Subjek hukum masyarakat adat

1. Subjek hukum masyarakat adat

Salah satu kewenangan strategis yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang‐undang terhadap UUD 1945. Dikatakan strategis karena perkara ini yang paling banyak ditangani oleh Mahkamah Konstitusi dan putusan terhadap perkara ini berdampak luas karena keberlakuan undang‐undang di Indonesia berlaku secara nasional, kecuali undang‐undang tertentu yang diberlakukan parsial. Pengujian undang‐undang dilakukan agar undang‐undang yang dibuat oleh DPR bersama dengan pemerintah tidak menimbulkan kerugian konstitusional warga negara. Pihak yang merasa dengan berlakunya suatu undang‐ undang telah melanggar hak konstitusionalnya dapat mengajukan permohonan pengujian undang‐undang kepada Mahkamah Konstitusi. Salah satu pihak yang dapat menjadi pemohon dalam perkara pengujian undang‐undang adalah masyarakat adat, sebagaimana disebut kan dalam sal 51 at (1) UU No. 24/2003 tentan Pa ay g Mahkam ah Konst si. itu

Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlaku nya undang‐undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang‐undang;

c. badan hukum pu blik atau privat; atau

d. lembaga negara.

Masyarakat adat yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak yang dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi dilekati dengan persyaratan sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang‐undang. Persyaratan ini mengikuti pola Masyarakat adat yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak yang dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi dilekati dengan persyaratan sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang‐undang. Persyaratan ini mengikuti pola

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak‐hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, y ang diatur dalam undang‐undang.” 16

Dimasukkannya masyarakat adat sebagai salah satu pihak yang dapat menjadi pemohon dalam pengujian undang‐undang suatu penerimaan bahwa masyarakat adat memiliki hak‐hak konstitusional yang dapat saja terlanggar dengan berlakunya suatu ketentuan undang‐undang. Istilah kesatuan masyarakat hukum adat yang dipakai sebagai salah satu subjek hukum yang memiliki legal standing untuk pengujian undang‐undang merupakan pembeda keberadaannya dengan subjek hukum lain. Dengan kata lain, kesatuan masyarakat hukum adat bukanlah perorangan warga negara Indonesia, bukan pula badan hukum publik yang contohnya seperti desa, kecamatan, kelurahan. Bukan pula badan hukum privat seperti perusahaan maupun koperasi. Dan tentu juga buka lembaga negara. Karena disebut tersendiri, maka sebenarnya masyarakat adat merupakan subjek hukum yang unik. Keunikan tersebutlah yang kemudian, agaknya yang mendorong para pembentuk hukum untuk m emberikan sejumlah persyaratan etang keberadaannya. t

MK pertama kali memberikan makna konstitusional terhadap subjek hukum masyarakat adat melalui putusan perkara No. 10/PUU‐I/2003 perihal pengujian Undang‐ undang No. 11 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang‐Undang No. 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Singingi, dan Kota Batam. Dalam permohonan tersebut ada pihak yang mengajukan diri dengan legal standing sebagai masyarakat adat. Karena ada permohon demikian, maka Mahkamah Konstitusi menjelaskan terlebih dahulu legal standing pemohon dengan memberikan makna terhadap Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menjadi dasar konstitusional keberadaan masyarakat adat.

Dalam putusan tersebut MK memandang perlu untuk menentukan kriteria atau tolok ukur terpenuhinya ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dimaksud yaitu bahwa kesatuan masyarakat hukum adat tersebut:

1. masih hidup;

2. sesuai dengan perkembangan masyarakat;

4. sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republ ik Indonesia; dan

5 . ada pengaturan berdasarkan undang‐undang.

Selanjutnya MK menilai bahwa suatu kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actual existence) baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional setidak‐tidaknya mengandung unsur‐unsur (i) adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in­group feeling); (ii) adanya pranata pemerintahan adat; (iii) adanya harta kekayaan dan/atau benda‐benda adat; Selanjutnya MK menilai bahwa suatu kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actual existence) baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional setidak‐tidaknya mengandung unsur‐unsur (i) adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in­group feeling); (ii) adanya pranata pemerintahan adat; (iii) adanya harta kekayaan dan/atau benda‐benda adat;

MK berpendapat bahwa kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak‐hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut:

1. Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang‐undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai‐nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang‐undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain‐la n maupu dalam erat ran daerah i n p u ;

2. Substansi hak‐hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak

b ertentangan dengan hak‐hak asasi manusia.

Kemudian disampaikan bahwa MK berpendapat suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak‐hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum yaitu:

1. Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia;

2. Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan.

Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 akan memiliki konsekuensi dalam perancangan peraturan perundang‐undangan kedepan sebab tafsir konstitusional oleh MK memiliki nilai strategis sebab MK dalam berbagai literatur kajian konstitusi diposisikan sebagai the sole interpreter of the constitution dan the guardian of the constitution. Dengan demikian, setiap perancangan peraturan perundang‐undangan kedepan perlu memperhatikan tafsir MK. Bila tidak, maka berpotensi dibatalkan bila diajukan pengujian kepada MK.

Di samping implikasi dalam perancangan peraturan perundang‐undangan, putusan MK tentu juga mendapat tantangan dalam praktik‐praktik lapangan. Pertanyaanya adalah apakah tafsir MK telah sesuai dengan realitas keberadaan masyarakat adat yang selama ini telah mengalami perampasan tanah dan menghadapi kerumitan‐kerumitan birokrasi untuk menegaskan kebedaaan serta memperjuangkan hak mereka atas tanah dan sumber daya alam lai nnya.

Unsur adanya pranata adat misalkan merupakan ukuran terpenting, tetapi banyak pranata adat yang telah hancur, bahkan menjadi hancur karena penyeragaman sistem pemerintah yang dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya. Penyeragaman yang menghancurkan pranata adat itu kemudian direspons pada masa reformasi dengan merevitalisasi dan menghidupkan kembali pranata lama. Kecenderungan ini terjadi di beberapa tempat misalkan dengan kembali kepada Sistem Pemerintah Nagari di Sumatra Barat, Sistem Gampong dan Mukin di Aceh dan diberbagai penjuru lainnya.