Pengetahuan Tradisional sebagai Bagian Kearifan Lokal dari Masyarakat Hukum Adat

B. Pengetahuan Tradisional sebagai Bagian Kearifan Lokal dari Masyarakat Hukum Adat

Dalam hubungannya dengan pengelolaan kekayaan hayati, pengetahuan tradisional merupakan informasi dan teknologi yang digunakan oleh komunitas lokal untuk mengolah dan menggunakan sumber daya genetik tersebut dalam kehidupan sehari‐hari. Pengetahuan tradisional juga digunakan sebagai informasi untuk meracik obat‐obatan tradisional yang berbahan sumber daya genetik dari tumbuhan, hewan, atau mikroorganisme sehingga memiliki khasiat bagi pengobatan dan penyembuhan berbagai penyakit. Dengan korelasi antara pengetahuan tradisional dengan pengobatan, menarik untuk menyimak pendapat dari Padmashree Gehl Sampath sebagai berikut: “Traditional knowledge is also often used to denote indigenous medicinal knowledge that is a coherent system linking social behavior, human physiology, and botanical observations.” (Padmashree Gehl Sampath, 2005: 118).

Dalam pengertian yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya hayati, istilah “Traditional Knowledge” juga dipadankan dengan istilah “Traditional Ecological Knowledge

(TEK)” . Mengacu pada pengertian dari Freeman dan Carbyn, TEK didefinisikan sebagai berikut:

TEK is a cumulative body of knowledge and beliefs, handed down through generations by cultural transmission, about the relationship of living beings (including humans) with one another and with their environment. Further, TEK is an attribute of societies with historical continuity in resource use practices; by and large, these are non­industrial or less technologically advanced societies, many of them indigenous or tribal. (Julian T. Inglis, 1993: 3).

Pengetahuan tradisional merupakan sistem pengetahuan yang dikembangkan dalam nuansa budaya dan lingkungan dari masyarakat lokal tertentu. Istilah “traditional” ini sering menyesatkan karena seringkali ditafsirkan sebagai hal‐hal yang bersifat primitif, usang atau kuno, dan bernilai rendah. Istilah ini juga memberi kesan bahwa pengetahuan tradisional dikembangkan dalam kondisi lingkungan yang miskin dan lemah. Dalam kenyataannya, pengetahuan tradisional ini justru dibuat dalam lingkungan yang sangat terstruksur, sistematis, disiplin, dan terikat dengan pola hidup masyarakat pemiliknya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Avanson C. Kamau bahwa: “Istilah tradisional tersebut hanya menunjukkan bahwa pengetahuan tersebut dibuat, dikembangkan, dan disebarluaskan dengan cara‐cara yang mencerminkan tradisi dari masyarakat yang menciptakannya.” (Evanson C. Kamau, 2009, hlm. 145). Istilah tradisional biasanya mengacu pada bentuk‐ bentuk budaya yang disampaikan dari generasi ke generasi dalam bentuk sikap sosial, keyakinan, prinsip dan perilaku, serta praktik yang berasal dari pengalaman sejarah. Dengan demikian, istilah “tradisional” itu tidak berkaitan dengan sifat pengetahuan itu sendiri, tetapi berkaitan dengan cara di mana pengetahuan tersebut yang dibuat, dilestarikan, dan dikembangkan.

Masyarakat adat berhak atas kepemilikan kolektif atas kekayaan intelektual budaya yang mereka miliki. Mereka berhak untuk menguasai, mengembangkan, dan melindungi pengetahuan tradisional yang mencakup informasi dan teknologi tentang sumber daya genetik dan obat‐obatan, pengetahuan tentang sifat flora dan fauna, dan kesenian tradisional sebagai manifestasi budaya. Dalam pemanfaatan pengetahuan tradisional, masyarakat adat memiliki hak material maupun nonmaterial atas sumber daya tradisional tersebut yang dikelola secara komunal berdasarkan kepemilikan bersama. Apabila pengetahuan tradisional dimanfaatkan di luar lingkungan komunitas lokal, maka mereka berhak untuk memiliki kontrol atas penggunaan tersebut agar dapat dipastikan bahwa penggunaan tersebu t tidak merugikan kepentingan mereka.

Dalam fora internasional, negosiasi terkait perlindungan pengetahuan tradisional sebagai hak komunal dari masyarakat adat atau komunitas lokal, mulai menghangat sejak disahkannya Convention on Biological Diversity (CBD) dalam the United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) pada Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brasil. Konvensi ini telah diratifikasi oleh kebanyakan negara di dunia yang menegaskan kembali kedaulatan negara atas sumber daya alam yang ada di wilayahnya. Konvensi ini menjadi perjanjian multilateral lingkungan pertama yang secara eksplisit menghubungkan konservasi keanekaragaman hayati dengan pembangunan berkelanjutan. Pengaturan tentang hak berdaulat negara atas sumber daya alam diformulasikan dalam ketentuan Pasal 3 CBD. Dalam ketentuan tersebut, ditegaskan bahwa setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya (own resources) sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungannya sendiri secara bertanggung jawab yang menjamin tidak akan menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan. Dalam hubungannya dengan Pasal 2 Dalam fora internasional, negosiasi terkait perlindungan pengetahuan tradisional sebagai hak komunal dari masyarakat adat atau komunitas lokal, mulai menghangat sejak disahkannya Convention on Biological Diversity (CBD) dalam the United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) pada Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brasil. Konvensi ini telah diratifikasi oleh kebanyakan negara di dunia yang menegaskan kembali kedaulatan negara atas sumber daya alam yang ada di wilayahnya. Konvensi ini menjadi perjanjian multilateral lingkungan pertama yang secara eksplisit menghubungkan konservasi keanekaragaman hayati dengan pembangunan berkelanjutan. Pengaturan tentang hak berdaulat negara atas sumber daya alam diformulasikan dalam ketentuan Pasal 3 CBD. Dalam ketentuan tersebut, ditegaskan bahwa setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya (own resources) sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungannya sendiri secara bertanggung jawab yang menjamin tidak akan menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan. Dalam hubungannya dengan Pasal 2

Terkait dengan pengakuan pengetahuan tradisional sebagai hak komunitas lokal, Pasal 8 (j) CBD mencakup pengertian yang luas mengenai tanggung jawab negara untuk melindungi keberadaannya. Berdasarkan pasal tersebut, ditegaskan mengenai pengetahuan, inovasi, dan praktik dari masyarakat adat beserta hubungan antara pengetahuan masyarakat tersebut dengan konservasi dan pemanfaatan yang berkelanjutan dari sumber daya hayati. Dengan semangat ini, diharapkan pemerintah nasional, tidak hanya mengakui hak, tetapi juga menyediakan mekanisme partisipatif untuk melaksanakan hak tersebut sehingga masyarakat dapat memeperoleh manfaat dari komersialisasi sumber daya mereka. Dalam fora internasional, Pasal 8 (j) CBD ini menandai perkembangan dari wacana hak‐hak masyarakat adat. Dalam Pasal 15 CBD, dijelaskan mengenai mekanisme akses terhadap sumber daya genetik, termasuk peningkatan transparansi dalam proses permohonan paten, yaitu penyampaian informasi tentang asal usul penemuan tersebut. Dalam ayat (1), ditegaskan bahwa negara memiliki kewenangan untuk menentukan akses terhadap sumber daya genetik berdasarkan kedaulatan negara atas wilayahnya dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan ayat (4), dimungkinkan untuk mengatur akses terhadap sumber daya genetik berdasarkan persetujuan yang disepakati bersama.

Dalam pelaksanaan CBD, Implementasi pembagian keuntungan yang adil dan berimbang atas pemanfaatan sumber daya genetik terbukti tidak pernah berjalan secara efektif karena tidak adanya kerangka kerja yang mengatur pembagian keuntungan tersebut dalam CBD. Protokol Nagoya merupakan perjanjian internasional yang bertujuan untuk menjabarkan lebih lanjut salah satu tujuan dari CBD yaitu pembagian keuntungan yang adil dan berimbang atas pemanfaatan sumber daya genetik. Protokol ini diadopsi oleh COP Ke‐10 pada 29 Oktober 2010 di Nagoya, Jepang. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Protokol Nagoya, dijelaskan bahwa akses terhadap sumber daya genetik harus tunduk pada Persetujuan atas Dasar Informasi Awal (PADIA) dari pihak penyedia sumber daya tersebut. Sama halnya, diatur pula bahwa pengetahuan tradisional yang terkait dengan sumber daya genetik yang dimiliki oleh masyarakat lokal diakses dengan Persetujuan atas Dasar Informasi Awal (PADIA) dan keterlibatan masyarakat lokal tersebut dalam kesepakatan bersama yang telah ditetapkan. Dalam implementasi PADIA tersebut, pemerintah wajib mengambil kebijakan hukum yang mengatur tentang mekanisme akses secara prosedural, termasuk di antaranya sistem perizinan dalam akses terhadap sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional.

Negosiasi internasional terkait perlindungan pengetahuan tradisional juga dilakukan dalam kerangka WIPO. Dalam sidang ke‐25 Majelis Umum WIPO, dipertimbangkan untuk mendirikan Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore (IGC). IGC merupakan sebuah forum untuk membahas isu‐isu hak kekayaan intelektual dalam konteks sebagai berikut: (1) Akses terhadap sumber daya genetik dan pembagian keuntungan; (2) Perlindungan pengetahuan tradisional, baik yang terkait, maupun yang tidak terkait dengan sumber daya genetik; (3) Perlindungan terhadap folklor. Dalam pelaksanaan tugasnya tersebut, IGC melakukan negosiasi berbasis teks dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan melalui instrumen hukum internasional yang akan menjamin perlindungan yang efektif terhadap pengetahuan tradisional, sumber daya genetik, dan ekspresi budaya tradisional.