Pendekatan Hukum Progresif

C. Pendekatan Hukum Progresif

Menurut Satjipto Rahardjo, penanganan penyelesaian sengketa yang menempatkan masalah pada tataran yang simpel yang penyelesaiannya juga simpel, laksana menarik garis lurus antara dua titik. Karena itu, modus penanganannya menjadi linier, hitam putih, dan matematis. Menurutnya, orang cukup bertanya “apa bunyi peraturannya”? dan “ikut saja itu”, maka segalanya akan selesai. Dalam aturan yang hitam putih itulah yang dijalankan, yang tidak di situ tidak perlu dijalankan. Dunia atau masyarakat dimasuk‐masukkan ke dalam rumusan peraturan, skema, atau bagan, dan pengkotakan secara eksak. Di sini

konstru ksi mengabaikan realitas 6 .

Kegagalan hukum untuk membawa pelaku ke penghukuman oleh pengadilan disebabkan oleh sikap submisif terhadap kelengkapan hukum yang ada, seperti prosedur, doktrin dan asas. Sebagai akibatnya hukum bisa menjadi safe haven bagi para pelaku. Jika dilihat dari optik hukum progresif, maka cara‐cara dan praktek berhukum seperti itu sudah

tergolong kontra‐progresif 7 . Dibandingkan dengan pendekatan hukum praktis, maka pende‐ katan progresif sebetulnya tidak sama sekali gagal. Pendekatan progresif menempatkan tergolong kontra‐progresif 7 . Dibandingkan dengan pendekatan hukum praktis, maka pende‐ katan progresif sebetulnya tidak sama sekali gagal. Pendekatan progresif menempatkan

pada ilmu hukum praktis manusia adalah untuk hukum dan logika hukum. Hukum dan ilmu hukum progresif lebih cenderung ke kreativitas dan menolak rutinitas logika peraturan. Di

sinilah l etak pencerahan pendekatan ilmu hukum progresif 8 .

Hukum progresif amat peduli dengan perburuan kebenaran, dan menghendaki sejauh mungkin mampu menampilan gambar yang utuh. Hukum dipahami tidak hanya berupa keteraturan (order), tetapi juga ketidakaturan (disorder). Di samping itu, perlu terbuka terhadap realitas chaostic yang ada pada hukum, karena memang keadaan seperti

itu bisa ditemu an dalam hukum k 9 .

Dalam artikelnya, “Indonesia Butuh Keadilan Progresif”, Satjipto Rahardjo mengatakan kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern disebabkan oleh permainan prosedur yang menyebabkan timbul pertanyaan “apakah pengadilan itu tempat mencari keadilan atau kemenangan?’. Membandingkan apa yang terjadi Amerika Serikat, yang menggunakan extreme adversary system dalam perkara OJ Simson (1993), karena adanya keleluasaan besar untuk bermain‐main dengan prosedur. Para pembela Simson tidak berusaha membuktikan ketidaksalahan Simson, melainkan

menyoroti prosedur penanganan kasusnya 10 .

Lebih lanjut dikatakan apabila kehidupan dan praktik hukum di Indonesia terus seperti sekarang ini, dikhawatirkan Indonesia akan menjadi negara hukum kacangan atau picisan. Di dalamnya digambarkan bahwa negara hukum kian gagal untuk mengangkat kualitas kehidupan bangsa menjadi mulia. Alih‐alih menggunakan hukum untuk memuliakan dan mensejahterakan bangsa, hukum telah diturunkan derajatnya menjadi alat untuk mengabdi dan melayani kepentingan individu dan kelompok yang sempit”. Negara hukum kacangan merupakan sebutan yang dipakai untuk membandingkan negara hukum yang dijalankan dengan penuh dedikasi untuk mengangkat kemuliaan kehidupan bangsa, seperti

kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh bangsa 11 .

Lembaga pengadilan harus diarahkan pada upaya menempatkan pengadilan sebagai lembaga profesional, independen tidak memihak dalam menegakan keadilan. Penegakan hukum dilakukan dalam rangka menciptakan sistem hukum yang adil, konsekwen dan tidak diskriminatif serta memberikan perlindungan kelompok sosial yang lemah. Dalam hal ini, bekerjanya hukum melalui lembaga pengadilan membutuhkan adanya kekuatan yang mampu menentukan, mengkonsep, membentuk, menerapkan hukum, yang kesemuanya dilembagakan dalam suatu proses politik yang sehat.

Arah penegakan hukum banyak ditentukan oleh peran lembaga pengadilan dan partisipasi kelompok sosial/individu di dalam masyarakat. Lembaga pengadilan menjadi kreatif, keputusannya berkualitas dan mampu menjadi pengayomi keadilan. Mahkamah Agung dapat didorong untuk berperan aktif dalam proses penegakan hukum dengan berani membuat putusan yang mempunyai visi ke depan. Hal ini penting dilakukan rangka menunjukan kebesaran dan wibawanya. Mahkamah Agung juga perlu instrospeksi, evaluasi melalui eksaminasi terhadap keputusan yang telah dijatuhkan yang dilakukan untuk mening katkan kualitas putusan‐putusan pengadilan.

Dalam tataran sosiologis dalam berbagai praktek penegakan hukum, pengadilan sering dianggap sebagai penyebab terpuruknya wibawa bangsa sebagai negara hukum. Dalam banyak kasus penyelesaian sengketa ataupun penegakan hukum di pengadilan Dalam tataran sosiologis dalam berbagai praktek penegakan hukum, pengadilan sering dianggap sebagai penyebab terpuruknya wibawa bangsa sebagai negara hukum. Dalam banyak kasus penyelesaian sengketa ataupun penegakan hukum di pengadilan

Kegagalan hukum membawa pelaku ke penghukuman oleh pengadilan disebabkan oleh sikap submisif terhadap kelengkapan hukum yang ada, seperti prosedur, doktrin dan asas. Sebagai akibatnya hukum bisa menjadi safe haven bagi para pelaku. Dilihat dari optik hukum progresif, cara‐cara dan praktek berhukum seperti itu sudah tergolong kontra‐

progresif 12 . Pendekatan progresif menempatkan paradigma manusia yang membawa pendekatan ini mempedulikan faktor perilaku (behavior, experience). Pendekatan hukum progresif adalah hukum untuk manusia, sedang pada ilmu hukum praktis manusia adalah untuk hukum. Hukum dan ilmu hukum progresif lebih cenderung ke kreativitas dan menolak

rutinita s logika peraturan. Di sinilah etak pencerahan pendekatan ilmu hukum progresif l 13 . Secara keseluruhan untuk bangkit dari keterpurukan di bidang hukum, yakni

penegakan dan citra lembaga peradilan yang tidak kunjung membaik kiranya perlu untuk melakukan perenungan lebih dalam apa makna kehidupan sosial dalam negara hukum. Untuk menjawabnya tidak cukup hanya menggunakan logika dan perasaan, tetapi lebih dari itu bisa dipakai kecerdasan spiritual, karena menjalankan hukum tidak sama dengan mene‐ rapkan huruf‐huruf peraturan begitu saja, tetapi harus mencari dan menemukan makna sebenarnya dari suatu peraturan yang akan dijalankannya. Hukum bukan buku telpon yang hanya membuat daftar peraturan dan pasal, tetapi sesuatu yang sarat dengan makna dan nilai 14

Penyelesaian sengketa lingkungan yang dilakukan lembaga formal, seperti pengadilan dan pemerintah selama ini belum bergesar dari pendekatan positifis formal dan prosedural. Aparat penegak hukum dalam merespon dan menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan menunjukkan sikap yang formalis, deterministik, dan memberi peluang terjadinya perilaku eksploitatif di kalangan pelaku usaha (investor). Instrumen hukum yang dipakai hanya berorientasi prosedur dan tidak dapat diandalkan sebagai pilar utama untuk mengatasi problem lingkungan, sementara pencemaran lingkungan dalam proses waktu semakin sulit untuk dapat dikendalikan.

Dilihat dari pengelolaan penyelesaian sengketa lingkungan melalui pengadilan perlu diakomodasi aspirasi masyarakat sebagai bentuk partisipasi publik dengan mengusulkan model pemeriksaan dan pemberkasan berita acara pemeriksaan perkara sengketa lingku‐ ngan dengan target diajukan ke pengadilan melalui model kerja kerja “hilir mudik” dalam penegakan hukum yang dilakukan oleh polisi dan jaksa penuntut umum sebagai satu tim kerja dalam proses pencarian dan penguatan data untuk pembuktian.

Sekalipun usulan tersebut terbentur kendala prosedur hukum acara sebagaimana diatur dalam KUHAP, namun upaya untuk mengusulkan aspirasi tersebut harus terus menerus dilakukan. Karena itu, dalam rangka menghilangkan kesan kerja yang saling melempar antara polisi dan jaksa, sekaligus untuk menunjukkan kesungguhan aparat penegak hukum dalam menangani masalah lingkungan, harus ada kemauan di kalangan aparat penegak hukum untuk melakukan terobosan prosedur formal yang selama ini menjadi kendala dalam penegakan hukum.

Dalam konteks ini untuk dapat menjalankan hukum lingkungan di tengah masyarakat yang penuh dengan kompleksitas, dibutuhkan aparat penegak hukum, yakni polisi, jaksa, dan hakim yang mempunyai visi, komitmen yang kuat, dan pengetahuan yang memadai di bidang lingkungan. Karena itu, sudah saatnya perlu dilakukan rekrutmen dan pembinaan aparat penegak secara khusus, yang nantinya diharapkan dapat menjalankan tugas khusus dalam menangani sengketa ataupun pengaduan masyarakat masalah lingku‐ ngan, berupa perusakan atau pencemaran lingkungan. Hakim yang diangkat atau ditunjuk dapat saja direkrut dari kalangan akademisi atau pakar hukum lingkungan, praktisi yang mengetahui seluk‐beluk masalah lingkungan, ataupun kalangan aktivis yang selama ini gigih memperjuangkan lingkungan.

Untuk itu penegakan hukum lingkungan perlu dilakukan pengawalan dengan menempatkan masyarakat pada akses yang lebih besar menuju civil society. Akses masyarakat tersebut meliputi akses informasi publik, partisipasi dan keadilan. Pada tataran implementasi dibutuhkan kerangka dan pelaksanaan program yang jelas dalam melaksanakan amanat pembangunan berkelanjutan yang didukung semangat good governance dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Di samping itu, mengingat sifat dan karakter kasus lingkungan yang berbeda dengan kasus‐kasus lainnya, dalam beberapa diskusi focus group berkembang pemikiran perlunya model pengadilan khusus sebagai model pengadilan yang diharapkan. Institusi pengadilan ini bisa berdiri sendiri secara mandiri atau melekat pada pengadilan yang sudah ada yang

bertuga s secara khusus enan ani, memeriksa, dan memutus engketa masalah lingk ngan. m g s u Hakim khusus yang akan menangani persoalan sengketa lingkungan harus

mempunyai pemahaman, pengetahuan dan keterampilan lebih di bidang lingkungan. Di samping itu perlu dilakukan pembinaan yang intensif para hakim khusus akan tugas tanggung jawabnya. Hakim diharapkan akan mampu menjalankan hukum dengan komp‐ leksitas yang tinggi dengan penekanan yang mengutamakan pendekatan humanity and ecology . Dengan demikian keinginan untuk mewujudkan keadilan masyarakat dan keadilan lingkungan dapat terwujud.

Upaya untuk mewujudkan pengadilan khusus di bidang lingkungan sudah berusaha dilakukan, tetapi tidak dengan cara membentuk pengadilan adhoc, sebagaimana pengadilan HAM atau korupsi. Mengingat selama ini hakim adhoc yang telah melepaskan jabatannya sebagai hakim karier dan diangkat dengan menjadi hakim adhoc dengan Keputusan Presiden (Kepres), ternyata kesejahteraan dan kariernya berada dalam ketidakpastian. Kondisi seperti itu dikhawatirkan akan mempengaruhi kesungguhan hakim adhoc dalan menjalankan tugasnya.

Untuk menunjukkan kesungguhan dalam penegakan hukum terhadap persoalan yang dianggap amat serius, seperti masalah lingkungan hidup MA telah mengeluarkan Surat Edaran No: MA/Kumdil/ 197.A/VI/K/2000 15 , yang isinya “meminta pengadilan dan hakim untuk menjatuhkan hukuman yang sungguh‐sungguh, setimpal dengan perbuatannya, dan jangan sampai menyinggung rasa keadilan masyarakat terhadap perkara pidana ekonomi, narkoba, perkosaan pelanggaran HAM berat, dan lingkungan hidup. Di samping itu, hakim diminta untuk menjadi katalisator kesenjangan antara hukum positif dengan nilai‐nilai yang berkem ang di dalam masyarakat. b

Dengan berbagai keterbatasan yang ada, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sebenarnya dapat melakukan langkah‐langkah terobosan dalam upaya untuk melakukan pencegahan ataupun penanggulangan pencemaran dan perusakan lingkungan. Beberapa di antaranya KLH dapat melakukan kerjasama dengan kepolisian dan kejaksaan untuk menyamakan persepsi, pemahaman, dan langkah dalam rangka melakukan penegakan hukum lingkungan dengan membentuk kerjasama penegakan hukum lingkungan dengan manajemen satu atap yang ditempatkan di KLH. Di samping itu, dapat dilakukan dengan cara pembinaan aparat penegak hukum, polisi, jaksa, dan hakim dengan muatan materi hukum lingkungan. Dalam proses peradilan yang menangani sengketa lingkungan kepada lembaga pengadilan supaya dalam menggunakan hakim yang salah satunya harus sudah bersertifikat di bidang lingkungan.

Sebagai langkah konkrit perlu ditawarkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup untuk melakukan kerja sama dengan Mahkamah Agung untuk melakukan pembinaan hakim dengan materi yang berkaitan hukum lingkungan. Dari pembinaan yang dilakukan para hakim yang telah menjalani dalam waktu tertentu akan memperoleh sertifikat hakim berkeahlian hukum lingkungan. Sebagai tindak lanjut hakim‐hakim tersebut akan diprogramkan untuk menangani sengketa lingkungan di berbagai daerah di Indonesia. Hakim yang dinilai berhasil dalam menangani sengketa lingkungan akan dipromosikan pada jabatan yang lebih tinggi dengan harapan akan menjadi daya tarik tersendiri bagi hakim

yang m engikuti program pembinaan t rsebut. e

Pembinaan aparat penegak hukum yang akan menangani persoalan sengketa lingkungan tidak hanya didasarkan peningkatan kemampuan dengan menggunakan IQ ataupun EQ, tetapi sudah mulai diasah dengan pendekatan SQ sebagai creative, insightful, rule ­making, rule­breaking thingking. Dalam hal ini hukum progresif yang visioner dan

membe baskan sudah rang tentu berpihak kepada SQ dalam menjalankan hukum ba 16 . Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual (SQ) sebagai

kecerdasan untuk menghadapi persolan makna (value), yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dan kehidupan manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ merupakan landasan yang diperlukan untuk

memfun gsikan IQ dan EQ secara efektif, bahkan SQ merupakan kecerdasan y ng tertinggi a 17 . Menurut Ary Ginanjar, kecerdasan spiritual adalah kemampuan manusia untuk

memberi makna aktivitas hidup (ibadah) dalam setiap perilaku dan kegiatan yang dilakukan, melalui langkah‐langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya (hanif), dan memiliki pola pemikiran integralistik (tauhidi), serta berprinsip “hanya karena Allah” mereka beraktivitas. Dicontohkan seorang aparat atau pekerja memaknai pekerjaan atau profesinya sebagai ibadah yang semuanya dilakukan demi kepentingan umat manusia dan Tuhannya yang sangat dicintainya. Dia berpikir secara tauhidi dengan memahami seluruh kondisi institusi, situasi yang ada, termausuk sosial, ekonomi, dan politik dalam kesatuan yang esa (integral). Dengan berprinsip bismillah dia bekerja giat bahkan lebih giat lagi. Di dalamnya ada kebebasan jiwa yang independen dan merdeka semata‐mata karena la ilaha illallah, dan apa yang dilakukan memberi rakhmat lil

alamin 18 .

Untuk pembinanan para hakim dengan pendekatan kecerdasan spiritual perlu diarahkan pada pembinaan moral, kejujuran, integritas, kepribadian layak dipercaya dan mempunyai kebanggaan menjadi hakim sebagai jabatan yang mulia. Di samping itu tidak kalah pentingnya perlu dilakukan pembinaan spiritual berdasarkan ajaran agama yang diyakininya, yang menyadarkan bahwa tugas hakim sarat dengan tugas keadilan yang membahasakan atas nama Allah untuk memutus perkara dengan berdasarkan keadilan. Dengan kualitas hakim seperti itu, seorang hakim tidak akan tergoda suap dan praktik mafia peradilan, lebih dari itu haim akan dapat melakukan keputusan yang benar sesuai dengan hati nurani dan nilai‐nilai keadilan.

Pembinaan aparat penegak hukum (hakim) dengan pendekatan SQ, di dalamnya terdapat penyadaran dan pesan spiritual yang dalam bahwa seorang hakim adalah wakil (wali) Allah di muka bumi (fil ardi), ia menjalankan tugas atas nama Allah, Tuhan semesta alam untuk menjaga dan menyelamatkan kerusakan alam lingkungan yang telah dirusak oleh pihak‐pihak yang tidak bertanggung jawab. Dengan demikian, apa yang dilakukan aparat penegak hukum (hakim) semata dalam rangka menjalankan amanat mulia sebagai hamba untuk mensejahterakan alam lingkungan, sekaligus di dalamnya terkandung amanat pengabdian (ibadah) kepada Tuhannya.

Pembinaan hakim dengan pendekatan SQ adalah sesuai dengan amanat tugas seorang hakim yang menjatuhkan keputusan berdasarkan pada “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” 19 . Tugas yang dijalankan seorang hakim adalah tugas spiritual dengan mengatasnamakan Tuhan dan keadilan, pertangungjawaban tidak hanya dihadapan manusia tetapi kepada Tuhannya, dengan taruhan surga dan neraka, karena itu dalam menjalankan tugasnya dia tidak boleh main‐main dengan mengotak atik pasal atau mem‐ plintirnya hanya karena iming‐iming materi atau kekuasaan.

Penyadaran dan pesan spiritual yang harus menjadi pola pikir seorang hakim untuk menegakan keadilan termasuk untuk diri dan keluarganya. Apa yang dilakukan semata dalam rangka menjalankan amanat mulia dalam rangka menjalankan pengabdian (ibadah) kepada Allah, zat penggenggam keadilan. Kalau upaya dan pembinaan sebagaimana yang digambarkan di atas dilakukan, hukum dan citra lembaga pengadilan akan terangkat kembali dan mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi penegakan hukum lingku‐ ngan.

Jauh berabad‐abad yang lalu Allah sudah mengingatkan kepada manusia akan kerusakan dan kehancuran alam lingkungan yang diakibatkan perbuatan manusia sebagaimana digambarkan dalam Al‐Quran bahwa “telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka

sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” 20 . Karena itu, seorang aparat penegak hukum (hakim) dalam menjalankan hukum harus selalu menggunakan kecerdasan spiritualnya yang dilakukan dengan mengedepankan pendekatan nurani dan visi yang jauh ke depan dalam rangka menyelamatkan alam lingkungan agar tetap berkelanjutan.