowo yakni
menjaga perasaan
mitra tutur
ketika berkomunikasi
dan menggunakan
kata-kata yang
mencerminkan ketidaksantunan seperti penggunaan ungkapan “bebal”.
4.2.2.10.3 Nilai Rasa Tidak Terima
Nilai rasa tidak terima ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan tidak terima penutur yang dinyatakan dalam tuturannya.
41. O, inikah buah rasa berdosa? Inikah buahnya ngelmu dosa? O, saya menggugat, tak terima saya wajib bertanya-tanya Sumber
data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 42, data tuturan NRPP 42
Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang bertanya pada
mitra tuturnya Mas Paiman mengenai harga yang harus dibayar dari akibat dosa apakah setara dengan harga nyawa manusia.
Data tuturan 41 yang diucapkan Pariyem pada Mas Paiman dianggap bernilai rasa tidak terima dapat dilihat dari unsur intralingual melalui
penggunaan kalimat “O, saya menggugat, tak terima saya wajib bertanya- tanya
”. Kalimat ini memperlihatkan ketidakterimaan Pariyem akan hukum yang berlaku di masyarakat saat ini mengenai dosa seseorang. Nilai
rasa tidak terima diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena
praanggapan bahwa Mas Paiman mengetahui konsep dosa dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai saat
membicarakan tentang dosa dan ia teringat tetangga rumahnya yang bunuh diri karena merasa dirinya berdosa membuat Pariyem dapat mengeluarkan
semua pendapat dan pemikirannya pada Mas Paiman. Data tuturan 38 dianggap tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan menurut
Pranowo 2009:103-104 yakni menjaga perasaan mitra tutur ketika berkomunikasi atau sikap tepa selira. Penutur mengarahkan kemarahannya
kepada Mas
Paiman mitra
tutur, padahal
masyarakatlah yang
menghakimi orang-orang yang berdosa di lingkungannya. Seharusnya penutur
menjaga perasaan
mitra tuturnya
sehingga tuturan
yang diucapkannya terasa jauh lebih santun.