PEMBAHASAN PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM MINYAK DAN GAS BUMI

B. PEMBAHASAN PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM MINYAK DAN GAS BUMI

Politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggaraan negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai‐nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita‐citakan. Dalam merumuskan dan menetapkan hukum yang telah dan akan dilakukan, politik hukum menyerahkan otoritas legislasi kepada penyelenggara Negara, tetapi dengan tetap memperhatikan nilai‐nilai yang berlaku di masyarakat. Dan kesemuanya itu diarahkan dalam rangka mencapai tujuan Negara yang dicita‐citakan. (Mahfud MD, 2007: 45).

Negara menguasai segala sesuatu yang berada di dalam wilayah kedaulatannya dan selanjutnya mengatur sedemikian rupa semua potensi dan kepentingan yang ada melalui mekanisme hukum, oleh karena itu hak menguasai oleh negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada hakekatnya merupakan suatu perlindungan dan jaminan akan terwujudnya sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat.

Alinea IV pembukaan UUD 1945 menunjukkan bahwa negara Indonesia menganut konsep negara hukum material (welfare state) yakni suatu konsep negara yang memberikan kekuasaan kepada negara untuk bertindak aktif dan turut campur (fries ermessen) dalam kegiatan‐kegiatan kemasyarakatan untuk membangun kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan konsekuensi dapat menekan peranan masyarakat dan meletakkannya di bawah

peranan Negara. (Mahfu MD, 2000: 5). d 4

Negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi dari bangsa Indonesia memiliki wewenang dan kewajiban untuk melakukan pengelolaan terhadap komoditas vital tersebut. Hal ini selaras dengan 4 (empat) fungsi yang dimiliki negara yaitu:(1). Negara sebagai penjamin (provider);(2). Negara sebagai pengatur (regulator);(3). Negara sebagai pelaku ekonomi (enterpreneur);(4). Negara sebagai pengawas (umpire). (Arief Hidayat, 2006: 198).

Dalam fungsinya sebagai penjamin negara bertanggung jawab dan menjamin suatu standar minimum kehidupan secara keseluruhan. Sebagai regulator negara memiliki kewenangan untuk mengatur yang dapat diwujudkan dalam peraturan perundang‐ undangan. Sebagai pelaku ekonomi negara menjalankan sektor tertentu dalam bidang ekonomi melalui Badan Usaha Milik Negara (disingkat BUMN) dalam rangka menciptakan keseimbangan peran sektor publik dan sektor swasta. Sedangkan sebagai pengawas negara dituntut untuk merumuskan standar‐standar yang adil berkaitan dengan kinerja sektor‐ sektor yang berbeda dalam bidang ekonomi. Dengan demikian negara berkewajiban untuk meregulasi, mendistribusi, menyediakan dan meresolusi konflik dalam halnya perolehan sumber ‐sumber kesejah eraan. (Arief Hidayat, 2006: 199). t

Indonesia telah memiliki beberapa aturan hukum untuk melakukan pengusahaan migas. Beberapa aturan hukum tersebut antara lain; Undang‐Undang No. 44 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi; Undang‐Undang No. 15 Tahun 1962 Tentang Kewajiban Perusahaan Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri; Undang‐Undang No. 8 Tahun

1971 Tentang Perusahaan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina); dan terakhir Undang‐ Undang No. 22 Tahun 2 01 Tentang Minyak dan Gas Bumi. 0

Perkembangan politik hukum migas tersebut bersandarkan pada pengembangan atau penyempurnaan produk‐produk hukum migas yang telah ada (ius constitutum) ataupun produk hukum konstitusi ataupun produk‐produk hukum kebiasaan yang berkembang di masyarakat dalam rangka menggapai cita‐cita sesuai dengan amanat UUD 1945. Dalam hal ini kata ”politik hukum” mengacu pada hukum positif yang berlaku berkaitan dengan peraturan perundang‐undangan yang mengatur tentang migas di Indonesia sebagai produk hukum yang dibuat oleh penyelenggara negara dan arah perkembangan hukum yang akan dibangun sehingga mencakup ius constitum (hukum yang sedang berlaku) dan ius constituendum (hukum yang dicita‐citakan di masa yang akan datang).

Sehingga, aturan hukum tersebut di atas memiliki masa dan sejarahnya sendiri. Keberadaannyapun memilki tantangan masing‐masing. Undang‐Undang Migas yang baru lahir tahun 1960 pasca kemerdekaan Indonesia mencerminkan kemerdekaan ekonomi yang terlamb at. Dalam artian 15 tahun pasca proklama si (migas) m asih dalam kendali penjaj h. a

Perekonomian Indonesia di tahun 1950 pada umumnya masih menjadi hak milik asing. Bidang‐bidang strategis dalam hal ini migas masih dikelola asing. Sebuah survei yang dilakukan pemerintah pada tahun 1953 membuktikan bahwa, nilai investasi asing di Indonesia pada waktu itu berjumlah; $2. 240 juta AS. Dari jumlah itu sebanyak $1. 470 juta adalah milik Belanda.

Bergantinya beberapa penyelenggara negara dari pemerintah Orde Lama hingga Orde Reformasi yang menjadi pemegang otoritas negara sama sekali tidak mencerminkan penghentian terhadap liberalisasi migas. Saat ini eksploitasi migas semakin tak tertanggulangi, aturan yang dikeluarkan demi keuntungan investasi semata. Indonesia sebagai salah satu koloni sumber daya energi dan pasar konsumsi tak terhindarkan telah digeser pada globalisme dan imperialisme Mutakhir. Dalam konteks semacam ini mega proyek negara bukan lagi pada politik hukum pembangunan seperti halnya di masa pemerintahan Orde Baru, akan tetapi pada pendudukan ekonomi sumber daya alam, aset– aset vital perekonomian dan penguasaan pasar lokal oleh perusahaan asing.

Hal ini merupakan konsekuensi dari pembangunan yang didasarkan pada ekspor migas yang cenderung negatif setidaknya selama 40 tahun terakhir. Efek buruknya meliputi pertumbuhan ekonomi lebih lambat dari yang diharapkan, diversifikasi ekonomi yang buruk, indikator kesejahteraan sosial yang menyedihkan, tingkat kemiskinan dan ketimpangan yang tinggi, kerusakan lingkungan di tingkat lokal, korupsi yang meluas, penyelenggaraan pemerintahan yang sangat buruk, serta tingkat konflik dan perang yang tinggi.( Terry Lynn, 2007: 26).

Disektor industri migas ada banyak kasus perusakan lingkungan yang terjadi. Salah satunya yang terbesar adalah tragedi semburan lumpur Lapindo yang disebabkan pengeboran gas yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas Inc. Di sumur Banjar Panji I Sidoarjo Jawa Timur.

Sejak tragedi itu terjadi pada tanggal 29 Mei 2006 hingga makalah ini ditulis sudah

11 desa di 3 kecamatan yang tenggelam semburan lumpur. Seluruh rumah, pekarangan bahkan jaringan sosial ludes porak poranda, anak‐anak terganggu proses belajarnya, 11 desa di 3 kecamatan yang tenggelam semburan lumpur. Seluruh rumah, pekarangan bahkan jaringan sosial ludes porak poranda, anak‐anak terganggu proses belajarnya,

Perjuangan 2.381 Kepala Keluarga (KK) atau 9.160 Jiwa tersebut untuk mendapatkan haknya yang telah dirampas diubah hanya sebatas hak ganti rugi dan itu pun harus dengan menyerahkan sertifikat tanahnya ke Lapindo hingga kini politik ganti rugi ini, menggantung tak kunjung tuntas. Sejak tahun 2007, uang APBN yang telah digunakan mencapai triliunan rupiah. Sumber lumpur lapindo telah menghadirkan daya rusak tak terperi. Ini adalah potret buram dampak dar i pertambang an migas yang terjadi.

Karenanya, perlu segera dilakukan reinterpretasi kepemilikan energi secara faktual dan de facto, salah satunya adalah melalui mekanisme transparansi tatakelola pendapatan dan lingkungan pertambangan migas untuk mengembalikan dalam kerangka de jure dan ideal serta mendapatkan data publik yang transparan dan berkualitas baik, yang sesuai dengan semangat Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 sebagai landasan filosofis politik hukum pengelolaan migas. Serta, untuk menjamin efektifitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan secara berdaya guna, berhasil guna, serta berdaya saing tinggi dan berkelanjutan atas migas yang strategis dan tidak terbarukan melalui mekanisme yang terbuka dan t ransparan demi mencapai keadilan sosial dan keadilan ekologis yang dicita‐citakan.