Pemenuhan Hak Asasi Komunal dalam Kerangka Negara Hukum yang Berkeadilan Sosial

C. Pemenuhan Hak Asasi Komunal dalam Kerangka Negara Hukum yang Berkeadilan Sosial

Seiring dengan perkembangan ketatanegaraan, konsep negara hukum mengalami diferensiasi yang didasarkan pada kebutuhan untuk menyejahterakan rakyat. Wolfe mendefinisikan pengertian “negara kesejahteraan” berdasarkan pendekatan kultural yang menempatkan pemerintah sebagai organisasi tertinggi negara yang secara moral memiliki tanggung jawab untuk mengusahakan kesejahteraan bagi warganya. Selengkapnya, Wolfe mengatakan bahwa:

A welfare state is a moral agent. Welfare states send culturally defined moral messages.

A state is not only a lawyer drawing up contracts between citizens and between citizens and the state, or a merchant connecting supply and demand, but also a priest trying to give people an interpretation of the world and of the most appropriate behaviour in a specific context. (Monique Kremer, 2007: 242).

Berdasarkan ruang lingkup tugas pemerintahan, maka secara filosofis‐konstitusional Indonesia menganut prinsip negara hukum kesejahteraan. Hal ini ditandai dengan kewajiban negara untuk menjamin kesejahteraan masyarakat. Landasannya terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke‐4, yang antara lain memuat tujuan negara yaitu: “...melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi kesejahteraan umum, ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Sila kelima dari Pancasila yang juga tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menegaskan prinsip “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ”.

Tugas negara menurut paham negara kesejahteraan (social service state) adalah menyelenggarakan kepentingan umum untuk memberikan kemakmuran dan perasaan kesejahteraan yang sebesar‐besarnya berdasarkan keadilan. Upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, meliputi pemenuhan hak individu, hal kolektif, dan hak komunal secara komprehensif sebagai bagian pemenuhan hak asasi manusia. Dalam kaitannya dengan hak kolektif sebagai bagian integral dari hak asasi manusia, Freeman menyatakan bahwa: “Collective human rights are rights the bearers of which are collectivities, which are not reducible to, but consistent with individual human rights. (Neus Torbisco Casals, 2006: 30).

Hak kolektif mencerminkan kepentingan kelompok yang didasari oleh suatu kesamaan cara pandang yang fundamental. Secara kongruen, hak komunal memiliki kesamaan dengan hak kolektif yaitu bersifat sebagai “hak bersama”. Hak komunal merupakan hak bersama yang dimiliki oleh subjek kolektif (masyarakat adat atau komunitas lokal) u ntuk melindungi praktik‐praktik budaya .

Hak komunal dari komunitas lokal yang berkaitan dengan interaksi antara lingkungan fisik, sosial, dan budaya dinamakan hak asasi budaya. Hak asasi budaya mencerminkan preferensi komunitas lokal terhadap praktik tradisional yang didasarkan pada sistem nilai dan tata cara tertentu sehingga menghasilkan pengetahuan yang berbasis budaya. Pengakuan terhadap hak asasi budaya tersebut merupkan prinsip dasar dalam hak asasi manusia modern. Dalam kaitannya dengan hak asasi budaya sebagai hak kolektif masyarakat, Miranda Risang Ayu mengidentifikasi karakteristik hak budaya berikut ini:

Cultural rights focus on the existence of minority people; Cultural rights are related to all cultural aspects in a customary law of a certain group of people, including the rights to use their own or local language and the right to profess their own belief or religion; Cultural rights involve both immaterial and material aspects, including spiritual aspects of a cultural system; Cultural rights are commonly assumed as a collective right; Cultural rights always have a historic nature.

A cultural aspect upon which the right is attached usually has been passed on from generation to generation, so it is difficult to determine some elements of

i ndividual authorial originality. (Miranda Risang Ayu, 2009: 209)

Dalam pengaturan internasional, pengakuan hak asasi budaya diformulasikan dalam The International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR). Dalam Pasal

15 ayat (1) kovenan ini, dtegaskan mengenai hak asasi budaya yaitu hak setiap orang untuk terlibat dalam kehidupan budaya dan menghargai hasil‐hasil yang diperoleh dari kegiatan budaya. Selanjutnya, dalam ayat (2), ditentukan bahwa pemenuhan terhadap hak budaya tersebut dilakukan dalam kerangka tanggung jawab negara untuk melestarikan, mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Selain dalam Kovenan tentang Hak‐hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, pengakuan terhadap hak budaya sebagai bagian dari hak masyarakat adat, juga diakomodasi dalam The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Dalam Pasal 27 kovenan ini, diakui mengenai hak dari kelompok minoritas berdasarkan suku bangsa untuk menikmati budaya mereka sendiri. Dalam hal ini, pengakuan tersebut dinyatakan secara negatif bahwa negara berkewajiban untuk tidak menyangkal hak‐hak dari kelompok minoritas, termasuk hak atas budaya dalam lingkunga kelompok asyaraka n m t.

Secara spesifik, pengakuan terhadap hak‐hak masyarakat adat terdapat dalam International Labour Organization Convention No. 169. Berdasarkan Pasal 13 ayat (1),

konvensi ini mengakui hak‐hak masyarakat adat dalam korelasinya dengan nilai spiritual dan budaya serta keterikatan antara masyarakat adat dengan tanah dan wilayahnya. Selain itu, berdasarkan Pasal 15 ayat (1), konvensi ini juga menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam yang terdapat di wilayahnya. Pengakuan eksplisit mengenai hak masyarakat adat, termasuk di antaranya hak atas budaya, dielaborasi secara terperinci dalam Declaration on the Rights of Indigenous People. Dalam Pasal 31 ayat (1), dijabarkan mengenai hak masyarakat adat untuk mengembangkan warisan budaya dan pengetahuan tradisional yang mencakup pengetahuan tentang sumber daya genetik, obat‐obatan tradisional, dan ekspresi budaya material seperti kesenian. Selanjutnya, ditegaskan pula bahwa negara harus mengambil langkah efektif untuk mengak ui dan melindungi hak‐hak tersebut.

Berdasarkan perubahan UUD 1945, hak asasi budaya merupakan hak konstitusional yang diakui keberadaannya secara eksplisit dalam konstitusi. Hak konstitusional tersebut dijabarkan melalui ketentuan‐ketentuan yang mengatur tentang kesatuan masyarakat hukum adat dalam kerangka pengaturan tentang Pemerintahan Daerah dan hak‐hak dasar yang menyangkut pemenuhan hak atas budaya dalam konstruksi Hak Asasi Manusia. Berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, negara mengakui keberadaan masyarakat adat dan hak‐hak tradisionalnya dengan mensyaratkan adanya kesesuaian antara masyarakat adat tersebut dengan perkembangan kekiniian dari masyarakat Indonesia dan sejalan dengan prinsip Negara Kestuan Republik Indonesia. Ketentuan ini merupakan landasan Berdasarkan perubahan UUD 1945, hak asasi budaya merupakan hak konstitusional yang diakui keberadaannya secara eksplisit dalam konstitusi. Hak konstitusional tersebut dijabarkan melalui ketentuan‐ketentuan yang mengatur tentang kesatuan masyarakat hukum adat dalam kerangka pengaturan tentang Pemerintahan Daerah dan hak‐hak dasar yang menyangkut pemenuhan hak atas budaya dalam konstruksi Hak Asasi Manusia. Berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, negara mengakui keberadaan masyarakat adat dan hak‐hak tradisionalnya dengan mensyaratkan adanya kesesuaian antara masyarakat adat tersebut dengan perkembangan kekiniian dari masyarakat Indonesia dan sejalan dengan prinsip Negara Kestuan Republik Indonesia. Ketentuan ini merupakan landasan