Hukum Adat di Indonesia

1. Hukum Adat di Indonesia

Hakim ­hakim tersebut, jang djuga dinamakan hakim­hakim desa, ialah suatu lembaga desa jang kehadirannya dalam setiap masjarakat hukum adat merupakan suatu Conditio Sine qua non sebagai alat pelengkap kekuasaan desa selama desa itu sanggup mempertahankan wadjah aslinya dan sifat­sifat keistemewaanja sebagai kesatuan sosial ekonomi jang (dimana perlu dapat) berdiri sendiri 41

Keberadaan Peradilan Adat tidak bisa dilepaskan keberadaaanya dari hukum adat. Hukum adat, adalah suatu jenis hukum yang dikenal di Indonesia, sebagai sebuah hukum yang hidup

di dalam dinamika kehidupan masyarakat dan biasanya tidak tertulis 42 . Keberadaan hukum adat sebagai suatu istilah pada awalnya adalah terjemahan dari adatrecht yang dibuat para orientalis, untuk mengganti nomenklatur 'gewoonte, gebruiken en de goddienstige instellingen der Inlanders' (tradisi, kebiasaan dan lembaga‐lembaga agama orang‐orang pribumi) yaitu semua saja hukum tertulis ataupun tak tertulis yang bukan hukum undang‐

undang untuk golongan Eropa 43 . Istilah ini kemudian diambil alih oleh para intelektual pribumi yang memperjuangkan kemerdekaan Hindia Belanda menjadi Indonesia sebagai sebuah identitas yang menegaskan sebagai pembeda dengan pihak penjajah.Pada masanya,hukum adat mempunyai daya tarik yang sangat kuat. Hal ini dapat dilihat dalam “Sumpah Pemuda”, sebuah deklarasi paling awal tentang keberadaan Indonesia sebagai

sebuah bangsa 44 yang menjadikan hukum adat sebagai salah satu dari lima dasar persatuan 45 .

Namun ketika indonesia sebagai sebuah bangsa sudah mewujud menjadi sebuah negara, yang terjadi adalah seperti dikemukakan oleh Khudzaifah Dimyati; cita‐cita nasional untuk menyatukan Indonesia sebagai suatu kesatuan politik dan pemerintahan, telah cenderung untuk mengabaikan hukum rakyat yang plural dan lokal untuk digantikan dengan

hukum nasional yang diunifikasi dan dikodifikasi 46 . Sehingga kemudian secara bertahap secara substansi hukum dilakukan unifikasi hukum melalui penyusunan peraturan perundang‐undangan yang berlaku secara nasional . MenurutSoetandyo Wignjosoebroto, kalaupun hukum adat masih eksis sebagai hukum rakyat, batas yurisdiksi berlakunya tak lebih daripada hukum yang informal, yang oleh sebab itu ditegakkan atas dasar kekuatan

masyarakat dan ekstensitas serta intensitas kesetiaan para pendukungnya. 47 Proses ini masyarakat dan ekstensitas serta intensitas kesetiaan para pendukungnya. 47 Proses ini

a tas nam a kepentingan pembangunan 48 .

Akhir dasawarsa 90‐an sebagai masa yang penuh pergolakan dan perubahan di Indonesia, terjadi pula terhadap masyarakat adat.Pada tahun 1999 masyarakat adat di Indonesia mendeklarasikan berdirinya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dengan semboyannya “Kalau Negara Tidak Mengakui Kami, Kamipun Tidak Akan Mengakui

Negara” . 49 Di tingkat nasional lahir berbagai kebijakan yang memberikan pengakuan terhadap keberadaan Masyarakat Hukum Adat. Antara Yaitu (1) Ketetapan MPR

No.IX/MPR/2000 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, (2) Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia 50 dan (3) Amandemen konstitusi UUD 1945, hususnya Pasal 18B Aya (2) dan asal 28 I Ayat (3). k t P

Walau Pasal 18B Ayat (2)dianggap sebagai landasan konstitusional bagi hak masyarakat adat untuk mengatur dirinya dan menegakkan hukum adatnya, namun pengakuan tersebut disertai dengan klausul‐klausul yang kemudian menjadi syarat keberadaan masyarakat adat di Indonesia yait u:

1. Masyarakat hukum Adat itu masih Hidup

2. Sesuai dengan perkembangan masyarakat

3. sesuai pula dengan prinsip negara kesatuan RI , dan

4 . eksistensinya diatur dengan undang‐undang 51 .

Menurut Ricardo Simamarta pengakuan bersyarat pada UUD 1945 pasca amandemen berasal dari pengakuan bersyarat yang telah lama dikembangkan oleh peraturan perundangan di bidang SDA/Agraria dan pemerintahan desa Syarat pertama, “sepanjang masih ada”, merupakan syarat yang digunakan UUPA dan UU Kehutanan. Syarat kedua, “sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban”, sebelumnya sudah ada dalam UU HAM. Syarat ketiga, “sesuai dengan prinsip negara kesatuan RI” memiliki kandungan yang sama dengan syarat “sesuai dengan kepentingan nasional dan negara”seperti sebelumnya telah diatur dalam UUPA, UU Kehutanan dan UU Pengairan. Sedangkan “syarat tidak bertentangan dengan kepentingan umum”, sebelumnya telah dipakai oleh Permendagri No.11/1984. Redaksi Pasal 28 I Ayat (3) dan UU tentang HAM. Dengan begitu, apa yang dilakukan oleh UUD 1945 pasca amandemen hanyalah konstitusionalisasi pengakuan

bersyarat . 52 Bila sebelumnya pengakuan bersyarat tidak memiliki landasan konstitutional maka pasca amandemen ia telah memiliki landasan tersebut.Alhasil, pengakuan masyarakat