Titik Temu yang Konstruktif

E. Titik Temu yang Konstruktif

Berdasarkan penjelasan mengenai konsep keadilan dan perlindungan minoritas dalam Islam dan dalam konteks negara hukum Pancasila, maka dapat terlihat bahwa keduanya memiliki beberapa titik persamaan.

Pertama , baik Islam maupun negara hukum Pancasila keduanya jelas sama‐sama memiliki landasan filsafat Ketuhanan. Di Islam, ada tauhid sebagai “puncaknya.” Sedangkan

pada Pancasila ada sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai “puncaknya,” sebagaimana ajaran dari Notonagoro mengenai susunan sila Pancasila yang bersifat hierark is piramidal (Besar, 2005: 83).

Dalam Islam, seperti melalui apa yang telah tercantum dalam Al‐Qur’an Surat An‐ Najm: 30 dan Surat Al‐Kahf: 29, menimbulkan akibat logis adanya kebebasan memilih sehingga terdapat pluralitas di dalam segala bidang (dimensi) berkehidupan, termasuk memilih keyakinan. Bahkan, pluralitas itu sejatinya merupakan kehendak Tuhan (sunnatullah) karena dengannya manusia bisa saling melengkapi. Oleh karena itu, perbedaan yang ada patut dijaga dalam keadilan dan keseimbangan selama tidak menimbulkan kezaliman pada manusia lain.

Secara historis, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa rumusan sila pertama Pancasila tersebut merupakan kompromi dari perdebatan yang terjadi antara kubu penganjur negara Islam dan penganjur negara sekuler. Dari hal itu sebenarnya ada pelajaran yang penting mengenai kearifan dan toleransi yang dapat dipetik dari penerimaan para tokoh Islam, baik dalam proses perdebatan mengenai dasar negara yang terjadi dalam BPUPKI maupun dalam Konstituante.

Dalam konteks masa kini, pelajaran untuk menghargai dan memahami pluralitas, juga pelajaran mengenai kearifan dan toleransi seperti yang telah dicontohkan oleh para tokoh pendiri negara Indonesia tentunya dapat dijadikan masukan (pertimbangan) dalam menghadapi secara wajar fakta adanya perbedaan paham, agama, atau aliran yang dapat menimbulkan adanya kelompok minoritas di masyarakat.

Ke dua, Islam dan juga negara hukum Pancasila sama‐sama memiliki konsep keadilan yang terkait erat dengan upaya perlindungan HAM, termasuk HAM bagi kelompok minoritas.

Dalam Islam, misalnya sebagaimana yang tercantum dalam Al‐Qur’an Surat An‐Nahl:

90 dan Surat An‐Nisa: 135, telah ditanamkan nilai kemanusiaan dan keadilan yang universal, dalam pengertian tidak mengenal batas‐batas naionalisme, kesukuan, etnis, bahasa, warna kulit, status sosial ekonomi, dan bahkan batasan agama. Dengan adanya ayat tersebut, Al‐ Qur’an sebenarnya juga dapat dipahami sebagai sebuah kitab suci yang menentang otoritarianisme (kesewenang‐wenangan), kekuasaan yang tidak adil, dan membela mereka yang lemah (Khaled, 2004).

Sedangkan dari sisi negara hukum Pancasila, sebagaimana telah dijelaskan, secara formal yuridis, memiliki 5 (lima) unsur yang saling terkait, dan salah satunya ialah unsur adanya jaminan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Sehubungan dengan prinsip persamaan bagi seluruh warga negara dalam bingkai Pancasila ini, maka sangat jelas di dalam Negara Indonesia tidak boleh ada bentuk‐ bentuk praktik diskriminasi dalam bidang hukum maupun pemerintahan (Fadjar, 2005: 98).

Unsur dari negara hukum Pancasila yang menjamin persamaan bagi seluruh warga negara dalam hukum dan pemerintahan seharusnya dapat menjadi pedoman yang dipatuhi seluruh masyarakat dan pihak penyelenggara negara, termasuk dalam hal ini pihak pemerintah, dalam menjalankan wewenang yang ada padanya. Sehingga untuk masa yang akan datang dapat dihindari terulangnya kejadian di mana justru aparat negara terlibat dalam tindakan diskriminasi terhadap kelompok minoritas tertentu.

Bahkan untuk ke depan, untuk mengoptimalkan perwujudan unsur‐unsur yang ada di dalam negara hukum Pancasila tersebut, mungkin perlu pula dipikirkan cara bagaimana agar kelompok‐kelompok minoritas yang ada dalam masyarakat dapat memiliki lebih banyak saluran (sarana) untuk memperjuangkan kepentingan atau hak asasi mereka yang masih rentan mengalami pelanggaran.

Untuk keperluan hal tersebut di atas, mungkin upaya membangun sarana‐sarana perwakilan bagi kelompok minoritas perlu dipikirkan secara serius. Florian Bieber menjelaskan ada beberapa sarana perwakilan yang dapat dimanfaatkan atau dibentuk oleh kelompok‐kelompok minoritas, yaitu: perkumpulan‐perkumpulan untuk menyuarakan kepentingan kelompok minoritas, institusi‐institusi khusus, seperti dewan, yang dibentuk untuk mewakili kepentingan kelompok minoritas, partai politik yang bisa saja bukan partai politik khusus yang dibentuk untuk menyuarakan kepentingan kelompok minoritas, tetapi lebih merupakan partai politik yang program‐programnya juga menjangkau kepentingan kelompok minoritas, atau bahkan membentuk partai politik yang memang khusus mewakili kepenti gan kelompok minoritas (Bieber, 2008: 11). n

F. Penutup (Simpulan) Praktik diskriminasi dengan mengatasnamakan agama tertentu masih sering terjadi di

Indonesia, dan biasanya yang menjadi korbannya ialah dari kelompok yang minoritas. Peristiwa itu tentu sangat disayangkan terjadi di Indonesia, mengingat masyarakat Indonesia mayoritasnya ialah pemeluk agama Islam dan mereka ini juga menetap di wilayah Negara Indonesia yang memiliki dasar n gara Pancasila. e

Baik Islam maupun Pancasila, sebenarnya sama‐sama memiliki perhatian yang sangat mendalam terhadap masalah keadilan, persamaan (prinsip egaliter), dan perlindungan terhadap HAM, termasuk bagi kelompok minoritas.

Islam pada prinsipnya merupakan ajaran yang membawa rahmat untuk semesta alam (rahmatan lilalamin) yang menghargai pluralitas dalam berbagai dimensi, sebagaimana contohnya terdapat dalam Al‐Qur’an Surat Al‐Baqarah ayat 256. Pluralitas tersebut diamanatkan untuk dijaga dalam keadilan serta keseimbangan selama tidak menimbulkan kezaliman dan bencana bagi kelangsungan hidup.

Konsep dalam Islam yang seperti itu tentunya sejalan dengan pemikiran bahwa di dalam negara hukum Pancasila juga tidak boleh ada diskriminasi. Hal yang demikian bahkan telah menjadi tema utama dalam perdebatan mengenai dasar negara pada tahun 1945 di BPUPKI maupun pada tahun 1957 di Konstituante. Pada perdebatan di BPUPKI, misalnya, telah ada seruan untuk beragama namun tanpa “egoisme agama” disertai dengan sikap harus saling menghormati. Begitu pun pada perdebatan di Konstituante, telah disampaikan argumen bahwa Pancasila ialah wadah bagi semua golongan (aliran) sehingga tidak akan ada golongan yang dirugikan karenanya.

Pada akhirnya dapat dipahami bahwa sebenarnya apabila konsep keadilan dalam Islam benar‐benar ditegakkan, maka itu berarti juga akan membawa pengaruh yang positif bagi perwujudan negara hukum Pancasila. Karena keduanya, yaitu Islam dan negara hukum Pancasila, memiliki kesesuaian prinsip untuk menegakkan keadilan, menjamin persamaan setiap orang, dan mengupayakan perlindungan HAM, termasuk bagi kelompok minoritas. Oleh karena itu, sinergi di antara keduanya perlu diupayakan secara optimal dan berkesinambungan. * * *