Afirmasi Kebijakan Pemenuhan Hak­Hak Konstitusional

D. Afirmasi Kebijakan Pemenuhan Hak­Hak Konstitusional

Tipologi kawasan perbatasan dalam banyak hal memiliki perbedaan yang signifikan dengan kawasan lainnya di luar perbatasan, seperti letak geografisnya yang berdekatan dengan Negara lain, fungsi kawasan yang kompleks, hubungan sosial dan ekonomi masyarakatnya. Oleh sebab itu, maka pengembangan wilayah perbatasan harus disesuaikan dengan karakteristik wilayah tersebut. Menurut Wu (2001), terdapat beberapa kriteria mendasar yang berbeda dengan pengembangan wilayah konvensional yaitu: immobilitas dari faktor produksi, adanya biaya transaksi dan delay, sistem ekonomi yang berbeda, isu institusi, penetapan perwilayahan, dan peran sektor informal. Dimensi ekonomi sangat mewamai sifat dari wilayah perbatasan, apakah kemungkinan tersebut menjadi sebuah keuntungan ataupun kerugian dari wilayah perbatasan sangat tergantung pada lokalitas dan peran dari pemerintah sebagai pemangku kebijakan utama pengelolaan perbatasan. Tipologi kawasan perbatasan ini secara esensial menjelaskan kunci karakteristik dari pengembangan kawasan perbatasan, sehingga setiap tahapan dapat diidentifikasi. Tipologi ini berfokus pada faktor penting yang berkontribusi ataupun yang menghalangi dalam pengembangan wilayah perbata san (Wu, 2001).

Perkembangan sebuah kawasan perbatasan dapat dilihat dengan mengetahui berbagai faktor terkait dengan elemen penting dalam sebuah kawasan perbatasan. Tipologi tersebut menggambarkan satu kesatuan dengan menggunakan terminology Ratti (1993), yang bergerak dari frontier (wilayah terdepan) menjadi barrier (pembatas), kemudian menuju border (perbatasan) sebagai filter kemudian menjadi border region (wilayah perbata san) sebaga zon ontak dimana kerjasama pembang nan bih terlihat. i ak u le

Sementara itu, Martinez sebagaimana dikutip oleh Tirtosudarmo (2002), mengkelompokkan perbatasan dari segi politik dalam empat tipe. Pertama, Alienated borderland: yaitu suatu wilayah perbatasan yang tidak terjadi aktifitas lintas batas, sebagai akibat berkecamuknya perang, konflik, dominasi nasionalisme, kebencian ideologis, permusuhan agama, perbedaan kebudayaan dan persaingan etnik. Kedua, Coexistence borderland; yaitu suatu wilayah perbatasan dimana konflik lintas batas bisa ditekan sampai ke tingkat yang bisa dikendalikan meskipun masih muncul persoalan yang penyelesaiannya berkaitan dengan masalah kepemilikan sumberdaya alam yang strategis di perbatasan. Ketiga, Interdependent borderland; yaitu suatu wilayah perbatasan yang di kedua sisinya secara simbolik dihubungkan oleh hubungan intemasional yang relatif stabil. Penduduk di kedua bagian daerah perbatasan, juga di kedua negara terlibat dalam berbagai kegiatan perekonomian yang saling menguntungkan dan kurang lebih dalam tingkat yang setara, misalnya salah satu pihak mempunyai fasilitas produksi sementara yang lain memiliki tenaga kerja yang murah. Keempat, Integrated borderland; yaitu suatu wilayah perbatasan yang kegiatan ekonominya merupakan sebuah kesatuan, nasionalisme jauh menyurut pada Sementara itu, Martinez sebagaimana dikutip oleh Tirtosudarmo (2002), mengkelompokkan perbatasan dari segi politik dalam empat tipe. Pertama, Alienated borderland: yaitu suatu wilayah perbatasan yang tidak terjadi aktifitas lintas batas, sebagai akibat berkecamuknya perang, konflik, dominasi nasionalisme, kebencian ideologis, permusuhan agama, perbedaan kebudayaan dan persaingan etnik. Kedua, Coexistence borderland; yaitu suatu wilayah perbatasan dimana konflik lintas batas bisa ditekan sampai ke tingkat yang bisa dikendalikan meskipun masih muncul persoalan yang penyelesaiannya berkaitan dengan masalah kepemilikan sumberdaya alam yang strategis di perbatasan. Ketiga, Interdependent borderland; yaitu suatu wilayah perbatasan yang di kedua sisinya secara simbolik dihubungkan oleh hubungan intemasional yang relatif stabil. Penduduk di kedua bagian daerah perbatasan, juga di kedua negara terlibat dalam berbagai kegiatan perekonomian yang saling menguntungkan dan kurang lebih dalam tingkat yang setara, misalnya salah satu pihak mempunyai fasilitas produksi sementara yang lain memiliki tenaga kerja yang murah. Keempat, Integrated borderland; yaitu suatu wilayah perbatasan yang kegiatan ekonominya merupakan sebuah kesatuan, nasionalisme jauh menyurut pada

wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia termasuk diantara tipe kedua dan ketiga yaitu: Coexistence dan Interdependent borderland. Kondisi ini ditandai dengan tumbuhnya

komitmen untuk hidup bertetangga secara damai diantara kedua Negara, dan juga semakin intensifnya kerjasama lintas batas dalam naungan Sosek Malindo.

Berangkat dari kondisi obyektif tersebut, maka fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial dalam teori Roescoe Pund (1921), maka dalam konteks perbatasan harus mampu mengawal perubahan paradigmatik Negara terhadap perbatasan menjadi aksi konkrit menuju kesejahteraan. Terciptanya tujuan hukum sebagaimana dikehendaki oleh Roscoe Pound, dalam teori rekayasa sosial, lebih khusus adalah dalam kaitannya dengan upaya manusia dalam memenuhi kepuasan akan kebutuhan dan kemauan manusia, rasa aman dari peroleh kepentingan yang lebih baik dalam proses peradabannya. Lebih lanjut Roesco Pound menegaskan, bahwa rekayasa sosial dalam kaitannya dengan pembangunan masyarakat melalui upaya mencapai tujuan hukum, yaitu suatu perubahan‐perubahan terdiri dari pemikiran tidak sekedar dalam mengharmonisasikan kemauan manusia yang abstrak, akan tetapi pengamanan konkrit atau merealisasikan kepentingan manusia dalam wujud dan hasrat d an kepentin gan kebendaan umat manusia.

Kelemahan Social Engineering Rescoe Pound ini selain dalam teori dan praktek hanya memberikan peran dominan pada penguasa, juga tidak memberi peluang yang cukup bagi masyarakat lemah. Tetapi, bagi Negara‐negara yang sedang membangun, seperti halnya pemerintah Indonesia pada masa orde baru 1973 s/d 1997, tampaknya masih tetap relevan bagi upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tetapi, tidak sekaligus membawa dampak pemerintahan terhadap masyarakat (tricle down effect). Bahkan kecenderungan teori Social Enginee ring me gabaikan hak‐hak m syarakat. n a

Namun demikian, peranan kebijakan hukum tersebut dapat bermakna positif manakala upaya rekayasa sosial masyarakat dilandasi dengan semangat afirmasi dan nilai‐ nilai demokrasi. Dengan kata lain, kebijakan pembangunan kawasan perbatasan harus menjadi kemauan kuat pemerintah sebagai wujud tanggungj awabnya dalam melaksanakan kedaulatan Negara di perbatasan. Sementara wujud demokrasinya, adalah memperhatikan aspirasi lokalitas perbatasan yang memiliki karakteristik yang khas dan strategis dalam konstelasi NKRI.

Kewajiban konstitusional Negara yang dituangkan dalam UUD 1945 dengan gamblang tertera pada bagian pembukaannya, yakni:..... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia serta memajukan kesejahteraan umum ..... ' merupakan salah satu tujuan Negara Republik Indonesia, yang jika dikristalisasikan salah satunya dalam bentuk kewajiban negara untuk merealisasikan pemenuhan hak masyarakatnya. Kegagalan negara/pemerintah dalam memenuhi kewaj ibannya dalam melindunggi dan memenuhi hak masyarakat tersebut akan melahirkan isu keadilan korektif sebagai justifikasi perlunya upaya hukum untuk menegakkan keadilan distributif (Yahya, 2011).

Kondisi sebaliknya, kalau negara (yang harusnya melakukan tapi) tidak melakukan kewajiban itu dianggap sebagai pelangg aran hak dengan pembiaran, sebagai contoh:

1. dalam Prinsip Limburg (UN Doc. E/CNA/1987/17), kegagalan negara untuk melakukan 1. dalam Prinsip Limburg (UN Doc. E/CNA/1987/17), kegagalan negara untuk melakukan

2. kegagalan merubah atau mencabut aturan yang sungguh‐sungguh tidak konsisten dengan kewajiban yang ada dalam kovenan ini.

3. kegagalan melaksanakan aturan atau memberlakukan kebijakan yang diperuntukan bagi pemenuhan hak‐hak masyarakat pesisir.

4. kegagalan mengatur pihak ketiga (termasuk modal) entah individu atau kelompok agar mereka mencegah melakukan pelanggaran hak masyarakat;

5. kegagalan negara memperhitungkan aspek ekonomi, sosial dan budaya dalam membuat perjanjian intemasional dengan negara lain, sebuah orgarusasi intemasional, atau dengan perusahaan multinasional. Dalam hal ini, negara tetap dianggap sebagai pihak yang memiliki kapasitas untuk menjamin pencegahan pelanggaran oleh pihak ketiga.

Berdasarkan pada ketentuan‐ketentuan normatif tersebut, maka untuk mengantisipasi kegagalan pemerintah dalam menderivasikan kebijakan pembangunan yang berbasis pada kesej ahteraan, maka perlu merumuskan kebijakan yang berbasis pada perspektif afirmasi dan demokrasi. Sinyalemen ini sebenamya sudah terlihat dalam beberap a perundang‐undangan ektoral. s

Misalnya, berdasarkan Undang‐Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Prop enas) telah dijelaskan bahwa dalam pengembangan wilayah perbatasan perlu di prioritaskan dan mendapat perlakuan khusus dalam rangka peningkatan taraf hidup, kesejahteraan masyarakat, serta mengokohkan ketertiban dan keamanan daerah yang berbatasan dengan negara lain, Program prioritas ini dijabarkan lagi dalam Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang disusun setiap tahun dan bertujuan untuk menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menjadikan wilayah perbatasan sebagai beranda depan negara melalui delimitasi dan demarkasi batas, pengamanan wilayah perbatasan dan pembangunan sosial ekonomi wilayah sepanjang perbatasan. Rencana pembangunan tahunan wilayah perbatasan tahun 2004 misalnya dijabarkan dalam 3 (tiga) kelompok kegiatan, yaitu kelompok kegiatan penetapan garis batas intemasional, kelompok kegiatan pengamanan wilayah perbatasan dan kelompok kegiatan pengembangan wilayah perbatasan. Kemudian, berdasarkan RPJMN 2004‐2009 disebutkan bahwa pembangunan kawasan perbatasan menjadi beranda depan negara. Program ini ditujukan untuk: (1) menjaga keutuhan wilayah NKRI melalui penetapan hak kedaulatan NKRI yang dijamin oleh hukum intemasional, (2) meningkatkan kesej ahteraan masyarakat setempat dengan menggali potensi ekonomi, sosial dan budaya, serta keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis untuk berhubungan dengan negara tetangg a.

Dari berbagai kebijakan pemerintah tentang pembangunan kawasan perbatasan tersebut, dalam implementasi pengelolaannya selama ini belum dilakukan secara terpadu dengan mengintegrasikan seluruh sektor terkait. Dan bahkan, elemen di pemerintah daerah terkesan kurang dilibatkan secara signifikan dalam formulasi kebijakan pembangunan kawasan perbatasan, sehingga yang terjadi selama ini adalah permasalahan beberapa kawasan perbatasan masih ditangani secara ad hoc, sementara (temporer) dan parsial serta lebih didominasi oleh pendekatan keamanan (security) melalui beberapa kepanitiaan

(committee), sehingga belum memberikan hasil yang optimal. Kehadiran Undang‐Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara sebagai payung hukum utama bagi

pemerintah pusat dan daerah untuk betul‐betul punya komitmen yang tinggi dalam upaya akselerasi pembangunan kawasan perbatasan. Di dalam Pasal 9 UU No.43 2008 ditegaskan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah berwenang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan. Kewenangan normative ini dipertegas lagi dengan munculnya Perpres No.12 Tahun 2010 Rentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan dan Permendagri No. 2 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pembentukan Badan Pengelola Perbatasan di Daerah. Kedua instrument hukum ini memiliki semangat mainstreaming kebijakan pengelolaan perbatasan satu pintu, sehingga lebih efektif dan efisien d alam p laksanaannya. e

Dalam realitanya temyata persoalan kebijakan perlindungan terhadap hakhak masyarakat di kawasan perbatasan selama ini masih terdapat berbagai macam kelemahan, bahkan hal ini di perparah lagi dengan terabaikannya prinsip‐prinsip keadilan dan keberlanjutan di dalam pengelolaan sumber daya di kawasan perbatasan, bahkan tidak jarang justru terdapat konflik akibat proses pengusuran hak‐hak masyarakat lokal atas ruang gerak mereka terhadap wilayah perbatasan. Padahal pada dasarnya dalam Mukadiman Kovenan Tentang Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya di sebutkan bahwa pengakuan terhadap martabat yang melekat pada hak‐hak yang sama dan tidak dapat dipisahkan dari semua umat manusia merupakan landasan dari kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia.

Setiap Negara yang telah meratifikasi Kovenan Intemasional Tentang Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya termasuk Indonesia pada prinsipnya harus bertanggung jawab dalam pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di negara masing‐masing dengan mengakui bahwa:

1. Hak‐hak ini berasal dari martabat yang melekat pada manusia,

2. Sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, cita‐cita umat manusia yang bebas untuk menikmati kebebasan dari rasa takut dan kekurangan hanya dapat dicapai apabila diciptakan kondisi dimana setiap orang dapat menikmati baik hak hak ekonomi, sosial dan budayanya, maupun hak sipil dan politik nya.

3. Adanya kewajiban Negara‐negara sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa‐Bangsa untuk memajukan penghormatan dan pentaatan hak asasi dan kebebasan manusia secara universal,

4. Bahwa individu, yang mempunyai kewajiban terhadap individu lainnya dan terhadap komunitas yang di dalamnya ia termasuk, bertanggung jawab untuk berusaha keras bagi pemajuan dan pentaatan hak Ekosob.

5. Dengan demikian hak‐hak konstitusional warga perbatasan yang secara umum inheren dalam UUD 1945 seperti yang tertuang dalam rangkaian HAM di Pasal 28 dan juga beberapa Pasal berikutnya yang terkait dengan pendidikan, kesehatan dna perekonomian dapat juga dinikmati oleh warga perbatasan.