Nilai Rasa Hormat Nilai Rasa Halus

komunikasi yang berupa suasana percakapan yang santai, sehingga dalam suasana yang demikian Pariyem dapat leluasa berbicara untuk mengenalkan dirinya pada Mas Paiman. Tuturan 3 dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kesantunan berbahasa yang menggunakan pilihan kata yang mencerminkan kesantunan, hal ini dapat dilihat dari penggunaan frasa “nuwun sewu” yang diperkirakan penutur tuturannya dapat menyinggung perasaan mitra tuturnya. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo 2009:23 yakni kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi seharusnya mencerminkan “aura kesantunan”. Data tuturan 4 merupakan bentuk representatif yang berfungsi untuk memberitahukan diri majikan Pariyem yakni nDoro Kanjeng. Tuturan yang digunakan oleh Pariyem untuk memberitahukan diri majikannya mengandung nilai rasa sopan seperti yang ditunjukkan unsur intralingual melalui penggunaan diksi “priyayinya”. Kata “priyayi” merupakan bentuk krama inggil dari kata “orang” sehingga penggunaan kata ini jauh lebih sopan dibandingkan dengan kata yang lain. Penggunaan diksi ini memperlihatkan Pariyem sangat menghormati majikannya sehingga ia menggunakan kata tersebut untuk menyebut diri nDoro Kanjeng, sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan 4 mengandung nilai rasa sopan. Nilai rasa sopan diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum mengetahui pribadi tentang majikan Pariyem dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman sehingga ia merasa leluasa untuk menceritakan tentang diri nDoro Kanjeng pada Mas Paiman. Tuturan 4 dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kesantunan berbahasa yang menggunakan pilihan kata yang mencerminkan kesantunan, hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata “priyayi” yang digunakan untuk orang yang lebih dihormati. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo 2009:23 yakni kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi seharusnya mencerminkan “aura kesantunan”. Selanjutnya, data tuturan 5 merupakan bentuk representatif yang digunakan untuk menceritakan sesuatu hal. Penutur menceritakan saat Kang Kliwon meminta maaf pada orang yang lebih tua unsur intralingual melalui penggunaan kalimat “Kula sowan wonten ing ngarsanipun mbah putri.”, “Sepisan : nyaosaken sembah pangabekti mugi katur ing ngarsanipun simbah.”, “Ongko kalih : mbok bilih wonten klenta- klentuning atur kula saklimah tuwin lampah kula satindak.”, “Ingkang kula jarag lan mboten kula jarag ingkang mboten ndadosaken sarjuning penggalih.”, “Mugi simbah kersa maringi gunging samodra pangaksami.”, “Kula suwun kaleburna ing dinten Riyadi punika.”, “Lan ingkang wayah nyuwun berkah saha pangestu ”. Penggunaan wacana ini memperlihatkan bahwa Kang Kliwon masih menghormati orang tua dengan berkata menggunakan bahasa Jawa krama inggil dan berkelakuan sopan di hadapan orang tua seperti yang diceritakan oleh Pariyem. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan 5 mengandung nilai rasa sopan. Nilai rasa sopan diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum mengetahui cara Kang Kliwon meminta maaf pada orang yang lebih tua dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang nyaman membuat Pariyem mengingat saat Kang Kliwon meminta maaf pada orang yan lebih tua sehingga ia dapat bercerita dengan bebas pada Mas Paiman. Tuturan 5 dianggap santun karena menggunakan bahasa krama inggil yang memperlihatkan ia sangat menghormati orang tua dan didukung gerakan tubuh yang memperlihatkan ia berlaku sopan di hadapan orang yang lebih tua. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo 2009:23 yakni kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi seharusnya mencerminkan “aura kesantunan”. Berdasarkan ketiga contoh tuturan yang mengandung nilai rasa sopan, dapat disimpulkan bahwa nilai rasa sopan muncul pada penggunaan pilihan kata, frasa maupun kalimat yang mencerminkan kesopanan didalamnya. Sebagai orang Jawa, Pariyem tidak meninggalkan unggah- ungguh dan tatakrama ketika berbicara atau membicarakan orang yang lebih dihormati. Seperti yang terdapat pada data tuturan 3 dan 4 Pariyem menggunakan kata “nuwun sewu” dan “priyayinya”, hal ini dapat memperlihatkan nilai kesopanan dari penutur ketika berbicara. Penggunaan kosakata Jawa memang dapat memperlihatkan seseorang menghormati orang lain atau tidak, sebab dalam bahasa Jawa terdapat tingkatan berbahasa yakni ngoko digunakan untuk orang yang sebaya, krama digunakan untuk orang yang dihormati, dan krama inggil penggunaan bahasa yang lebih halus, tingkatnya lebih tinggi dari krama.

4.2.2.2 Nilai Rasa Kasar

Nilai rasa kasar ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan yang tidak patut untuk diucapkan di dalam tuturan. Tuturan yang mengandung nilai rasa kasar tentunya terkesan tidak santun sebab memuat kata-kata yang tidak mencerminkan kesantunan. 6. Asih, Asah dan Asuh Dan saya sudah 3A sebagai babu, kok Saya songkokkan di dada sebagai kutang menyongkok penthil Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 23, data tuturan NRPP 23 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan tersebut diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan Mas Paiman mengenai prinsipnya sebagai seorang pembantu yang senantiasa dipegang oleh Pariyem. 7. Karsa mrentul di dalam sanubari sebagai puting susu disedot lelaki Muncul keluar ia membutuhkan papan Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 25, data tuturan NRPP 25 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menjelaskan prinsip 3K sebagai babu yang ia pegang dalam hidupnya dengan menggunakan perumpamaan pada Mas Paiman. 8. Dan saya langka mencaci orang, lho Kecuali orangnya memang sontoloyo Dan makian “lonthe” bagi wanita Jawa ialah makian paling kasar dan kotor Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 27, data tuturan NRPP 27 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mitra tuturnya Mas Paiman mengenai pengalaman Pariyem dalam memaki-maki orang lain.

Dokumen yang terkait

Unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada ``Catatan Pinggir`` Majalah Tempo Edisi Januari - September 2013 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 2 2

Unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi pada top news di Metro TV bulan November-Desember 2014.

3 49 352

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada acara Sentilan Sentilun Metro TV periode Agustus dan September 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 1 391

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada dialog interaktif Indonesia Lawyers Club Tv One periode November 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 1 317

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada tuturan berita politik koran Kompas edisi September - Oktober 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 7 307

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada karikatur koran tempo edisi September - Desember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 4 298

MAKNA SATUAN LINGUAL BERBAHASA JAWA DALAM PROSA LIRIK PENGAKUAN PARIYEM KARYA LINUS SURYADI AG.

0 0 1

IMPERATIF DALAM BAHASA INDONESIA : PENANDA-PENANDA KESANTUNAN LINGUISTIKNYA

0 0 8

Kesantunan Mahasiswa Dalam Berkomunikasi bahasa

0 0 6

B 02 Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa Sebagai Penanda Kesantunan Dalam Berkomunikasi

0 0 20