Upaya Perlindungan Pengetahuan Tradisional yang Berorientasi Kesejahteraan Masyarakat Adat

D. Upaya Perlindungan Pengetahuan Tradisional yang Berorientasi Kesejahteraan Masyarakat Adat

Dalam kaitannya dengan perlindungan terhadap hak asasi budaya sebagai hak komunal komunitas lokal, pemerintah harus menyusun kebijakan yang melindungi hak atas budaya di satu sisi, dan hak komunal di sisi lainnya. Kedua bentuk hak tersebut membutuhkan perlakuan hukum yang berbeda untuk diakomodasi dalam peraturan perundang‐undangan. Hak asasi budaya harus dilihat sebagai hak yang aplikatif yang terkait dengan akselerasi pembangunan komunitas lokal. Artinya, pemahaman terhadap hak asasi budaya tidak hanya mencakup pengertian budaya secara fisik, tetapi juga mencakup pengertian budaya secara sosiologis sebagai sistem etis dan praktis yang bekerja dalam masyarakat. Urgensi peran positif negara dalam pemenuhan hak atas budaya, sebagaimana yang dikemukakan ole Wheeler bahwa: “Negara mampu mengembangkan kapasitas kolektif untuk penegakan hak asasi manusia melalui intervensi legislasi dan kelembagaan yang efektif. (Gene M. Lyons and James Mayall, 2003: 16). Inilah yang menjadikan peran negara sangat strategis dalam pemenuhan hak asasi budaya karena negara memiliki kelengkapan fungsional untuk menegakan hak tersebut sebagai bagian dari hak atas dasar hukum. Spesifikasi inilah yang membedakan negara dengan “aktor” hak asasi manusia lainnya. Dalam perlindungan hak asasi budaya, terutama hak komunal komunitas lokal, negara dituntut untuk mengko mbinasikan pendekatan ke mbagaan dengan pendekatan hukum. la

Dalam upaya melindungi kepentingan negara berkembang dari penyalahgunaan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional melalui adaptasi sistem hak kekayaan intelektual dengan itikad buruk, dapat dilakukan upaya perlindungan dengan format sebagai berikut:

a. Perlindungan Pengetahun Tradisional secara Defensif. Perlindungan preventif dengan menggunakan sistem data dapat mencegah seseorang agar

tidak memperoleh hak kekayaan intelektual atas produk yang didasarkan pada penggunaan pengetahun tradisional secara tidak sah. Jika pengetahuan tradisional yang terdokumentasi tersebut digunakan sebagai prior art dalam prosedur penfdaftaran paten, maka dapat ditentukan apakah suatu penemuan tersebut merupakan invensi yang benar‐benar baru mengandung langkah‐langkah inventif atau tidak. Dalam hal ini, pengetahuan tradisional digunakan sebagai dokumen pembanding untuk menentukan apakah invensi atau inovasi tidak memperoleh hak kekayaan intelektual atas produk yang didasarkan pada penggunaan pengetahun tradisional secara tidak sah. Jika pengetahuan tradisional yang terdokumentasi tersebut digunakan sebagai prior art dalam prosedur penfdaftaran paten, maka dapat ditentukan apakah suatu penemuan tersebut merupakan invensi yang benar‐benar baru mengandung langkah‐langkah inventif atau tidak. Dalam hal ini, pengetahuan tradisional digunakan sebagai dokumen pembanding untuk menentukan apakah invensi atau inovasi

Pendokumentasian pengetahuan tradisional dilakukan dalam suatu register data yang terintegrasi. Register pengetahuan tradisional adalah sekumpulan informasi dari pendokumentasian pengetahuan tradisional. Register tersebut dapat dibangun, baik secara lokal (dalam komunitas), maupun secara eksternal (di luar komunitas tersebut). Dengan register lokal, masyarakat dapat memutuskan secara kolektif mengenai pengetahuan‐ pengetahuan apa yang akan dimasukkan dalam daftar register tersebut dan apakah pengetahuan tersebut dapat dibagikan kepada orang di luar masyarakat yang bersangkutan. Sementara itu, register eksternal diselenggarakan oleh pihak‐pihak di luar komunitas tersebut, baik pada tingkat nasional, maupun internasional. Biasanya, register tersebut melibatkan pemerintah atau organisasi non‐pemerintah.

Sebagai perbandingan, India telah berhasil membatalkan dan menganulir paten yang didasarkan pada pengetahuan tradisional masyarakat lokalnya dengan sistem perlindungan defensif. Perlindungan pengetahuan tradisional secara defensif, dilakukan oleh pemerintah India dengan menyusun Traditional Knowledge Digital Library (TKDL) yang diinisiasi oleh The National Institute of Science Communication of the Indian Council of Scientific and Industrial Research dan the Department of Indian Systems of Medicine and Health. Menurut Graham Dutfield bahwa: “TKDL tersebut disusun dalam bentuk kompilasi data mengenai pengetahuan tradisional, baik yang berasal dari teks kuno, maupun yang berasal dari praktik masyarakat India.” (Graham Dutfield, 2004: 201). Kompilasi data tersebut berguna sebagai bukti adanya penemuan sebelumnya (prior art) sehingga dapat mencegah kecurangan dalam pendaftaran suatu penemuan yang identik dengan pengetahuan tradisional. Informasi dalam TKDL ini tersedia bagi pemeriksa paten sebagai dokumen pembanding untuk menguji kebaruan suatu penemuan.

b. Perlindungan Pengetahuan Tradisional secara ositif P Tujuan utama dari perlindungan pengetahuan tradisional secara positif adalah untuk

menciptakan mekanisme akses dan pembagian keuntungan yang adil dan berimbang bagi kepentingan negara penyedia atas pemanfaat sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional. Perlindungan pengetahuan tradisional secara positif mengacu pada tindakan yang diambil oleh pemerintah dari negara sumber untuk secara aktif mendorong perlindungan pengetahuan tradisional dengan mengakui hak‐hak komunitas lokal atas sumber daya yang dimilikinya. Sebagaimana yang diamanatkan dalam CBD dan Protokol Nagoya, negara diwajibkan untuk menganbil tindakan legislasi, regulasi, adminsitrasi, dan kebijakan untuk melaksanakan perlindungan yang efektif terhadap pengetahuan tradisional. Perlindungan positif dilakukan dengan menyusun perundang‐undangan tersendiri yang mengatur perlindungan pengetahuan tradisional berdasarkan politik perundang‐undangan.

Dalam perlindungan pengetahuan tradisional, pemerintah tengah menyiapkan peraturan sui generis yang terbagi dalam tiga RUU yaitu: RUU tentang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional, RUU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Genetik, serta RUU tentang Keanekaragaman Hayati. Ketiga RUU tersebut memiliki titik singgungan dalam hal objek perlindungan yang berupa pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik. Saat ini, pengaturan dalam ketiga RUU tersebut berpotensi untuk menimbulkan tumpang tindih kewenangan dalam praktik Dalam perlindungan pengetahuan tradisional, pemerintah tengah menyiapkan peraturan sui generis yang terbagi dalam tiga RUU yaitu: RUU tentang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional, RUU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Genetik, serta RUU tentang Keanekaragaman Hayati. Ketiga RUU tersebut memiliki titik singgungan dalam hal objek perlindungan yang berupa pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik. Saat ini, pengaturan dalam ketiga RUU tersebut berpotensi untuk menimbulkan tumpang tindih kewenangan dalam praktik

Sebagai perbandingan untuk menentukan model hukum, pada Agustus 2002, Peru menjadi negara pertama yang mengadaptasi pengaturan komprehensif dalam perlindungan pengetahuan tradisional yang terkait dengan keanekaragaman hayati dengan The Peruvian Law No 27811. Peru memberlakukan pengaturan sui generis terhadap perlindungan pengetahuan tradisional yang dikenal dengan rezim perlindungan pengetahuan kolektif masyarakat adat. Berdasarkan rezim sui generis perlindungan pengetahuan tradisional di Peru, diakui bahwa pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat adat telah membantu melestarikan komponen keanekaragaman hayati untuk digunakan secara berkelanjutan. Undang‐undang tersebut disusun oleh sebuah badan pemerintah Peru, INDECOPI (National Institute for the Defence of Competition and Intellectual Property), untuk melindungi pengetahuan kolektif masyarakat adat di negara tersebut. Selain Peru, Pemerintah India telah menyusun perundang‐undangan nasional yang berkaitan dengan perlindungan kekayaan hayati dan pengetahuan tradisional yaitu sebagai berikut: (1) The Act on Geographical Indication; (2) The Plant Variety Protection and farmers Rights Act, 2001; ( 3) The Biological Biodiversity Act, 2002; (4) The Patent Amendment Act.

c. Perlindungan Pengetahuan Tradisional Berdasarkan Pendekatan Kelembagaan Kelembagaan dalam perlindungan pengetahuan tradisional, diperlukan untuk menopang

pelaksanaan akses dan pembagian keuntungan atas pemanfaatan pengetahuan tradisional. Dalam bahasa Protokol Nagoya, kelembagaan tersebut diterjemahkan sebagai suatu national focal point dan otoritas nasional yang kompeten. National focal point harus membuat informasi mengenai prosedur untuk mendapatkan PADIA, kesepakatan bersama, dan pembagian keuntungan dengan melibatkan masyarakat lokal yang terkait. Sedangkan, otoritas nasional yang kompeten bertanggung jawab untuk memberikan akses berdasarkan PADIA dan kesepakatan bersama secara administratif. Dalam kedudukannya sebagai lembaga yang berwenang, national focal point dan otoritas negara yang berwenang dapat dipegang oleh satu lembaga.

Untuk menciptakan sistem perlindungan bagi pengetahuan tradisional sebagai hak komunal komunitas lokal, diperlukan lembaga yang berwenang untuk mengatur, mengelola, dan mengkoordinasikan perlindungan pengetahuan tradisional dalam kerangka tanggung jawab negara. Untuk mengimplementasikan sistem izin dalam perlindungan pengetahuan tradisional, diperlukan keberadaan lembaga sebagai representasi negara yang berwenang untuk menerima atau menolak izin akses dan pemanfaatan pengetahuan tradisional tersebut. Selain itu, lembaga memegang peranan penting dalam pengawasan perizinan setalah izin tersebut diterbitkan untuk memastikan bahwa izin dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya. Tanpa ditunjang dengan sistem kelembagaan yang efektif, maka Untuk menciptakan sistem perlindungan bagi pengetahuan tradisional sebagai hak komunal komunitas lokal, diperlukan lembaga yang berwenang untuk mengatur, mengelola, dan mengkoordinasikan perlindungan pengetahuan tradisional dalam kerangka tanggung jawab negara. Untuk mengimplementasikan sistem izin dalam perlindungan pengetahuan tradisional, diperlukan keberadaan lembaga sebagai representasi negara yang berwenang untuk menerima atau menolak izin akses dan pemanfaatan pengetahuan tradisional tersebut. Selain itu, lembaga memegang peranan penting dalam pengawasan perizinan setalah izin tersebut diterbitkan untuk memastikan bahwa izin dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya. Tanpa ditunjang dengan sistem kelembagaan yang efektif, maka

Dalam model hukum India, dibentuk Biodiversity Management Committee (BMC) dan National Biodiversity Authority (NBA) berdasarkan Indian Biological Diversity Act (2002).

BMC berwenang untuk mendokumentasikan pengetahuan yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati, sedangkan NBA berwenang untuk memberikan atau menolak izin terhadap orang asing dan perusahaan asing (termasuk perusahaan berbasis di India yang tidak sepenuhnya dimiliki dan dikelola oleh orang India) untuk mengakses sumber daya biologi atau pengetahuan tradisional untuk tujuan penelitian atau penggunaan komersial. Sementara itu, INDECOPI (National Institute for the Defence of Competition and Intellectual Property) dibentuk oleh Pemerintah Peru untuk melindungi pengetahuan kolektif masyar akat adat di negara terse ut. b

Dengan melihat model kelembagaan yang diadopsi di India dan Peru tersebut, pemerintah Indonesia dapat mengembangkan kebijakan kelembagaan untuk memenuhi prioritas inventarisasi dan dokumentasi pengetahuan tradisional, serta pelaksanaan akses dan pembagian keuntungan atas pemanfaatan pengetahuan tradisional. Menurut Protokol Nagoya, kedua kewenangan tersebut dapat diserahkan kepada satu lembaga yang berperan sekaligus sebagai national focal point dan otoritas nasional yang berwenang. Dalam upaya perlindungan terhadap pengetahuan tradisional, ada beberapa lembaga yang terkait, di antaranya: Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerial Luar Negeri, Kementerian Riset dan Teknologi, serta Direktorat Jenderal HKI. Kementerian Lingkungan Hidup berperan dalam upaya penyusunan kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang terkait dengan sumber daya genetik dalam rangka konservasi lingkungan hidup dan pemanfaatan yang berkelanjutan atas komponen‐ komponennya. Dalam hubungan Indonesia dengan dunia internasional, Kementerian Luar Negeri berperan untuk menentukan langkah kebijakan dalam negosiasi internasional yang berhubungan dengan hak‐hak masyarakat lokal dan perlindungan pengetahuan tradisional. Sementara itu, Kementerian Riset dan Teknologi berperan strategis dalam upaya inventarisasi dan dokumentasi sumber daya genetik dalam ranah riset dan teknologi. Sebagai penghubung antara rezim sui generis dengan rezim hak kekayaan intelektual, Direktorat Jenderal HKI berperan untuk menyusun kebijakan dalam kerangka harmonisasi pengaturan tentang perlindungan pengetahuan tradisional dengan sistem hak kekayaan intelektual.