Kasus Masyarakat Adat Jalai Kendawangan Vs PT Bangun Nusa Mandiri : Persepsi terhadap Sanksi Adat dan Batas Wilayah

3. Kasus Masyarakat Adat Jalai Kendawangan Vs PT Bangun Nusa Mandiri : Persepsi terhadap Sanksi Adat dan Batas Wilayah

Kampung Silat Hulu, di Kecamatan Marau, berada sekitar 200 km dari Kota Ketapang. Ketenangan masyarakat terusik dengan kehadiran PT. Bangun Nusa Mandiri (PT BNM) yang merupakan anak perusahaan dari PT. Sinar Mas Group. PT. BNM mendapatkan Ijin Usaha Perkebunan (2004) dan Ijin Lokasi Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit (2009) di wilayah Kecamatan Jelai Hulu Desa Priangan, Dusun Riam dan Desa Biku Sarana, Dusun Bayam Sungai Lalang. Seharusnya wilayah Dusun Silat Hulu yang berada di Desa Bantan Sari

K ecama tan Marau tidak masuk ke dalam ijin yang diberikan 83 .

Namun dalam kenyataannya PT.BNM memasuki wilayah adat masyarakat Silat Hulu. Perusahaan menggusur areal perladangan, kebun karet, kebun buah‐buahan dan kuburan y ang ya ng me iliki nilai sosial, ekon mi, buday dan keperc yaan masyaraka . m o a a t 84

Sejak awal beroperasinya PT.BNM masyarakat telah menolak menyerahkan tanah/lahan mereka kepada perusahaan, dan meminta pertanggungjawaban perusahaan. Melalui musyawarah, penuntutan langsung, meminta bantuan pihak kecamatan dan melaporkannya ke Polsek Marau.Namun perusahaan tidak mengindahkan penolakan

m asyar akat dan terus melakukan penggusuran sampai me apai 350 ha w nc ilayah adat. Karena upaya musyawarah tidak membuahkan hasil, pada 29 September 2009,

masyarakat memutuskan menahan alat yang digunakan untuk menggusur, yaitu 1 (satu) Bouldozer dan 1 (satu) unit Dorulit, yang dilanjutkan dengan sidang adat. Perusahaan diputus melanggar adat dan dihukum membayar 15 tajau, 4 (empat) singkar piring, 4 (empat) tatak mangkuk ditambah 6 buah tajau atas penggusuran kuburan, atau setara dengan Rp. 1,3 Milyar. Adapun rincian pelanggaran dan sanksi adat adalah sebagai berikut :

Tabel 2

Sanksi Adat terhadap PT. Bangun Nusa Mandiri/Sinar Mas Groups (2009) 85 Tindakan

Jenis Pelanggaran

Sanksi

Merusak wilayah adat merusah belalai belayu

1 (satu) buah tajau, 1 (satu) singkar piring, 1 (satu) tatak mangkuk petur uk

Menggusur dan

2 (dua) buah tajau, 1 (satu) singkar menghancurkan

Sumpah serapah pajuh

bilai) piring, 1 (satu) tatak mangkuk peturuk . tanam – tumbuhan

3 (tiga) lasak (dua buah tajau). tanpa permisi dan

Masuk wilayah adat

adat langkah batang jajak

tunggul kepada demung

pemberitahuan

tua

Membelakangi dan

3 lasak (dua buah tajau). melangkahi Demung

merurut muka menampar

atik pelecehan damung

Tua

tua

Menggusur kebun

3 lasak (dua buah tajau, satu singkar buah yang belum

dara diumbungan

piring, satu tatak mangkuk peturuk). menghasilkan

kampung buah kabun

pasha

Menimbun ladang

menungkal menjuaran

3 lasak (dua buah tajau, satu singkar 3 lasak (dua buah tajau, satu singkar

membuta mengicingan

piring, satu tatak mangkuk peturuk,

mata membaji menyakit

satu botol tuak, tampung tawar along

dingin darah manok. Memindahkan dan

di lakau humaq

6 lasak (empat buah tajau) merusak pohon dan

kantung membaliki api

atau tunggul begarak

hutan

batang bekalih

Menggusur kuburan

6 (enam) buah tajau

Tetapi perusahaan tidak mengindahkan sanksi adat yang telah dijatuhkan. Kepolisian meminta warga menyerahkan buldozer dan dorulit, dan warga tetap menolak sebelum dilakukan pemenuhan kewajiban adat dan upacara “Tuak Tumpah Manuk Mati”. Semenjak 30 September 2009 pihak kepolisian berusaha membebaskan alat berat perusahaan yang disandera oleh masyarakat. Bahkan polisi mewakili perusahaan untuk bernegoisasi dengan masyarakat silat hulu, termasuk mempersoalkan kembali sanksi adat

y ang tel ah dijatuhkan, melakukan kekerasan dan intimidasi selama proses negosiasi 86 . Pada 27 Oktober 2009 , lima warga yaitu Japin, Ayol, Ritung, Anton dan Kimsoi dan

Vitalis Andi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Jalai Kendawangan (AMA‐JK) untuk menghadap sebagai tersangka. Tuduhan yang disangkakan adalah melanggar pasal 21 Jo

pasal 47 Undang Undang No 18 tahun 2004 tentang Perkebunan 87 junto Pasal 368 KUHP tentang Pemerasan 88 .

Atas kondisi ini perwakilan masyarakat mengadu ke Komnas HAM RI. Komnas HAM mengirimkan surat kepada Bupati Ketapang dan meminta untuk menghentikan dan memulihkan dugaan pelanggaran HAM oleh PT. BNM terhadap Masyarakat Adat Silat Hulu 89 . Dan dengan didampingi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN‐Kalbar) dan Tim Pengacara masyarakat melakukan audiensi ke Kapolres Ketapang.Audiensi ini menghasilkan kesepakatan sebagai berikut :

1. Warga Masyarakat Adat Silat Hulu menyerahkan kunci boulduzer;

2. 2 unit bouldozer akan diserahkan warga jika sudah dilakukan ritual adat “Tuak Tumpah Manuk Mati”;

3. Soal ganti rugi tanam tumbuhan akan dituntut melalui jalur lain yaitu langkah perdata atau negosiasi.

Sedangkan untuk warga yang ditetapkan sebagai tersangka, setelah dilakukan pemeriksaan selama tiga jam, empat warga dinyatakan tidak terlibat, dua diantaranya kemudian dijadikan saksi. Namun, Vitalis Andi dan Japin ditetapkan sebagai tersangka dan wajib lapor setiap bulan ke Polres Ketapang. Selanjutnya kasus ini dikenal dengan sebutan Kasus Andi dan Japin.

Setelah proses yang berlarut dan meluas, PT BNM akhirnya memenuhi sanksi adat, bagi masyarakat hal ini membuktikan perusahaan telah mengakui bahwa mereka telah melakukan penggusuran. Dengan telah dipenuhinya kewajiban, maka dalam budaya masyarakat tidak ada lagi persoalan antara warga dengan PT.BNM. Kegoncangan telah dipulihkan dan harmoni sudah tercapai menurut hukum yang hidup di masyarakat dan Setelah proses yang berlarut dan meluas, PT BNM akhirnya memenuhi sanksi adat, bagi masyarakat hal ini membuktikan perusahaan telah mengakui bahwa mereka telah melakukan penggusuran. Dengan telah dipenuhinya kewajiban, maka dalam budaya masyarakat tidak ada lagi persoalan antara warga dengan PT.BNM. Kegoncangan telah dipulihkan dan harmoni sudah tercapai menurut hukum yang hidup di masyarakat dan

Dongeng pandir cakap warah kita karena hukum udah putus perkara udah habis. Tuak tumpah manok mati, di arai tidak begumbang di batu tidak beguyah, licin betuang halus becanai. Halang mencangking dapat, ular menalan kanyang.

(Artinya: perkara sudah putus, air tuak sudah ditumpahkan, ayam sudah dibunuh. Sungai tidak bergelombang, batu tidak bergerak, semuanya berjalan lancar. Burung elang sudah m encen gkeram mangsa, sementara ular sudah kenyang karena memakan mangsanya).

Namun, polisi tetap melanjutkan kasus Vitalis Andi dan Japin dan Kejaksaan Negeri Ketapang, menahan keduanya. Permohonan penangguhan penahanan dan pengalihan penahanan ditolak dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan hak dan wewenang kejaksaan dan sudah sesuai prosedur. Vitalis Andi dan Japin disidangkan, dan kembali mengajukan pengalihan menjadi tahanan kota dengan jaminan 500 orang tokoh nasional, polisi, pejabat, tokoh lokal maupun masyarakat adat.

Proses persidangan terjadi tiga kali dakwaan, yaitu :

1. Dakwaan I , Maret 2010, dalam putusan sela atas eksepsi tim pengacara, Hakim menyatakan gugatan jaksa batal demi hukum dan memvonis bebas Andi‐Japin serta membebankan biaya perkara kepada Negara;

2. Dakwaan II, Juni 2010, dalam putusan sela atas eksepsi tim pengacara, Hakim menerima eksepsi penasehat hukum terdakwa dan menyatakan dakwaan JPU batal demi hukum.

3. Dakwaan III, Februari 2011, Jaksa kembali mendakwa Vitalis Andi – Japin, namun penasehat hukum memilih untuk tidak melakukan eksepsi agar mendapatkan kepastian hukum atas kasus ini, karena pasal yang dituduhkan adalah sama seperti dakwaan I dan

II, yaitu menganggu usaha perkebunan dan pemerasan. Hakim menyatakan bahwa Japin dan Andi terbukti mengganggu jalannya usaha perkebunan dan menghukum masing‐ masing satu tahun penjara. Vitalis Andi dan Japin mengajukan banding atas putusan ini. Vitalis Andi dan Japin selanjutnya mengajukan judicial review UU Perkebunan ke Mahkamah Konstitusi, dan MK menyatakan pasal 21 beserta penjelasannya, Pasal 47 ayat (1) dan Ayat (2) UU Perkebunan yang menjadi dasar kriminalisasi terkait usaha perkebunan dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Dengan demikian pasal tentang tindak pidana menganggu usaha perkebunan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Dalam kasus ini, kita mendapatkan gambaran bahwa :

a. Perbedaan persepsi terhadap sanksi adat yang dijatuhkan. Pengusaha, Kepolisian dan Kejaksaan menggunakan persfektif sentralisme negara memandang bahwa sanksi adat yang dijatuhkan yang setara dengan nilai Rp. 1,3 milyar sebagai bentuk pemerasan. Sedangkan masyarakat adat menilai sanksi tersebut sesuai dengan pelanggaran hukum adat yang telah dilakukan perusahaan yaitu mengusur tanah adat, merusak tanaman sehingga tidak dapat dinikmati hasilnya, mengusur areal peladangan sebagai sumber kehidupan dan terutama mengusur kuburan yang memiliki nilai religi bagi masyarakat silat hulu; a. Perbedaan persepsi terhadap sanksi adat yang dijatuhkan. Pengusaha, Kepolisian dan Kejaksaan menggunakan persfektif sentralisme negara memandang bahwa sanksi adat yang dijatuhkan yang setara dengan nilai Rp. 1,3 milyar sebagai bentuk pemerasan. Sedangkan masyarakat adat menilai sanksi tersebut sesuai dengan pelanggaran hukum adat yang telah dilakukan perusahaan yaitu mengusur tanah adat, merusak tanaman sehingga tidak dapat dinikmati hasilnya, mengusur areal peladangan sebagai sumber kehidupan dan terutama mengusur kuburan yang memiliki nilai religi bagi masyarakat silat hulu;

c. Perbedaan konsep penyelesaian pelanggaran hukum. Aparat penegak hukum dengan menggunakan sentralisme negara, membedakan penyelesaian secara pidana dan perdata. Sedangkan bagi masyarakat adat, penyelesaian pelanggaran hukum harus bersifat “menyeluruh dan menyatukan”, karena dijiwai oleh sifat kosmis yang saling berhubungan sehingga hukum pidana adat tidak membedakan pelanggaran yang bersifat pidana dan perdata.

d. Pihak perusahaan sendiri melakukan pelanggaran terhadap UU Perkebunan yaitu tidak melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya. Pihak perusahaan justru menunggu terjadinya konflik dan sidang adat.

e. Perlakuan diskriminatif aparat kepolisian dengan tidak memposes secara hukum tindakan PT.BNM yang merampas dan menggusur tanah adat, tanaman diatasnya, areal perladangan dan pekuburan yang telah dilaporkan sebelumnya oleh masyarakat adat Silat Hulu.

f. Aparat Kepolisian, mencoba mengambil keuntungan dari denda adat yang dijatuhkan, dengan mencoba melakukan negosiasi sanksi adat antara masyarakat adat dengan perusahaan.

g. Hakim dalam memutus perkara telah menggali, mengikuti, dan memahami nilai­nilai hukum terkait dengan denda adat dan tidak mengkategorikannya sebagai bentuk

pemerasan. Namun, hakim tidak memfinalisasi penggalian terhadap nilai­nilai tersebut dalam putusannya selain itu hakim juga gagal melihat konteks UU Perkebunan dalam politik hukum dan politik hukum pidana untuk pengelolaan sumber daya alam dan perlindungan hak­hak masyarakat adat.Sehingga dalam putusannya kemudian tetap menjatuhkan pidana kepada kedua terdakwa berdasarkan UU perkebunan.