Periode Penerimaan Hukum Islam oleh Hukum Adat

b. Periode Penerimaan Hukum Islam oleh Hukum Adat

Penerimaan hukum Islam oleh Hukum Adat yang disebut juga teori receptie, menyatakan bahwa hukum Islam baru berlaku bila dikehendaki atau diterima oleh Hukum Adat. Pendapat Snouck Hurgronje ini diberi dasar hukum dalam Undang‐undang Dasar Hindia Belanda sebagai pengganti RR yang disebut Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling (IS) (Afdol, 2006: 77).

“Dalam IS yang diundangkan dengan Stbl. 1929. 212, Hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Pasal 134 ayat (2) IS tahun 1929 “Dalam IS yang diundangkan dengan Stbl. 1929. 212, Hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Pasal 134 ayat (2) IS tahun 1929

Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan berlakunya UUD 1945, teori receptie yang dasar hukumnya IS menjadi tidak berlaku. Walaupun menggunakan dasar

Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang menentukan, “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang‐ Undang Dasar ini”, tidak dengan sendirinya Pasal 134 ayat (2) IS itu dapat berlaku. Hal ini disebabkan dasar hukum yang ditetapkan oleh suatu Undang‐Undang Dasar yang tidak berlaku lagi tidak dapat dijadikan dasar hukum bagi suatu Undang‐Undang Dasar baru yang sama sekali tidak mengatur hal itu (Suny, 1994: 74).

Setelah berlakunya UUD 1945, Hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam karena kedudukan Hukum Islam itu sendiri, bukan karena ia telah diterima oleh Hukum Adat. Pada awal kemerdekaan negara Republik Indonesia, para pendiri negara telah meletakkan dasar‐dasar hukum yang Islami. Hal ini dapat dikaji dari alenia ketiga Pembukaan Undang‐Undang Dasar 1945 yang antara lain menyatakan bahwa kemerdekaan Republik Indonesia adalah “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Pada alenia keempat dirumuskan antara lain: “….susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar pada: Ketuhanan Yang Maha Esa….” Selanjutnya di dalam batang tubuh UUD 1945, Pasal 29 menentuka n:

(1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap‐tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing‐

masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.

Dengan landasan Pasal 29 ayat (1) tersebut berarti semua peraturan yang dibuat dalam rangka melaksanakan Undang‐Undang Dasar 1945 tidak boleh bertentangan dengan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Hazairin, memperlakukan atau melanjutkan teori receptie bertentangan dengan niat membentuk Negara Republik Indonesia sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945, dan juga bertentangan dengan Bab XI UUD 1945. Memahami Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, menurut Beliau haruslah dengan jiwa besar, jiwa merdeka dari penjajahan Belanda di bidang hukum. Berdasarkan teori Hazairin ini

p da at diny atakan b ahwa:

1. Teori Receptie telah patah, tidak berlaku dan exit dari tata negara Indonesia sejak 1945 dengan kemerdekaan Bangsa Indonesia dan mulai berlakunya UUD 1945 dan dasar Negara Indonesia. Demikian pula keadaan ini setelah adanya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali kepada UUD 1945.

2. Sesuai dengan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, Negara Republik Indonesia berkewajiban membentuk hukum n sional Indonesia yang bahannya adalah hukum agama. a

3. Hukum agama yang masuk dan menjadi hukum nasional Indonesia itu bukan hanya Hukum Islam saja, melainkan juga hukum agama lain untuk pemeluk agama lain tersebut. Hukum agama di bidang hukum perdata dan hukum pidana diserap menjadi 3. Hukum agama yang masuk dan menjadi hukum nasional Indonesia itu bukan hanya Hukum Islam saja, melainkan juga hukum agama lain untuk pemeluk agama lain tersebut. Hukum agama di bidang hukum perdata dan hukum pidana diserap menjadi

Dalam konteks pemberlakuan hukum Islam, muncul berbagai counter theory atas teori‐teori masa kolonial. Bila dipetakan, paling tidak ada tiga teori yang muncul sebagai reaksi teori –teori masa kolonial tersebut yang intinya menolak teori receptie. Ketiga teori itu adalah teori receptie exit, receptie a contrario, dan teori eksistensi. Bersamaan dengan itu, teori tersebut mengakui serta mempertegas keberadaan hukum Islam dalam Pancasila dan UUD 1945 . Penjelasan k etiga teori tersebut adalah sebagai berikut:

a. Teori receptie exit adalah sebuah teori yang dikemukakan oleh Hazairin, yang menyatakan bahwa teori receptie harus exit (keluar) dari teori hukum Islam Indonesia, karena bertentangan dengan UUD 1945 serta al‐Qur’an dan Al‐Hadis (Hazairin, 1974: 116).

b. Teori receptie a contrario, yaitu teori yang dikemukakan oleh Sayuthi Thalib. Sesuai dengan semangat namanya, ia merupakan kebalikan dari teori receptie. Menurutnya bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat Indonesia adalah hukum agamanya, hukum adat

hanya berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum Agama (Thalib, 198 : 58) 2 .

c. Teori Eksistensi. Merupakan teori yang dikemukakan oleh Ichtijanto, teori ini pada dasarnya mempertegas teori receptie a contrario dalam hubungannya dengan hukum nasional. Menurut teori ini, hukum Islam mempunyai spesifikasi: (a) telah ada sebagai bagian integral dari hukum nasional; (b) telah ada dengan kemandirian dan kewibawaannya, bahkan ia telah diakui oleh hukum nasional serta diberi status sebagai hukum nasional; (c) norma hukum Islam telah ada dan berfungsi sebagai penyaring bahan‐bahan hukum nasional; (d) telah ada dalam arti sebagai bahan utama dan sumber utama hukum nasional (Ichtijanto, 1990: 86).

Setelah munculnya tiga teori tersebut, maka legalisasi dan legislasi hukum Islam di Indonesia, mulai menampakkan kemajuannya. Hal itu ditandai dengan munculnya berbagai peraturan perundang‐undangan, meskipun secara eksplisit tidak menyebutkan sebagai undang‐undang Islam, akan tetapi substansinya diambil dari hukum Islam, terutama kitab‐ kitab fikih (Aripin, 2010: 280). Misalnya Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik yang merupakan kelanjutan dari Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok‐Pokok Agraria, Undang‐Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang‐Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang‐Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, serta Undang‐Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah berikut Peraturan Bank Indonesia sebagai peraturan pelaksa naannya.

Jika diamati masyarakat Islam Indonesia, khususnya para tokoh muslim yang terlibat dalam pembahasan mengenai pemberlakuan hukum Islam di Indonesia, setidaknya ada dua kelompok, yaitu kelompok yang menekankan pada pendekatan normatif (formalisme) dan kelompok yang menekankan pada pendekatan kultural (budaya). Pendekatan ini sebagai perwujudan kehidupan politik dari masing‐masing kelompok, atau justru sebaliknya, yakni bahwa cermin politik mereka sebagai wujud keyakinan terhadap jenis pendekatan tersebut.

Hal ini juga sekaligus sebagai jawaban dari persoalan bagaimana penerapan hukum Islam, ketika disepakati bahwa hukum Islam merupakan salah satu dari tiga bahan baku dalam pembinaan hukum nasional (Azizy, 2002: 194).

Pertama , pendekatan formal (normatif). Menurut pendapat ini, hukum Islam harus ditetapkan kepada mereka yang sudah mengucapkan dua kalimah syahadah atau sudah

masuk Islam. Istilah “positivisasi hukum Islam” tidak akan populer, kecuali berarti bahwa mereka yang beragama Islam harus menjalankan atau dipaksakan untuk menerima hukum Islam dalam kehidupan sehari‐hari. Oleh karena itu, proses kehidupan politik, termasuk partai politik, adalah dalam rangka atau sebagai alat untuk menerapkan hukum Islam secara normatif dan formal ini. Konsekuensinya, pelaksanaan Piagam Jakarta menjadi persoalan besar dan serius yang harus selalu diperjuangkan, oleh karena merupakan satu‐satunya cara untuk penerapan hukum Islam secara formal di negara Indonesia. Jika ditarik ke atas lagi dari sisi ekstrimitas, pendekatan ini menjadi skriptualis dan tekstualis yang biasanya kurang mempertimbangkan kontekstual dan lingkungan sosiologis. Pada dasarnya pendekatan normatif tidak terlalu jelek jika akan diposisikan sebagai pengontrol. Namun jika berlebihan akan sampai pada skriptualis dan pemaksaan tersebut. Sampai batas ini, upaya positivisasi tidak merupakan jawaban karena cenderung pada pemaksaan secara formal ideologis. Dan jika pendekatan ini yang diterapkan, persoalan yang muncul adalah hukum Islam mana yang dimaksud? Pertanyaan ini sangat serius, terutama sekali ketika ditemukan kenyataan terjadinya perbedaan pendapat tentang hukum Islam itu sendiri. Persoalan seperti inilah yang sering terjadi sebagai ekses upaya islamisasi di beberapa negara di Timur Tengah yang kemudian hampir tidak pernah selesai. Tampaknya pertanyaan hukum Islam yang mana ini yang akan selalu muncul ke permukaan, seandainya perjuangan menerapkan Piagam Jakarta itu berhasil. Persoalan tersebut bukan masalah kecil, namun dapat menjadi masalah serius, terutama sekali ketika tidak dapat disatukan dalam menerima definisi tentang hukum Islam itu sendiri (Azizy, 2002: 194).

Kedua , pendekatan kultural. Menurut pendapat ini, yang terpenting bukan formalisme penerapan hukum Islam atau dengan pendekatan normatif ideologis, namun

penyerapan nilai‐nilai hukum Islam ke dalam masyarakat itulah yang lebih penting. Barangkali dapat dijadikan contoh pendekatan yang kedua ini adalah ungkapan K.H. M.A. Sahal Mahfudh. Menurutnya:

“Terciptanya hukum yang ideal dalam masyarakat madani dengan demikian harus dimulai juga dengan menyerap nilai‐nilai hukum universal tersebut di atas dalam kerangka kemasyarakatan yang proporsional. Nilai‐nilai hukum universal yang dimaksudkan itu meliputi: keadilan, kejujuran, kebebasan, persamaan di muka hukum, perlindungan hukum terhadap masyarakat yang tak seagama, dan menjunjung tinggi supremasi hukum Allah. Maksudnya adalah bahwa nilai tersebut harus diupayakan tertanam dan terimplementasikan dalam segala unsur masyarakat pendukungnya.

Dengan pendekatan ini saya yakin akan memperkecil kendala yang ada pada tahap implementasi. Oleh karena itu, labelisasi yang sering menimbulkan sikap antipati dan kecurigaan masyarakat juga hendaknya diminimalkan.

Menciptakan masyarakat madani dalam konteks ke‐Indonesiaan dari kaca mata hukum Islam, dengan demikian tidak ‘dengan’ atau ‘tanpa’ hukum Islam, namun lebih kepada mempertimbangkan dan menyerap nilai‐nilai moral positif yang Menciptakan masyarakat madani dalam konteks ke‐Indonesiaan dari kaca mata hukum Islam, dengan demikian tidak ‘dengan’ atau ‘tanpa’ hukum Islam, namun lebih kepada mempertimbangkan dan menyerap nilai‐nilai moral positif yang

Positivisasi hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional dapat terjadi baik dengan pendekatan normatif maupun pendekatan kultural, setelah mendapat justifikasi argumentasi keilmuan atau akademik dalam kajian hukum di Indonesia secara terbuka. Sudah barang tentu kesemuanya itu dalam koridor demokratisasi dan pemeliharaan hak asasi manusia yang sangat mementingkan pada hak‐hak individu, tanpa mengorbankan hak publik (Mualim dan Yusdani, 2004: 176).

Sebagai contoh positivisasi hukum Islam di bidang ekonomi ke dalam hukum positif, yakni pada proses pembentukan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang berdasarkan fatwa DSN‐MUI, yang dilakukan oleh Komite Perbankan Syariah (KPS) sebagai lembaga yang berfungsi melakukan harmonisasi fatwa sebelum diimplementasikan atau dituangkan dalam PBI yang bersangkutan.

Sebelumnya perlu dikemukakan bahwa terdapat beberapa langkah penting dalam menciptakan jaminan pemenuhan prinsip syariah, khususnya dalam operasional perbankan syariah. Langkah‐langkah tersebut, yaitu:

a. Menciptakan regulasi dan sistem pengawasan yang sesuai dengan karakteristik bank syariah.

b. Menetapkan aturan tentang mekanisme pengeluaran setiap produk bank syariah yang memerlukan pengesahan (endorsement) dari DSN‐MUI tentang kehalalan/kesesuaian produk dan jasa keua gan bank dengan prinsip syariah. n

c. Menerapkan sistem pengawasan baik untuk penilaian aspek kehatian‐hatian dan kesesuaian operasional bank dengan ketentuan syariah dengan melibatkan Dewan Pengawas Syariah dan unsur pengawasan syariah lainnya (Utomo, 2010: 9).

Pasca diundangkannya Undang‐Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, terkait dengan aturan mengenai mekanisme pengeluaran produk bank syariah melibatan dua lembaga, yakni DSN‐MUI dan KPS. Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa DSN‐MUI merupakan lembaga yang mempunyai otoritas dalam pembentukan fatwa di bidang ekonomi syariah, yang mana keberadaannya diakui oleh peraturan perundang‐ undangan. Fatwa sebagaimana dimaksud nantinya akan diterjemahkan oleh KPS sebelum dijadikan PBI.

Penulis berpendapat bahwa pada hakikatnya materi yang tertuang dalam fatwa DSN‐ MUI akan tetap mempunyai kekuatan mengikat bagi bank syariah, terlepas dari apakah fatwa tersebut kemudian dijadikan PBI atau tidak. Alasannya bahwa selain fatwa masuk dalam ranah hukum yang hidup di masyarakat (living law), keberadaan dari DSN‐MUI dan produk hukumnya berupa fatwa juga diakui keberadaannya oleh peraturan perundang‐ undangan di bidang perbankan syariah.

Bagaimana legislasi fikih ekonomi, khususnya bagi Koperasi (KJKS/UJKS Koperasi) sebagaimana dikemukakan di muka bahwa koperasi merupakan bangun usaha yang sesuai dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945? Keberadaan BMT dengan badan hukum koperasi secara formal diatur dalam Undang‐Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi, Kementerian Koperasi dan UKM memiliki kewenangan untuk memberikan izin usaha simpan pinjam yang melekat pada pengesahan AD/ART Koperasi, termasuk kegiatan usaha simpan pinjam dengan pola syariah atau yang dipersa makan dengan itu.

Pasca krisis yang terjadi pada tahun 1998, geliat perkembangan ekonomi syariah begitu terasa dengan banyak berdirinya lembaga ekonomi syariah seperti Baitul Maal wat Tamwil (BMT), Perbankan Syariah, Pegadaian Syariah, Asuransi Syariah, dan sebagainya. Merespon perkembangan tersebut, pada tahun 2004 Kementerian Koperasi dan UKM mengeluarkan Keputusan Menteri No. 91/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Jasa Keuangan Syariah oleh Koperasi. Melalui peraturan tersebut keberadaan BMT yang semula non formal dapat berubah menjadi Koperasi Jasa Keuangan Syariah/Unit Jasa

Keuang an Syariah Koperasi (KJKS/UJKS Koper si) dengan adan hukum koperasi. a b Dalam Keputusan Menteri dimaksud ditegaskan bahwa bagi koperasi yang ingin

membuka unit jasa keuangan syariah, diharuskan menyetorkan modal awal minimal Rp. 15 juta untuk koperasi primer dan Rp. 50 juta untuk koperasi sekunder. Sebagaimana bank, KJKS dan UJKS Koperasi diperkenankan menghimpun dana anggota baik berupa tabungan dan simpangan berjangka dengan akad mudharabah dan wadiah, serta menyalurkannya dalam pembiayaan mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istishna, ijarah, dan al qardh.

Adapun operasionalisasi kegiatan maal dapat dilakukan oleh KJKS/UJKS sebagaimana tertera dalam Keputusan Menteri Koperasi dan UKM No. 91 Tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Jasa Keuangan Syariah oleh Koperasi, yang dalam Pasal 24 disebutkan bahwa “KJKS/UJKS Koperasi selain dapat menjalankan kegiatan pembiayaan (tamwil) juga dapat menjalankan kegiatan maal, yaitu menghimpun dan menyalurkan zakat, infak dan shadaqah, termasuk wakaf”.

Legislasi fikih ekonomi, dalam artian penuangan materi muatan fatwa ke dalam peraturan perundang‐undangan sudah berjalan cukup baik di bidang perbankan. Kalau kita cermati muatan Undang‐Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Peraturan Bank Indonesia sebagai peraturan pelaksanaannya terkandung substansi dari fatwa DSN‐MUI. Bahkan saat ini undang‐undang mengamanahkan pembentukan Komite Perbankan Syariah (KPS), yang memiliki tugas utama melakukan harmonisasi fatwa DSN‐

MUI aga r applicable ba i praktik perbankan syariah di Indo esia. g n

Adapun yang terjadi dibidang koperasi, belum terdapat peraturan perundang‐ undangan di tataran undang‐undang yang memberikan pengaturan bagi Koperasi Syariah.

Operasional Koperasi Syariah hanya mendasarkan pada Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri, serta Standar Operasional Prosedur Koperasi Jasa Keuangan Syariah dan Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Koperasi dan UKM. Padahal, kalau kita perhatikan Pasal 33 (1) UUD 1945, koperasi merupakan badan usaha yang sejalan

dengan semangat kekeluarg n dan kegoto groyongan bagai ciri khas bangsa Indonesia. aa n se Berdasarkan pada pembahasan dimaksud, penulis merekomendasikan bagi

pemerintah bahwa legislasi fikih ekonomi perlu dilakukan pada semua bidang. Baik pada bidang lembaga keuangan, lembaga pembiayaan, maupun koperasi. Prinsip syariah yang terimplementasi dalam berbagai aktivitas ekonomi masyarakat harapannya akan mendukung sistem ekonomi Pancasila yang lebih menjunjung tinggi keadilan.