REDD+: Sejauh mana (mau) mendengarkan suara masyarakat?

V. REDD+: Sejauh mana (mau) mendengarkan suara masyarakat?

Potensi insentif yang besar telah mendorong berbagai negara melaksanakan proyek REDD. Data tahun 2009 memperlihatkan sediktinya ada 144 proyek REDD di tingkat lapangan (Cotula and Mayers 2009). Karena belum ada skema yang baku yang disepakati di tingkat perundingan di UNFCCC, membuka masing‐masing proyek tersebut pembelajaran bagi yang lain, sehingga bentuk pelaksanaannya pun berbeda. REDD+ dilakukan secara multilateral, bilateral (LoI Indonesia dengan Norwegia), diinisiasi oleh LSM, atau kerja sama antara pemerintah, LSM dan lembaga swasta.

Indonesia merupakan Negara yang paling banyak aktivitas pilot proyek REDDnya. Tercatat ada 29 aktivitas REDD yang sekarang ada di Indonesia yang bisa dikategorikan ke dalam 3 versi (Madeira, 2009):

1. Proyek REDD yang dilakukan dengan cara mengajukan ijin konsesi hutan (“Model Konsesi”), seperti IUPHHK Restorasi Ekosistem atau Ijin Karbon.

2. Proyek REDD yang dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan pemerintah (“Kerjasama Pemerintah”), seperti KFCP, atau Skema di bawah payung UN‐ EDD R

3. Proyek REDD yang dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan para pemilik ijin/lahan (“Kerjasama Pengguna Lahan”), misalnya pemrakarsa melakukan kerja sama dengan pemilik Ijin HTI, HGU Sawit, Hutan Desa, dst.

4. Proyek REDD yang dilakukan dengan kerja sama pemerintah dengan lembaga konservasi dan atau lembaga swasta, misalnya Pemerintan Provinsi Aceh, FFI dan Carbon Conservation)

Dari 4 kategori pilot proyek itu, kebanyakan di Indonesia mengikuti model konsesi (Madeira, 2009). Model konsesi ini bisa dilakukan dengan pemrakarsa mengajukan ijin konsesi baru atau pemilik suatu konsesi mengubah atau menambahkan ke ijin awalnya

usaha‐usaha pengurangan emisi dari deforestasi an kerusakan hu an. d t

Kekhawatiran pertama. Dipakainya sistem konsesi bagi pengusaha besar. Banyaknya model konsesi ini bisa dicarikan alasannya, pertama, untuk mencegah terjadinya

deforestasi yang direncanakan. Di Indonesia, deforestasi lebih banyak terjadi karena aktivitas yang direncanakan, bisa oleh pemerintah atau oleh mereka yang mendapatkan ijin dari pemerintah. Kedua, kebijakan kehutanan Indonesia selalu memihak pada perusahaan besar. Ketiga, terkait masalah teknis pembiayaan, proyek REDD untuk sampai mendapatkan kredit karbon memerlukan dana awal yang besar. Keempat, model konsesi menjamin kepastian hukum, sesuatu yang sangat penting dalam REDD yang dipergunakan untuk menunjukkan bahwa akses terhadap karbon bisa dipertahankan sesuai dengan perjanjian jual beli kredit karbon. Kelima, model konsesi dipakai karena tujuannya adalah mencegah pihak luar mengkonversi hutan untuk keperluan di luar urusan konservasi atau penyimpanan karbon di pohon dan lahan. Pihak luar ini tidak hanya perusahaan, tetapi juga masyarakat sekitar yang dikawatirkan akan melakukan perambahan.

Kekhawatiran kedua . “Kebaikan” konsep/skema REDD+ harus diterapkan di atas sistem yang tidak memihak masyarakat. Bukan hanya karena sistem konsesinya yang perlu

dikhawatirkan, tetapi bahwa pelaksanaan REDD+ ini akan berada di atas jalur tata kelola hutan dan sumber daya alam yang selama ini tidak berpihak pada masyarakat lokal. Pemrakarsa REDD+ memang lebih terbuka dalam menerima kritikan pada skema yang ditawarkan. Dua hal yang sempat menjadi batu sandungan besar konsep REDD+: penghormatan pada hak‐hak masyarakat adat, termasuk sistem tenurialnya dan penerapan FPIC. Kedua hal ini sudah diterima dalam konsep REDD+, baik melalui keputusan UNFCCC seperti Copenhagen Accord maupun diterapkan di dalam standar valuasi karbon seperti Standar CCB. Tinggal pemerintah menerapkan kedua prinsip itu di dalam kebijakan pembangunan atau pelaksanaan REDD+nya. Pada kekhawatiran berikutnya kesenjangan kentara terlihat.

Kekhawatiran ketiga . Memicu kompetisi lahan yang dapat mengancam ruang kelola masyarakat yang ada. REDD+ dan program konservasi baru lainnya menerbitkan

motif baru penguasaan tanah, yakni untuk dilindungi kekayaan ekologinya. Dan dalam kasus Indonesia, lahan demikian tidak hanya ada di dalam hutan, tetapi juga di luar kawasan motif baru penguasaan tanah, yakni untuk dilindungi kekayaan ekologinya. Dan dalam kasus Indonesia, lahan demikian tidak hanya ada di dalam hutan, tetapi juga di luar kawasan

Kompetisi lahan ini terjadi misalnya karena skema REDD+ memungkinkan dilakukannya aktivitas peningkatan cadangan karbon; sehingga keuntungan akan lebih besar jika lahannnya berada di lahan kritis. Di sisi lain, pemerintah justru sedang mengerahkan usaha agar ekspansi perkebunan (terutama sawit) dilakukan di lahan‐lahan kritis. Di titik itu, pengertian dari lahan kritis juga bisa berbeda antara masyarakat dengan pemerintah/lembaga konservasi/pemrakarsa REDD+. Bagi sebagian kalangan masyarakat, pembiaran lahan justru diperlukan agar tanah kembali sehat dan tanah‐tanah yang telantar/kritis belum tentu tidak ada pemiliknya; sementara pihak pemerintah melihatnya sebagai tanah telantar yang menurut peraturan pertanahan bisa ditarik menjadi tanah negara untuk selanjutnya diberikan kepada pihak lain.

Pemerintah dan berbagai kalangan konservasi sedang memikirkan jalan keluar dari kompetisi lahan ini. Jika tidak ada pengistimewaan pada skema REDD+, maka bisa jadi REDD+ hanya akan melindungi daerah‐daerah yang memang sudah dilindungi dan membiarkan daerah lain yang potensi ekologisnya tinggi diserahkan kepada pihak lain yang akan merusaknya. Jalan keluar yang sedang ramai dibicarakan adalah tukar menukar lahan. Satu lahan yang secara ekologis harus dilindungi dan penting bagi penurunan emisi namun berada di dalam wilayah konsesi perkebunan sawit, dapat ditukarkan dengan lahan lain di luar areal perkebunan sawit tersebut. Skenario yang sama bisa terjadi dengan masyarakat lokal yang berada di wilayah yang harus dilindungi. Mereka dapat didekati baik‐baik untuk menyerahkan lahannya kepada lembaga konservasi pemrakarsa REDD+; sehingga mereka kehilangan tanahnya, hidupnya. Lalu pemrakarsa menyediakan pelatihan untuk mengubah mata pencahariannya gara tidak merusak hutan itu tadi.

Kekhawatiran keempat. REDD membutuhkan kepastian lahan dan skema penggunaan lahan berbeda dengan bentuk penggunaan lahan oleh masyarakat sekitar lahan

yang dijadikan REDD. Dalam perkembangan literatur tentang land grabbing (penyerobotan tanah) terselip satu khazanah baru isu yang nampaknya akan mulai menarik jika semua motif penguasaan tanah atas nama konservasi (PES, REDD+, Biodiversity market, dst) mulai meningkat jumlahnya, yakni green grabbing. Dalam penyerobotan hijau ini tidak hanya bermuara pada pelepasan hak dan akumulasi kapital, tetapi perubahan aturan akses pada lahan, tata cara kelola dan pakai SDA, dst. Kondisi terakhir ini lebih mungkin terjadi dengan adanya REDD+ dan “contohnya baiknya” sudah dapat dilihat dari “praktek pendisiplinan” masyarakat yang berada di dalam atau sekitar hutan konservasi atau lindung. Masyarakat yang tidak beruntung telah kehilangan lahannya, dipaksa keluar dari wilayah konservasi itu. Di sisi lain, ada masyarakat lainnya yang kehilangan haknya, namun akses ke lahannya tersebut tetap terbuka. Tetapi “pemilik baru” lahan (bisa taman nasional, bisa juga pemrakarsa REDD+) menetapkan aturan baru kapan akses dibuka, aturan dalam pemakaian lahan juga berubah, mengikuti petunjuk ilmu pengetahuan agar karbonnya dapat terus bertahan di pohon dan tanah dan bahkan dapat terus menyedot karbon dari udara.

Diarahkannya masyarakat ke tipe pekerjaan yang tidak lagi bergantung pada hutan – semata karena akan merusak hutan – menjadi mimpi besar para konservasionis yang nampak dikerjakan dalam program‐program Integrated Conservation and Development Program [ICDP]. Tapi, hanya sedikit yang berhasil.

Pelepasan lahan maupun perubahan mata pencaharian dapat berkonsekuensi masyarakat tidak terlibat dalam skema REDD. Ia mungkin akan menjadi migran ke daerah lain dengan lahan di kampung halaman yang semakin sempit. Konsekuensinya adalah jika pun REDD+ itu berhasil maka masyarakat tersebut tidak akan mendapatkan ‘kompensasi” atau mendapatkan kompensasi kecil (dihitung sesuai kontribusinya) dari skema REDD yang berlangsung disekitarnya dan justru dia akan dibebani dengan “cost” tertentu, tergantung pada bagaimana pemrakarsa memandang hubungan antara proyeknya dengan masyarakat tersebut. Inilah proses akumula si dengan cara pe epasan itu. l

Kekhawatiran kelima . Insentif REDD berasal dari luar negeri. Terlihat bahwa pemerintah seperti berjalan sendiri dalam mengeluarkan kebijakan soal REDD atau

perubahan iklim. Hal yang sering terjadi ketika insentif tidak berasal dari dalam negeri suatu negera tetapi berasal dari luar negeri. Seolah tidak harus bertanggung jawab kepada rakyatnya.

Insentif REDD tidaklah datang dari dalam negeri, ia merupakan jalan bagi terlaksananya offset emisi Negara‐negara maju dengan membeli kredit karbon yang dijual oleh negara‐negara pemilik hutan tropis. Insentif yang datang dari luar negeri ini dapat melemahkan aspek akuntabilitas negara terhadap rakyatnya. “Proyek lingkungan hidup”, termasuk perubahan iklim dan REDD, yang berjalan di Indonesia umumnya mengalirkan insentif dari luar negeri dan belum bisa menghidupkan insentif dari dalam negeri, sehingga rentan gagal dan kurang mengakomodasi kepentingan lokal shareholder.

Pada titik ini, menjadi sebuah keharusan untuk terus menerus menyuarakan suara masyarakat dalam perencanaan kebijakan yang terkait maupun tidak terkait dengan perubahan iklim atau REDD dan bahkan menjadikan “perspektif masyarakat” bersandingan dengan “perspektif pengurangan emisi”. Menjadikan keterlibatan masyarakat tidak hanya dalam tataran formal, tapi terlibat penuh dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring pilot proyek REDD.