kata dan kalimat yang mengandung kata-kata kasar. Tuturan yang dikatakan Pariyem yang bernilai kasar cenderung terkesan tidak santun
karena menggunakan kata-kata yang bernilai kasar. Hal ini melanggar prinsip kesantunan yang menjaga tuturan dengan menggunakan pilihan
kata yang
mencerminkan kesantunan.
Seharusnya penutur
lebih memperhatikan diksi yang hendak digunakan supaya tuturan terasa lebih
santun.
4.2.2.3 Nilai Rasa Sadar Diri
Nilai rasa sadar diri atau tahu diri ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung kesadaran diri penutur yang terdapat dalam tuturan. Tentunya
penggunaan nilai rasa sadar diri membuat tuturan terkesan santun karena terlihat penutur lebih merendahkan dirinya.
10. Woadhuh, kayak saya pernah dolan dan menjenguk Sorga saja. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag
halaman 14, data tuturan NRPP 14 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah
percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahu mitra tuturnya Mas Paiman bahwa di Sorga nanti tidak akan ditanyai
tentang agama tetapi perbuatan yang dilakukan selama di dunia.
11. Ah, ya, jika saya suka ngomong bukan maksud saya mulang sampeyan
Terang, saya tak punya pendidikan saya pun tak pantas kasih wulangan Sumber data : Prosa Lirik
Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 85, data tuturan NRPP 85
Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pertanyaan Mas
Paiman
mengenai apa
maksud Pariyem
memberitahu tentang
piwulang-piwulang padanya.
Data tuturan 10 merupakan bentuk representatif, penutur meralat ucapannya
pada mitra
tuturnya. Tuturan
yang diucapkan
dinilai mengandung nilai rasa sadar diri yang ditunjukkan oleh unsur intralingual
yang berupa penggunaan kalimat “Woadhuh, kayak saya pernah dolan dan menjenguk
Sorga saja
.”. Penggunaan
kalimat tersebut
seolah memperlihatkan bahwa Pariyem sadar tentang perkataan yang keluar dari
mulutnya terlalu jauh dari kenyataan, kenyataannya ia juga belum pernah melihat Surga tetapi ia membicarakan tentang keadaan di surga. Nilai rasa
sadar diri diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena
praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang lebih penting daripada perdebatan soal agama yakni perbuatan yang dilakukan di dunia
ini dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi tuturan yang santai membuat Pariyem nyaman untuk bercerita tentang pendapat dirinya
mengenai pertanyaan-pertanyaan yang mungkin ia temui di Surga nanti pada Mas Paiman. Tuturan 10 dirasa santun karena menyadari tuturan
yang diucapkan terlalu tinggi dan menempatkan diri penutur pada tempat yang bersalah. Hal ini sesuai dengan prinsip menurut Leech 1983 yakni
tuturan lebih baik menimbulkan kerugian pada diri sendiri generosity maxim
. Data tuturan 11 merupakan bentuk tindak tutur representatif yang
digunakan untuk menjelaskan sesuatu hal. Pariyem menjelaskan bahwa ia tak pantas untuk memberitahukan pendapatnya pada Mas Paiman yang
dinilai mengandung nilai rasa sadar diri melalui unsur intralingual berupa kalimat “Terang, saya tak punya pendidikan saya pun tak pantas kasih
wulangan ”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem
menyadari dirinya tidak berpendidikan tinggi sehingga tak layak untuk memberikan ajaran-ajaran hidup, karena semua ajaran itu ia dapatkan dari
pahit getirnya pengalaman hidupnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan 11 mengandung nilai rasa sadar diri. Nilai rasa sadar diri
diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa
Mas Paiman tidak mengetahui maksud Pariyem menceritakan nilai-nilai yang ia dapatkan saat menguping majikannya memberikan piwulang pada
muridnya dan konteks situasi komunikasi yang berupa percakapan yang santai namun Pariyem tetap menghormati Mas Paiman sebagai orang yang
lebih tua darinya sehingga ia berusaha menghormati Mas Paiman dengan sikap dan tuturan yang ia jaga. Tuturan 11 dirasa santun karena
memenuhi prinsip kesantunan berkomunikasi yakni menjaga tuturan supaya terkesan tidak memuji diri sendiri sesuai dengan prinsip
kesantunan berkomunikasi menurut Leech meminimalkan pujian terhadap diri sendiri 1983 dalam Pranowo, 2009:102-103. Hal ini terlihat pada
tuturan di atas, Pariyem merendahkan diri dengan mengatakan bahwa ia tidak berpendidikan tinggi sehingga tidak pantas untuk memberikan
wejangan pada Mas Paiman.
Berdasarkan contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai rasa sadar diri terdapat pada penggunaan kalimat yang mencerminkan keadaan sadar
dari si penutur. Tuturan yang mengandung nilai rasa sadar diri cenderung terlihat santun karena menjaga tuturan supaya terkesan tidak memuji diri
sendiri.
4.2.2.4 Nilai Rasa Takut- Cemas
Nilai rasa takut ialah kadar perasaan bahasa yang dinilai mengandung perasaan takut, gelisah, khawatir, cemas, bingung yang terdapat dalam
tuturan.
4.2.2.4.1 Nilai Rasa Takut
Nilai rasa takut ialah kadar perasaan takut yang terkandung dalam bentuk penggunaan bahasa untuk mengungkapkan perasaannya.
12. Dan saya hanya bisa kethap-kethip Bagaikan kera kena tulup pemburu Sumber data: Prosa Lirik
Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 147, data tuturan NRPP 147
Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menceritakan keadaan dirinya
saat berada di sidang pengadilan keluarga yang membahas soal kehamilannya.
Tuturan 12 merupakan bentuk ekspresif penutur saat ia dihadapkan pada sidang keluarga majikannya. Tuturan dirasa mengandung nilai rasa
takut seperti yang terlihat pada ditandai unsur intralingual melalui kalimat “Dan
saya hanya
bisa kethap-kethip
”. Penggunaan
kata ini
memperlihatkan yang dapat dilakukan oleh Pariyem saat ia berada di sidang keluarga Suryamentaraman hanyalah memainkan matanya saja,
seolah ia takut menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. Hal ini menunjukkan bahwa Pariyem merasa takut dengan apa terjadi pada dirinya
saat sidang pengadilan dari keluarga Suryamentaraman berlangsung. Nilai rasa takut diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks
tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang dirasakan
Pariyem saat disidang oleh keluarga Suryamentaraman dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem
dapat mengingat kejadian saat pengadilan keluarga Suryamentaraman berlangsung. Tuturan 12 dirasa santun karena menggunakan majas
perumpamaan untuk menghaluskan tuturan yang dirasa keras, sehingga tuturan terkesan lebih efektif dan santun. Hal ini sesuai dengan prinsip
kesantunan menurut Pranowo 2009 bahwa penggunaan gaya bahasa dapat mengefektifkan tuturan menjaga kesantunan berkomunikasi.
Dari contoh di atas, dapat dilihat bahwa nilai rasa takut muncul pada kalimat yang dinilai mengandung perasaan takut dari diri penutur. Tuturan
yang mengandung nilai rasa takut cenderung santun karena tuturan dijaga supaya memperlihatkan apa yang diucapkan penutur juga dirasakan oleh
mitra tutur.
4.2.2.4.2 Nilai Rasa Gelisah
Nilai rasa gelisah ialah kadar rasa gelisah atau tidak tenang dari penutur yang disebabkan oleh sesuatu hal yang meresahkan sehingga perasaan
gelisah muncul dalam tuturannya.
13. O, saya belum tahu mau diajak apa namun naluri sudah mengatakan Rasa gagu menjebak saya- ingkar- tapi gejolak darah membujuk gencar
Hati kemrungsung meraung-raung saya pun tidak bisa mengelakkan Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag
halaman 66, data tuturan NRPP 66 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan.
Tuturan diucapkan Pariyem yang menceritakan kenangannya di masa silam pada Mas Paiman.
Tuturan 13 merupakan bentuk representatif. Pariyem menceritakan pada Mas Paiman tentang perasaannya saat ia diajak Kang Kliwon ke
tempat yang sepi. Tuturan yang diucapkan oleh Pariyem mengandung nilai rasa gelisah yang terlihat dari unsur intralingual melalui penggunaan
kalimat “Rasa gagu menjebak saya- ingkar- tapi gejolak darah membujuk gencar
”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan kegugupan Pariyem saat akan diajak melakukan sesuatu yang ia khawatirkan, sehingga perkatakan
yang keluar dari mulutnya terlihat gelisah karena dikatakan pada keadaan yang tidak tenang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tuturan 13
mengandung nilai rasa gelisah. Nilai rasa gelisah diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan
dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui apa yang dirasakan Pariyem saat diajak Kang Kliwon di gubug
dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi tuturan yang santai sehingga membuat Pariyem membayangkan kembali kejadian di masa
silamnya ketika ia diajak untuk melakukan hal yang sudah ia duga. Tuturan 13 dianggap santun karena sesuai dengan prinsip kualitas Grice,
1975 dalam Pranowo 2009:34 yakni yang dikatakan sesuai dengan fakta