Potret tidak netral dan objektivnya hukum yang berkontribusi pada ketidakdilan

2. Potret tidak netral dan objektivnya hukum yang berkontribusi pada ketidakdilan

bagi perempuan Fakta tidak netral dan objektivnya hukum dapat diamati dari contoh kasus di bawah ini:

a. Kriminalisasi terhadap perempuan korban yang memperjuangkan status hukum anak‐ anaknya (ka sus ibu R):

Peristiwa ini bermula dari pengingkaran seorang pejabat Negara (Pelapor) yang merupakan bapak biologis dari 2 (dua) orang anak biologisnya. Ketika korban berjuang untuk menuntut tanggung jawab bapak biologis dari kedua anaknya tersebut, malah korban dikriminalkan dengan tuduhan menggunakan surat palsu. Pada faktanya pejabat (Pelapor) tersebutlah yang menyuruh menggunakan menggunakannya untuk kepentingan pelapor agar terlepas dari sanksi sosial di masyarakat, karena bertahun‐tahun telah hidup bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang bukan isterinya. Pelapor pula yang menyuruh menggunakan dokumen tersebut untuk kepentingan pembuatan Akta Kelahiran Anak biologisnya. Namun ketika perbuatan tercelanya tersebut diketahui oleh publik karena korban menuntut pertanggungjawabannya yang telah menterlantarkan kedua anak biologisnya, laki‐laki tersebut bukannya secara gentle bertanggung jawab atas kesalahan masa lalunya tersebut, tetapi berbalik berkali‐kali menyerang korban. Tidak hanya tuduhan menggunakan Surat Palsu, namun sebelumnya Pelapor telah melaporkan Korban melakukan Perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, akan tetapi tuduhan tersebut tidak terbukti, bahkan penyidik telah menerima penyerahan barang‐barang pribadi milik Pelapor yang ditinggalkannya di rumah korban, yang salah satu diantaranya adalah senjata api laras panjang ilegal beserta 207 butir peluru tajam dan Celana Dalam milik pelapor (bukti yang tak terbantahkan bahwa memang Pelapor telah hidup bersama dengan Korban hingga lahir dua orang anak). Selanjutnya laporan tersebut di SP3 oleh Polda Jawa Tengah,

k arena tudu an P lapor ti ak beralasan dan hanya mengada‐ada. h e d

Hal yang sangat tidak pantas dilakukan oleh pejabat negara yang seharusnya memberi contoh tauladan yang baik pada masyarakat. Bahkan Pelapor dengan sengaja mengabaikan pemenuhan hak kedua anak biologisnya untuk mengetahui siapa orang tua kandungnya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri, sebagaimana telah diatur di dalam UU No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Bahkan sampai saat ini Pelapor tidak bersedia untuk dilakukan tes DNA. Logikanya, apabila mengingkari kedua anak tersebut adalah anak biologisnya, maka tidak seharusnya PELAPOR takut untuk dilakukan tes DNA.

Dari kasus tersebut, dakwaan Primair terhadap korban adalah Pasal 266 ayat 2 KUHP dan subsidair Pasal 263 ayat (2), dituduh menggunakan fotocopy kutipan surat nikah palsu untuk membuat akta kelahiran anaknya. Proses penyidikan, dan persidangannya sangat cepat. Sedangkan yang membuat dan yang memberikan surat nikah palsu tersebut (bapak biologis atau pejabat yang melaporkan dan orang suruhannya yang membuat) sama sekali tidak tersentuh oleh hukum. Polisi tidak menggunakan kewenangannya untuk mengembangkan penyidikan model C sebagaimana ketentuan Peraturan Kapolri No. 12 tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Perkara Pidana di Lingkungan Polri. Disamping itu korban hampir saja ditahan oleh kejaksaan secara sewenang‐wenang dan tidak sesuai prosedur yang diatur di KUHAP. Tindakan diskriminatif lainnya adalah laporan korban terkait penelantaran dan perbuatan diskrimiansi terhadap anak kandung yang diduga dilakukan oleh pejabat tersebut, hampir satu tahun, penyidikannya masih alot, bahkan tidak ada dukungan yang cukup progresif dari Mabes Polri, bahkan sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa putusan progresif Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan bahwa anak luar kawin memiliki hubungan keperdataan dengan bapak biololigisnya, tidak s erta merta dipahami dan dipatuhi oleh Aparat Penegak Hukum dan masyarakat.

b . Rek ayasa kasus “penggelapan” harta gono‐gini (kasus ibu SM). Bahwa telah terjadi jual beli dan utang piutang fiktif yang diduga dilakukan oleh

mantan suami korban dengan pihak yang mengaku sebagai pembeli dan kreditur dengan maksud untuk menguasai dan menikmati seluruh harta gono‐gini tersebut secara sepihak. Dugaan lainnya adalah rekayasa kasus ini melibatkan pihak pengacara mantan suami korban dan pengacara pembeli dan kreditur serta hakim pemeriksa perkara. Hal ini dapat dibuktikan melalui Surat Keterangan Lurah yang menerangkan bahwa tidak ada alamat sebagaimana yang tertera di dalam dokumen (putusan PN Semarang, putusan Pengadilan Tinggi Semarang dan putusan Mahkamah Agung RI) tersebut. Bahwa selain kejanggalan tersebut di atas, dari bukti surat yang diajukan oleh pembeli fiktif dan berpura‐pura sebagai Penggugat, yaitu foto copy Surat Perjanjian dengan mantan suami korban, bahwa dari bukti‐ bukti tersebut tidak satupun yang menunjukkan adanya tanda tangan korban selaku isteri sah saat itu. Hal ini menegaskan bahwa jual beli dan sewa‐menyewa tersebut benar‐benar rekayasa dan atau fiktif. Bahkan mantan suami dan pembeli fiktif tersebut tidak pernah sekalipun hadir dalam persidangan, melainkan hanya mewakilkan dengan pengacaranya. Bagaimana mungkin korban bisa mengenali orang yang mengaku membeli harta gono‐ gininya tersebut. Bahwa asas hukum yang juga ditabrak oleh tiga institusi pengadilan ini adalah azas unus testis nulus testis bahwa satu saksi bukan bukti dan satu bukti bukanlah bukti dan telah pula terjadi penghilangan fakta‐fakta persidangan, keterangan dua orang saksi dari pihak korban ditiadakan di dalam salinan putusan. Saat ini korban mengajukan u paya h ukum Peninjauan Kembali.

Namun anehnya Gugatan fiktif tersebut dikabulkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Semarang diperkuat oeh PT Semarang dan juga MA RI. Tragisnya lagi adalah Pengadilan Agama Semarang memutus menolak mengabulkan gugatan pembagian harta gono gini yang diajukan oleh korban dengan dasar pertimbangan hukumnya bahwa korban tidak dapat menunjukkan sertifikat asli (yang dikuasai oleh mantan suaminya) dan mendasarkan pertimbangan hukumnya pada putusan PN, PTA dan MA RI yang cacat hukum tersebut. Tentunya tindakan hakim ini sangat bertentangan dengan UU No. 50 tahun 2009 tentang Pengadilan Agama Pasal 60 A ayat (1) ditegaskan bahwa “Dalam memeriksa dan memutus perkara hakim harus bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya” dan pada ayat (2) dinyatakan bahwa: “Penetapan dan putusan harus memuat pertimbangan hukum Hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar”. Dan sikap Hakim Pengadilan Agama pemeriksa perkara tersebut teah pula bertentangan dengan mandat Konstitusi (UUD 1945) khususnya Pasal 24 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Lantas mengapa menggunakan putusan

h akim lain yang sudah jelas cacat hukum sebagai pertimbangan hukumnya?

c. Contoh yang lain adalah kekosongan hukum (recht vacuum) terhadap kasus‐kasus kekerasan dalam wilayah privat (relasi personal). Sampai saat ini tidak ada aturan hukum yang dapat melindungi perempuan korban kekerasan dalam relasi personal yang biasa kita kenal dengan Kekerasan dalam Pacaran, yang usianya di atas 18 tahun. Ketika terjadi perkosaan oleh pacarnya (dating rape) sedangkan unsur‐unsur kekerasannya sudah tidak tampak. Demikian pula terhadap perempuan yang diffabel yang diperkosa c. Contoh yang lain adalah kekosongan hukum (recht vacuum) terhadap kasus‐kasus kekerasan dalam wilayah privat (relasi personal). Sampai saat ini tidak ada aturan hukum yang dapat melindungi perempuan korban kekerasan dalam relasi personal yang biasa kita kenal dengan Kekerasan dalam Pacaran, yang usianya di atas 18 tahun. Ketika terjadi perkosaan oleh pacarnya (dating rape) sedangkan unsur‐unsur kekerasannya sudah tidak tampak. Demikian pula terhadap perempuan yang diffabel yang diperkosa