Kebutuhan Empiris

D. Kebutuhan Empiris

Secara sosiologis, kebutuhan akan pengakuan terhadap keberadaan peradilan adat tidak hanya menjadi monopoli masyarakat adat Papua, yang kemudian “beruntung” dengan

diterbitkannya UU Otsus Papua. Di banyak masyarakat hukum adat lainnya keberadaan peradilan adat ipso facto masih sangat berperan besar sebagai self regulating mechanism atau sering disebut sebagai community justice system yang bekerja secara informal namun otonom (Kurnia Warman, 2003 : 90). Lembaga ini melalui mekanisme‐mekanisme yang dimiliki berfungsi sebagai penyelesai, dan/atau sebagai pemulih situasi tertib pada umumnya (Soetandyo Wignjosoebroto, 1994 : 136).

Di sebagain besar tatanan lokal yang hidup di nusantara telah berkembang praktek teknis resolusi konflik (Ade Saptomo, 2010: 95‐109). yang dijalankan melalui peradilan adat. Beberapa contoh ilustrasi dapat digambarkan berikut.

Di Desa Terawas, Musirawas, Sumatera Selatan, dikenal tradisi punjung mentah. Bila terjadi pertentangan antar warga, pihak bersalah difasilitasi membawa punjung mentah kepada keluarga korban, di dalamnya berisi kopi, gula, beras, ayam dan rokok. Punjung mentah adalah simbol ungkapan penyesalan dan permohonan maaf kepada keluarga korban. Kalau punjung mentah sudah dibawa, biasanya keluarga korban merasa puas, dihormati, menerimanya dan menahan dendamnya. Usai pemberian punjung mentah, dilanjutkan dengan tradisi tepung tawar, orang yang saling bertikai kemudian saling mengoleskan tepung tawar di badannya, maka keduanya dianggap bersaudara. Cara demikian menahan konflik perorangan menjadi konfik kelompok bahkan konflik komunal” ( Abdur Rozaki, 2010).

Di Kabupaten Soe, Nusa Tenggara Timur, dikenal tradisi okomama, yakni sebuah kotak dengan aneka ukuran yang di luarnya dibalut dan dilapisi kain tenunan adat dan di dalamnya diisi sirih pinang dan kapur. Bila ada konflik atau pertikaian dalam masyarakat, pihak bertikai dimasukkan kedua tangannya dalam okomama sambil berjanji dan bersumpah untuk tidak lagi permusuhan dan selanjutnya menjaga perdamaian. Dengan itu, damai antar pihak bertikai terfasilitasi, dendam teredam, konflik kelompok bahkan komunal terhindari ( Ade Saptomo, 2010 : 95).

Di Bali, dalam menata, memperbaiki, dan meminimalisasi terjadinya konflik di Desa Pakraman adalah dengan mengedepankan penyelesaian konflik melalui perundingan

diantara mereka yang berselisih secara damai dan kekeluargaan. Jika konflik tidak dapat diselesaikan melalui perundingan di atantara mereka, maka di tempuh pola mediasi yaitu penyelesaian sengketa yang dimediatori oleh Majelis Desa Pakraman sebagai suatu bentuk peradilan adat. Penyelesaian konflik secara damai sangat penting dikedepankan untuk mempertahankan harmoni sosial dalam kehidupan masyarakat Bali, serta tidak menimbulkan luka batin yang menyisakan dendam berkepanjangan. Masyarakat di Bali lebih percaya dengan putusan lembaga peradilan adatnya, daripada putusan peradilan negara. Ada rasa keadilan yang sebenarnya tercermin dari tiap putusan hukum adatnya ( Made Sudjana , 2010 : tanpa lm). h

Di Bengkulu, pada klan Selupu Lebong, dikenal pengadilan yang melibatkan pelindung adat, ketua kutai dan ketua sukau/klan ( Abd. Kholik, “Menggagas Penyelesaian Konflik Berbasis Kearifan Lokal (local wisdom) (Studi pada Mekanisme Peradilan Adat Clan Selupu

http://blog.unsri.ac.id/revolusi ­jalanan/artikel­sosial­ budaya/diunduh 28 Juli 2010). Di Takalar, Sulawesi Selatan dikenal Imam Desa yang kurang lebih menjalankan fungsi yang sama yaitu sebagai mediator dalam konflik lokal (Jawahir Tontowi, 2007 : 72). Keefektifan peradilan adat dalam penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan pernah dilansir oleh Komisi Nasional Perempuan sebagaimana dinyatakan Rukmini Paata Toheke (Perempuan adat Ngata Toro Opant Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah) (http://www.komnasperempuan.or.id/2010/09/peran‐penting‐ pengadilan‐adat‐dalam‐penyelesaian‐kasus‐kekerasan‐terhadap‐perempuan, diunduh 27 September 2010).

Lebong,

Bengkulu)”,

Dari perspektif sosiologis, politik hukum unifikasi lembaga peradilan dalam sistem kekuasaan kehakiman telah mengabaikan (the political of ignorance) fakta kemajemukan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Terutama pada kesatuan masyarakat hukum adat yang masih kuat memegang hukum adat mereka dan memiliki peradilan tersendiri untuk menyelesaikan sengketa dan pelanggaran hukum adatnya. Tidak heran jika ada keinginan Dari perspektif sosiologis, politik hukum unifikasi lembaga peradilan dalam sistem kekuasaan kehakiman telah mengabaikan (the political of ignorance) fakta kemajemukan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Terutama pada kesatuan masyarakat hukum adat yang masih kuat memegang hukum adat mereka dan memiliki peradilan tersendiri untuk menyelesaikan sengketa dan pelanggaran hukum adatnya. Tidak heran jika ada keinginan

Pada sisi lain, keberadaan peradilan adat justru diperlukan oleh sistem kekuasaan kehakiman dalam rangka membantu mengatasi problema kelebihan beban (over loaded) yang dihadapi pengadilan resmi (negara). Banyak sengketa perdata dan perkara pidana ringan, pidana anak (kasus sandal jepit) atau delik aduan akan lebih efektifdan efisien diselesaikan oleh peradilan informal (peradilan adat) yang diharapkan dapat memberikan restorative justice. Secara umum prinsip‐prinsip keadilan restoratif adalah membuat pelanggar bertanggungjawab memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya. Memberikan kesempatan kepada pelanggar membuktikan kapasitas dan kualitasnya di

sampin g mengatasi ra a bersalah ya s ara konst s n ec ruktif (M usakkir 2011 : 5) , . Penyelesaian sengketa oleh peradilan adat dengan berbasis kearifan lokal

didasarkan pada musyawarah lebih menjanjikan untuk mendapatkan restorative justice (Darmawan Salman, 2011). Menurut definisi yang dikemukakan oleh Dignan, restorative

justice a tau keadilan restoratif adalah Anonim, 2012) : ( Restorative justice is a new framework for responding to wrong doing and

conflict that is rapidly gaining acceptance and support by educational, legal, social work, and counceling professionals and community groups. Restorative justice is a valued ­based approach to responding to wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the person harmed, the person causing the harm, and the affected community”.

Definisi tersebut mensyaratkan adanya suatu kondisi tertentu yang menempatkan keadilan restoratif sebagai nilai dasar yang dipakai dalam merespon suatu perkara pidana. Dalam hal ini disyaratkan adanya keseimbangan fokus perhatian antara kepentingan pelaku dan korban serta memperhitungkan pula dampak penyelesaian perkara pidana tersebut dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Michael Wenzel bahwa restorative justice means the repair of justice through reaffirming a shared value­consensus in a bilateral

process (Michael We nzel, Tyler G. Okimoto, rma T. Feather, Michael J. Platow, 2008 : 1). No n Keadilan restoratif pada abad dua puluh satu memang telah berkembang menjadi

gerakan dengan memberdayakan nilai‐nilai tradisional dan melibatkan warga masyarakat, sebagaimana ditulis oleh Mark S. Umbreit and Marilyn Peterson Armour berikut ini ( Mark S. Umbreit and Marilyn Peterson Armour, 2011 : 14) :

The restorative justice movement is having an increasing impact upon criminal justice system policy­makers and practitioners throughout the world. As a relatively young reform effort, the restorative justice movement holds a great deal of promise as we enter the twenty­first century. By utilizing many traditional values of the past, drawn from many different cultures, we have the opportunity to build a far more accountable, intelligible, and healing system of justice and law, which can lead to a greater sense of community through active victim and citizen involvement in restorative initiatives.

Sangat beralasan jika Kementerian Dalam Negeri sebagaimana disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menggagas peradilan tingkat desa dan nagari dalam rancangan undang‐undang (RUU) tentang Desa untuk menyelesaikan kasus ringan yang seharusnya tidak perlu dibawa ke ranah hukum ( http://www.republika.co.id/berita/ nasional/hukum/12/03/24/m1e2ky‐selesaikan‐kasuskasus‐kecil‐kemendagri‐gagas‐ peradilan‐tingkat‐desa , diunduh 26 Maret 2012).