Konvergensi Hukum ke Depan

C. Konvergensi Hukum ke Depan

Berdasarkan pandangan instrumentalisme (instrumentalism), suatu nilai atau ideologi itu berguna ditentukan atas dasar pada berfungsi atau berpengaruhnya secara efektif dalam memenuhi tuntutan sosial, politik, dan ekonomi kehidupan berbangsa. Keberadaan secara aktual yang menentukan instrumental (berpengaruh)‐nya suatu nilai atau ideologi, bukan sekadar pengakuan secara yuridis‐konstitusional. Berdasarkan pandangan ini, lunturnya atau diabaikannya nilai dan ideologi Pancasila dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi Berdasarkan pandangan instrumentalisme (instrumentalism), suatu nilai atau ideologi itu berguna ditentukan atas dasar pada berfungsi atau berpengaruhnya secara efektif dalam memenuhi tuntutan sosial, politik, dan ekonomi kehidupan berbangsa. Keberadaan secara aktual yang menentukan instrumental (berpengaruh)‐nya suatu nilai atau ideologi, bukan sekadar pengakuan secara yuridis‐konstitusional. Berdasarkan pandangan ini, lunturnya atau diabaikannya nilai dan ideologi Pancasila dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi

Sebenarnya ketika peraturan perundang‐undangan, termasuk Konstitusi mencerminkan sepenuhnya nilai‐nilai atau ideologi Pancasila, maka sesungguhnya tidak perlu dikhawatirkan terjadinya pengabaian terhadap Pancasila. Sebab, persoalannya tinggal penegakan hukum. Namun, apabila pada tingkatan peraturan perundang‐undangan saja nilai‐nilai atau ideologi Pancasila sulit dideteksi keberadaannya, maka tidak ada jaminan sama sekali nilai‐nilai Pancasila dapat instrumental (berpengaruh) dalam pergaulan hidup berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, pekerjaan besar kita, yaitu membangun kembali pemahaman terhadap Pancasila dan pengembangan ide, konsep, dan solusi maupun struktur, institusi, dan metode yang mencerminkan nilai‐nilai Pancasila dalam peraturan perundang‐undangan. Persoalannya lebih dari sekadar mengisi Konstitusi Indonesia dengan materi muatan Pancasila. Sebab, hal itu niscaya didahului pengembangan, bahkan pembentukan teori‐teori normatif, seperti teori‐teori keadilan dan hak berbasis nilai‐nilai Pancasila. Itu artinya, Pancasila masuk dalam studi‐studi mengenai “jurisprudence as activity ” (lihat William Twining, 2009 : 9) Dalam konteks inilah, Pancasila perlu menjadi bagian dalam “jurisprudence”, bukan sekadar pelajaran (mata kuliah) Pancasila yang belum terkone ksi seca a konseptual/teoritis dengan “jurisprudence”. r

Bangsa Indonesia telah bersepakat bahwa Pancasila sebagai dasar filosofis dan ideologis, di samping dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum negara. Sehingga, Pancasila harus selalu berpengaruh dalam kehidupan bangsa dan negara. Berdasarkan posisinya sebagai dasar negara, dasar filosofis, dan dasar ideologis, serta sumber dari segala sumber hukum negara, maka Pancasila bukan suatu instrumen (alat) untuk mencapai tujuan Nasional Indonesia sebagai bangsa yang merdeka, meskipun sering dalam kehidupan keseharian diinstrumentalisasi (difungsikan sebagai alat) untuk kepentingan‐kepentingan pragmatis. Akibat instrumentalisasi terhadap Pancasila menjadikan validitasnya ditentukan oleh keberhasilan aksi dalam pencapaian tujuan penggunanya. Ketika Pancasila tidak berhasil mencapai tujuan yang diharapkan penggunanya, maka menjadikan Pancasila kehilan gan validitasnya.

Pancasila niscaya menjadi kategori validitas (keabsahan) filosofis dan ideologis peraturan perundang‐undangan, termasuk Konstitusi. Sehingga, peraturan perundang‐ undangan, termasuk Konstitusi itu yang menjadi instrumen pencapaian tujuan negara (alinea ke‐4 UUD 1945) dan berbagai tujuan pragmatis kehidupan berbangsa dan bernegara, yang selalu didasari Pancasila. Dalam hal ini, instrumentalisasi Konstitusi juga untuk tujuan Pancasila niscaya menjadi kategori validitas (keabsahan) filosofis dan ideologis peraturan perundang‐undangan, termasuk Konstitusi. Sehingga, peraturan perundang‐ undangan, termasuk Konstitusi itu yang menjadi instrumen pencapaian tujuan negara (alinea ke‐4 UUD 1945) dan berbagai tujuan pragmatis kehidupan berbangsa dan bernegara, yang selalu didasari Pancasila. Dalam hal ini, instrumentalisasi Konstitusi juga untuk tujuan

Pancasila dan Konstitusi tidak dapat disangkal “hidup” dalam ruang yang tidak hampa dan kedap pengaruh. Globalisasi yang meruntuhkan sekat antara yang internasional dan domestik karena hubungan‐hubungan internal dan eksternal tidak lagi menjadi jelas telah menjadi kekuatan utama di balik perubahan‐perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang tengah menentukan kembali masyarakat modern dan tatanan dunia (Budi Winarno, 2007 : 13), sehingga Pancasila harus berhadap‐hadapan dengan kekuatan dan transformasi itu. Persoalannya adalah ketika Konstitusi dan peraturan perundang‐undangan yang ada di bawahnya dipergunakan sebagai instrumen perubahan sosial (social change) menyesuaikan dengan transformasi sosial, ekonomi, dan politik masyarakat modern pada satu sisi dan Pancasila sebagai dasar filosofis dan ideologis negara pada sisi lain menimbulkan persaingan. Persaingan ini tidak dapat dihindari karena globalisasi memang telah membuat negara tidak lagi dapat menjalankan fungsi yang benar‐benar otonom. (Budi Winarno, 2007 :

1 1) Pertanyaannya, yaitu akankah Pancasila memenangkan persaingan itu ?

KONSTITUSI &

GLOBALISASI