KONSEP FLEKSIBILITAS

C. KONSEP FLEKSIBILITAS

Pada awal esai ini, kami memberikan pertanyaan mengenai apakah fleksibilitas diperlukan dalam suatu sistem hukum dan, jika iya, sejauh mana sistem hukum harus fleksibel. Setelah meninjau berbagai konsep, kami mencoba merumuskan konsep fleksibilitas yang tepat. Bahwa fleksibilitas dalam regulasi tidak dapat dapat dinafikan di dalam penciptaan sistem hukum yang responsif. Namun demikian, fleksibilitas juga tidak semudah itu diterapkan, karena ada ‘pengorbanan’ di dalam aspek kepastian hukum. Khusus untuk Indonesia, regulasi yang terlalu fleksibel juga berpotensi memfasilitasi penyalahgunaan kewenangan. Kemudian mengacu kepada Selzncik, fleksibilitas juga tidak boleh menghilangkan integritas dari sistem regulasi itu sendiri. Oleh karena itu, perlu diberikan batasan, dalam hal apa regulasi harus rigid, dan dalam hal apa regulasi harus fleksibel. Atas dasar ini kami berargumen seba a g i berik t. u

Pertama , secara material, sistem hukum Indonesia perlu dirancang untuk mendorong penyusunan ketentuan yang jelas dan tidak multitafsir. Hal ini untuk

mengurangi potensi penyalahgunaan dan korupsi yang timbul karena ketidakjelasan regulasi dan kompromi yang berlebihan dengan regulator. Kedua, secara prosedural, dalam hal pembuatan, perubahan, dan pencabutan regulasi, sistem hukum Indonesia justru perlu dirancang untuk lebih fleksibel. Pada masyarakat yang dinamis, plural, dan kerap berubah, kunci efektifitas dan efisiensi dari regulasi bukanlah ‘regulasi yang sempurna’ melainkan ‘regulasi yang mudah disempurnakan’. Ketiga, secara strategi penegakan (enforcement) dan penaatan (compliance), fleksibilitas mengandung arti tersedianya berbagai pilihan instrumen hukum dan pilihan aktor pelaksana.

Fleksibilitas regulasi dalam hukum material Dalam teori regulasi, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk memastikan bahwa

pihak yang diatur melaksanakan tindakan yang dikehendaki oleh regulator. Kami berpendapat bahwa semua metode tersebut harus dieksplorasi secara penuh. Namun, harus diperhatikan bahwa perumusan ketentuan dan norma harus dilakukan secara jelas, tegas, dan sederhana. Hal ini karena pola pikir masyarakat Indonesia masih cenderung legalistik, sehingga kekuatan dari suatu norma hukum dan regulasi justru timbul dari kejelasan dan

keseder hanaannya da am m ngatur s atu permasalahan. l e u

Sebelumnya, kami hendak menjabarkan beberapa pola regulasi yang lazim ditemukan. Pertama, model perizinan. Model ini paling sederhana karena negara memberikan persyaratan‐persyaratan tertentu sebelum seseorang diizinkan melakukan kegiatan yang dikehendakinya. Persyaratan tersebut dapat berupa finansial, teknis, lingkungan hidup, ataupun sekedar administrasi. Model ini juga sederhana karena sifatnya tegas, dan pemeriksaanya cukup dengan pendekatan ‘checklist’, artinya apabila tidak memenuhi persyaratan, izin otomatis seharusnya ditolak. Meskipun sederhana, perizinan seringkali menjadi penghambat dan dijadikan sumber untuk mengekstraksi rente. Ada pula masalah informasi yang asimetris, karena pemberi izin lebih sedikit mengetahui informasi‐ informasi vita l ketimbang yang akan menerima izin.

Kedua , model informasi. Negara tidak memberikan persetujuan atas suatu tindakan, namun memastikan bahwa tindakan tersebut dilakukan dengan membuka informasi‐

informasi yang dianggap penting. Model ini juga sederhana dan lebih tidak birokratis. Di sisi informasi yang dianggap penting. Model ini juga sederhana dan lebih tidak birokratis. Di sisi

Ketiga , model retribusi atau pajak. Seseorang tidak dilarang untuk melakukan tindakan, namun tindakan tersebut akan dikenai retribusi/pajak yang (seharusnya) akan

digunakan untuk memperbaiki eksternalitas atas tindakannya itu. Misalnya di Indonesia dikenal adanya cukai untuk rokok dan minuman beralkhol. Konsumsi alkohol tidak dilarang di Indonesia, namun konsumen harus sanggup untuk menanggung biaya lebih berupa cukai sebagai bentuk pengendalian negara atas perilaku masyarakat. Dalam hukum lingkungan dikenal juga istilah ‘pajak emisi’, yang belum diterapkan secara sempurna di Indonesia. Intinya, seseorang tidak dilarang untuk berpolusi, namun ia harus membayar pajak per emisi yang dihitung dari polusi yang dikeluarkan.

Keempat , model izin yang dapat diperdagangkan. Konsep ini dikenal dalam hukum lingkungan, dimana pemberi izin menentukan kuota terhadap hal‐hal yang diizinkan kepada

penerima izin. Seandainya penerima izin dapat melakukan tindakan di bawah kuota (misalnya, di bawah level polusi yang diperbolehkan), sisa kuota yang dimilikinya dapat dijual kep pihak lain. Model ini juga mendorong terciptanya pasar yang efisien dan menciptakan insentif bagi pihak untuk bertindak beyond the law. Di Indonesia sistem ini belum atraktif, namun sudah mulai dipraktekan yang terintegrasi dengan pasar internasional, misalnya untuk kredit pengurangan karbon dalam skema clean development mechanism .

Pertanyaannya, model mana yang paling tepat diterapkan di Indonesia? Apabila menggunakan fleksibilitas, maka model yang tepat adalah model yang memberikan insentif bagi pihak yang diatur untuk dapat mengatur strategi penaatannya sendiri. Semakin fleksibel suatu regulasi untuk ditaati, semakin ‘menyenangkan’ pula tindakan untuk menaati hukum. Di sisi lain, fleksibilitas juga harus menghilangkan hambatan akses serta mengurangi potensi penyalahgunaan misalnya dengan rente ataupun korupsi.

Ambil contoh perizinan misalnya. Perizinan sangat sederhana dan jelas sehingga sesuai dengan asas konsistensi regulasi. Tetapi perizinan dapat dimanfaatkan untuk ‘memeras’, misalnya mengharuskan ‘uang pelicin’ apabila perizinan cepat keluar.

Regulasi informasi dan pajak sebenarnya merupakan instrumen hukum yang sangat berdimensi ekonomi. Negara tidak memberikan larangan untuk melakukan tindakan, namun membebankan kewajiban untuk membuka informasi‐informasi tertentu. Sayangnya, regulasi informasi atau pajak tidak bisa diterapkan di semua bidang. Misalnya, rasanya aneh apabila ada peraturan yang kira‐kira berbunyi sebagai berikut: “perusahaan yang hendak menebang hutan wajib memberitahukan mengenai keanekaragaman hayati apa saja yang hilang dalam proses penebangan serta membayar pajak sebagai bentuk ganti rugi atas kehilangan keanekaragaman hayati.” Secara ekonomi, apabila mengacu pada teori Coase, konsep

tersebut sebenarnya rasional. 98 Namun demikian, pasar tidak selalu sempurna. Apabila masyarakat (atau konsumen) tidak peduli dengan seberapa banyak keanekaragaman hayati yang hilang atas tindakan tersebut, maka regulasi informasi tidak akan berfungsi. Pajak juga tidak bisa berlaku untuk sumber daya alam yang tidak dapat di‐kuantifikasi seperti keanekaragaman hayati.

Terakhir, untuk model perdagangan izin hingga kini belum populer di Indonesia. Meskipun fleksibel karena dapat memberikan insentif bagi pelaku untuk bertindak lebih dari apa yang dipersyaratkan hukum, model ini bukan berarti lebih sederhana. Perlu ada penghitungan mengenai ‘nilai’ dari suatu izin, misalnya untuk perdagangan karbon, berapa banyak pengurangan karbon yang dapat dihasilkan dari suatu proyek energi terbarukan, berapa kuota yang dapat diberikan kepada satu pemegang izin. Kompleksitas ini berpotensi disalahgunakan oleh aparatur yang ingin mencari rente melalui negosiasi‐negosiasi yang efisien.

Pada intinya, yang hendak kami sampaikan adalah bahwa substansi/materi mengenai regulasi harus dieksplorasi lebih dalam sehingga terlihat berbagai model yang dapat digunakan untuk menuju pada satu tujuan yang sama. Namun demikian, ada setidaknya tiga faktor yang harus diperhatikan dalam mendesain materi regulasi: kejelasan (clarity), keleluasaan penaaatan (compliance flexibility), dan potensi penyalahgunaan (abuse).

Fleksibilitas regulasi dalam hukum prosedural Kami sudah menyinggung di atas tentang argumen bahwa perbaikan sistem hukum

seharusnya bukan untuk menciptakan regulasi yang paling sempurna/paling baik bagi masyarakat, namun justru regulasi yang mudah disempurnakan. Pada kenyataannya, regulasi tidak akan pernah sempurna karena kondisi masyarakat akan selalu berubah. Apalagi konteks Indonesia memberikan corak dinamis tersendiri yang menyebabkan regulasi harus selalu m uda beradaptasi. h

Ada beberapa prasyarat yang harus diperhatikan untuk menciptakan sistem pembentukan dan perubahan regulasi yang fleksibel dan responsif.

Proses pembentukan dan perubahan peraturan harus tidak boleh bertele‐tele dan tidak birokratis. Argumen yang sama dapat diterapkan untuk proses pemberian persetujuan dan pemberian izin. Sedapat mungkin, peraturan dibuat dan diterapkan oleh unit regulasi yang mengatur dan berinteraksi langsung dengan pihak yang diatur. Sayangnya di Indonesia, kondisinya seringkali tidak seperti ini. Setelah dibentuk/diberikan landasan melalui UU, regulasi di Indonesia umumnya diterjemahkan melalui peraturan pemerintah (PP), lalu didelegasikan kembali melalui peraturan menteri (Permen), dan untuk urusan yang sifatnya teknis sekali, dan cenderung terbatas, maka ada implementasi dalam peraturan direktur jenderal. Kami berpendapat bahwa sistem semacam ini sebenarnya tidak efektif dan tidak mendukung fleksibilitas. Pemerintah (presiden) adalah jabatan politik yang tidak memahami teknis industri/wilayah yang diregulasi secara detail. Bahkan, menteri pun juga jabatan politis yang belum tentu mampu berbicara teknis.

Menurut hemat kami, regulator terbaik yang mampu berbicara praktis/teknis dan bersentuhan langsung dengan pemangku kepentingan ada pada tataran direktorat jenderal. Titik berat regulasi yang lebih besar pada level ini akan mendorong fleksibilitas pembuatan, perubahan, dan pelaksanaan yang lebih menjamin dinamika di masing‐masing bidang. Apabila menggunakan konsep ‘regulasi berbasis prinsip’ sebagaimana sudah dijelaskan di atas, maka peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga politik (presiden/pemerintah atau menteri) sebaiknya cukup mencantumkan prinsip/prinsip dasar, sementara konsep‐konsep detail ada pada lembaga di bawahnya.

Memang format regulasi seperti ini tidak mudah untuk dilaksanakan, bahkan mungkin mendapatkan pertentangan. Pada prinsipnya, sistem pemerintahan kita adalah sistem presidensial. UU yang dibuat oleh lembaga legislatif seharusnya/sewajarnya memberikan amanat pelaksanaan dan kewenangan regulasi ke Presiden/Pemerintah. Bahkan beberapa pihak sudah mulai mempertanyakan pemberian kewenangan dari UU langsung ke menteri bertentangan dengan sistem presidensial dan lebih cocok ke model sistem parlementer. Pada kenyataanya, di UU kita mulai sering melihat delegasi ke menteri, misalnya “ketentuan mengenai…. diatur dengan peraturan menteri.” Yang pasti, tidak mungkin suatu UU memberikan delegasi atau atribusi ke direktoral jenderal, karena hal tersebut dapat merusak struktur birokrasi pemerintahan, misalnya, “ketentuan mengenai… diatur dengan peraturan direktorat jenderal perhubungan udara ”.

Solusi yang hendak kami tawarkan adalah meng‐arusutama‐kan (mainstreaming) pembentukan regulator independen, sebagai otoritas yang memiliki kewenangan atribusi di bidang pembuatan regulasi pada masing‐masing bidangnya. Regulator independen ini harus tetap berada di bawah pemerintah, dan juga di bawah kementerian, untuk menjamin koordinasi yang efektif. Apabila regulator independen berada di luar struktur pemerintah, maka potensi konflik kelembagaan sangat besar untuk terjadi. Hanya untuk bidang‐bidang khusus yang sangat rentan intervensi saja suatu regulator dapat berada di luar pemerintahan, misalnya untuk regulasi moneter. Dengan skema ini, maka terdapat pembagian fungsi yang jelas antara pembuatan kebijakan (presiden dibantu oleh menteri sebagai pembantu presiden) dan fungsi pembuatan peraturan. Dengan skema ini pula, ada pemisahan (meskipun tidak independen) antara fungsi politik dengan fungsi teknis regulasi, yang justru dapat mengeluarkan intervensi‐intervensi politik (atau bentuk apapun intervensi non‐teknis) dalam pembuatan peraturan.

Skema ini, lagi‐lagi, mengadopsi efektivitas dan efisiensi yang menurut kami berhasil diterapkan di bidang regulasi keuangan melalui BAPEPAM‐LK. BAPEPAM‐LK (sebelum OJK) pada dasarnya merupakan lembaga regulator independen, namun posisinya berada setingkat dengan direktorat jenderal pada lingkungan kementerian keuangan. Ia tetap tunduk pada menteri keuangan, namun memiliki kewenangan diskresional yang mampu membu atnya responsif t erhadap kegiatan di pasar modal dan keuan an. g

Satu lagi aspek yang harus diperhatikan adalah otonomi daerah, yang membuat banyak kewenangan diberikan kepada pemerintah daerah. Harus diakui, kompleksitas yang terbentuk dengan otonomi daerah membuat pola pembagian kewenangan menjadi tidak sederhana. Peraturan di daerah umumnya dikeluarkan oleh otoritas politik, misalnya Peraturan Daerah yang dikeluarkan oleh gubernur/bupati/walikota, yang membuat peraturan di daerah sangat rentan terpengaruhi oleh pertimbangan politik. Bukan rahasia lagi, hubungan antara pelaku bisnis dengan pemerintah daerah, apalagi menjelang pemilihan kepala daerah, menjadi ladang subur penyalahgunaan kewenangan. Keberadaan regulator daerah belum ada format yang jelas. Misalnya Badan Regulator Pelayanan Air Minum Jakarta, dibentuk atas dasar perjanjian infrastruktur pola kerjasama publik‐privat antara pemerintah daerah dan pemegang konsesi. Baru pada tahun 2005 ada kewenangan formal yang jelas melalui Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 54/2005 tentang Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta. Ada pula regulator daerah yang didirikan dengan tujuan sinkronisasi dengan pemerintah pusat, misalnya peraturan daerah yang membentuk Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPM‐D). Hubungannya pun seringkali menimbulkan konflik dengan BKPM pusat. Oleh karena itu, aspek otonomi daerah Satu lagi aspek yang harus diperhatikan adalah otonomi daerah, yang membuat banyak kewenangan diberikan kepada pemerintah daerah. Harus diakui, kompleksitas yang terbentuk dengan otonomi daerah membuat pola pembagian kewenangan menjadi tidak sederhana. Peraturan di daerah umumnya dikeluarkan oleh otoritas politik, misalnya Peraturan Daerah yang dikeluarkan oleh gubernur/bupati/walikota, yang membuat peraturan di daerah sangat rentan terpengaruhi oleh pertimbangan politik. Bukan rahasia lagi, hubungan antara pelaku bisnis dengan pemerintah daerah, apalagi menjelang pemilihan kepala daerah, menjadi ladang subur penyalahgunaan kewenangan. Keberadaan regulator daerah belum ada format yang jelas. Misalnya Badan Regulator Pelayanan Air Minum Jakarta, dibentuk atas dasar perjanjian infrastruktur pola kerjasama publik‐privat antara pemerintah daerah dan pemegang konsesi. Baru pada tahun 2005 ada kewenangan formal yang jelas melalui Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 54/2005 tentang Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta. Ada pula regulator daerah yang didirikan dengan tujuan sinkronisasi dengan pemerintah pusat, misalnya peraturan daerah yang membentuk Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPM‐D). Hubungannya pun seringkali menimbulkan konflik dengan BKPM pusat. Oleh karena itu, aspek otonomi daerah

Untuk memperkaya pembahasan mengenai hal ini, mari kita tilik teori yang disampaikan oleh Habermas. 99 Menurut Habermas, yang harus diutamakan adalah kepastian hukum dalam prosedur hukum. Artinya, hak‐hak prosedural memberikan jaminan hukum kepada orang akan adanya prosedur yang adil. Jadi, ketimbang memberikan jaminan atas hasil, maka jaminan yang diberikan adalah atas proses. Dengan demikian, proses pembuatan dan penerapan regulasi justru akan lebih terjamin apabila proses regulasi teknis lebih ‘dekat’ dengan pihak yang hendak diatur, dan di sisi lain, lebih ‘jauh’dari kepentingan politik atau non‐teknis lainnya.

Fleksibilitas regulasi dalam penegakan hukum Bidang penegakan regulasi adalah aspek yang luput dari kajian‐kajian di bidang regulasi di

Indonesia. Pola pikir sektoral menyebabkan tidak banyak pembuat kebijakan ataupun regulator yang mencoba menciptakan sinergi di antara instrumen‐instrumen regulasi yang tersedia. Padahal, perkembangan teori regulasi di yurisdiksi lain sudah sangat maju dan beragam.

Ayres dan Braithwaite dalam teorinya ‘regulasi responsif’ menyusun suatu pola penegakan hukum format piramida, yang artinya dalam penegakan hukum harus dilakukan

pada awalnya dengan cara yang persuasif dan tidak mengeluarkan biaya mahal, misalnya inspeksi hingga pemberian surat teguran. Apabila yang diatur tidak mau melaksanakan regulasi, maka regulator akan meningkatkan derajat deterensi dari tindakan penegakan hukum, yang semakin lama semakin memberi efek jera dan memerlukan sumber daya yang lebih banyak, misalnya pemberian sanksi administratif hingga pemberian sanksi pidana. Namun, berhubung sangat menimbulkan biaya yang besar bagi masyarakat, sanksi berat sebaikn ya dilaksanakan apabila semua upaya lain sudah terbukti gagal.

Rezim hukum di Indonesia yang mengadopsi fleksibilitas penegakan hukum adalah di bidang lingkungan hidup. UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan banyak alternatif penegakan hukum yang dapat dimanfaatkan, ketentuan mana juga sudah diadopsi di dalam peraturan‐peraturan lain. Menteri dan pemerintah daerah memegang otoritas untuk melakukan tindakan‐tindakan administratif seperti pemberian izin dan pemberikan sanksi administratif. Rezim hukum lingkungan hidup, di sisi lain, juga membuka peluang penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dimana regulator (dalam hal ini Menteri ataupun pemerintah daerah) dapat ‘menanggalkan’ kewenangan regulasinya sementara dan fokus pada mencari solusi dan mendamaikan para pihak. Mengutip laporan kajian yang dilakukan Van Vollenhoven Institute dan BAPPENAS, yang mengacu pada riset yang dilakukan oleh Nicholson, “ketika pemerintah, baik itu pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten mendukung terjadinya penyelesaian sengketa, antara lain dengan menjadi convenor pertemuan atau pun memberikan rekomendasi/instruksi agar perundingan terlaksana, maka pada umumnya para pihak yang bersengketa bersedia untuk duduk bersama melakukan perundingan.” 100 Pola mediasi yang dilakukan oleh pemerintah, dengan demikian, dapat menjadi factor penting penegakan hukum sebelum melakukan tindakan lain yang lebih represif, seperti pencabutan izin atau bahkan sanksi pidana. Di sisi lain, banyak sekali kasus pidana yang penegakannya sangat berhubungan dengan ketaatan administratif, misalnya tindak pidana yang bersumber dari Rezim hukum di Indonesia yang mengadopsi fleksibilitas penegakan hukum adalah di bidang lingkungan hidup. UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan banyak alternatif penegakan hukum yang dapat dimanfaatkan, ketentuan mana juga sudah diadopsi di dalam peraturan‐peraturan lain. Menteri dan pemerintah daerah memegang otoritas untuk melakukan tindakan‐tindakan administratif seperti pemberian izin dan pemberikan sanksi administratif. Rezim hukum lingkungan hidup, di sisi lain, juga membuka peluang penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dimana regulator (dalam hal ini Menteri ataupun pemerintah daerah) dapat ‘menanggalkan’ kewenangan regulasinya sementara dan fokus pada mencari solusi dan mendamaikan para pihak. Mengutip laporan kajian yang dilakukan Van Vollenhoven Institute dan BAPPENAS, yang mengacu pada riset yang dilakukan oleh Nicholson, “ketika pemerintah, baik itu pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten mendukung terjadinya penyelesaian sengketa, antara lain dengan menjadi convenor pertemuan atau pun memberikan rekomendasi/instruksi agar perundingan terlaksana, maka pada umumnya para pihak yang bersengketa bersedia untuk duduk bersama melakukan perundingan.” 100 Pola mediasi yang dilakukan oleh pemerintah, dengan demikian, dapat menjadi factor penting penegakan hukum sebelum melakukan tindakan lain yang lebih represif, seperti pencabutan izin atau bahkan sanksi pidana. Di sisi lain, banyak sekali kasus pidana yang penegakannya sangat berhubungan dengan ketaatan administratif, misalnya tindak pidana yang bersumber dari

Di sisi lain, Gunningham dan Gabrosky mencoba mengembangkan teori regulasi responsif ini ke arah lain, yakni dengan memasukan unsur regulasi non‐negara ke dalam piramida penegakan hukumnya. 102 Kehadiran aktor non‐negara dapat dijadikan faktor pelengkap untuk mendukung penegakan regulasi yang lebih fleksibel dan berbiaya murah. Regulasi non‐negara mengedepankan keahilan. Dengan regulator yang berasal dari praktisi industri yang sama, diyakini regulasi tersebut akan lebih mudah merespons apa ketentuan teknis yang dibutuhkan oleh tiap‐tiap industri. Misalnya yang paling dapat memahami kapan dokter melakukan malpraktek tentu adalah dokter lain yang sudah berpengalaman praktek, bukan hakim yang tidak memiliki pemahaman kedokteran. Untuk memutuskan kapan profesi advokat bertindak di luar tanggung jawabnya adalah mereka yang berprofesi sebagai advokat. Ukuran standardisasi teknis, misalnya untuk produk kehutanan, perkebunan, atau perikanan, lebih baik ditentukan oleh mereka yang sudah menjalankan kegiatan usahanya. Dalam teori ekonomi, dikenal masalah informasi yang asimetris, dimana praktisi yang diatur lebih pa m ha masalah dibanding regulator. 103

Di Indonesia, sayangnya pemanfaatan regulasi non‐negara belum dioptimalkan dengan baik. Akibatnya, regulasi non‐negara tidak memiliki legitimasi yang kuat sebagai regulasi yang kredibel. Belum disusun hubungan yang tegas antara regulasi negara dengan regulasi non‐negara. Pada prinsipnya regulasi non‐negara tidak mungkin berdiri sendiri, namun harus didukung oleh regulasi negara, istilahnya: “in the shadow of the law”. 104 Maksudnya, ketika regulasi non‐negara tidak mampu berjalan efektif, negara harus mengambil alih. Namun, sepanjang regulasi non‐negara dapat berjalan, tidak ada urgensi bagi negara untuk mengatur subyek tersebut. Beberapa praktek menunjukan bahwa regulasi non‐negara untuk melindungi kepentingan kelompoknya sendiri, yang dalam pendekatan ekonomi menjadi serupa dengan konsep ‘kartel’. Kode etik kedokteran justru digunakan oleh asosiasi dokter untuk melindungi profesi mereka atas tudingan malpraktek, atas dasar semangat ‘esprit d’corps’. Kasus serupa juga dapat ditemukan dalam hal profesi hakim yang sempat menimbulkan kontroversi mengenai penilaian etika profesi.

Dalam praktek lain, negara dalam beberapa hal justru mengambil alih regulasi non‐ negara, ketimbang menciptakan sistem penegakan berlapis yang membebankan tanggung jawab kepada regulasi non‐negara, dan negara siaga (standby) seandainya regulasi non‐ negara gagal. Regulasi non‐negara seharusnya menciptakan insentif ekonomi digunakan agar pelaku industri dapat sukarela melakukan tindakan‐tindakan tertentu melebihi apa yang dipersyaratkan oleh hukum, sementara untuk ketentuan minimum tetap berada di dalam domain hukum. Contohnya adalah ketentuan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, CSR) yang diwajibkan untuk perusahaan‐ perusahaan tertentu dalam UU 40/2007 mengenai Perseroan Terbatas. Padahal, CSR seharus nya berfungsi sebaga nsentif ekonomi di luar kewajiban hukum. ii

Dapat disimpulkan, fleksibilitas di bidang penegakan dan penaatan berarti tersedianya opsi‐opsi yang dapat dipilih agar penegakan dan penaatan dapat berjalan efektif, efisien, dan memenuhi tujuan dibuatnya regulasi itu sendiri.