Masyarakat Hukum Adat sebagai Badan Hukum Dalam Dimensi Hukum Publik

1. Masyarakat Hukum Adat sebagai Badan Hukum Dalam Dimensi Hukum Publik

Bagian ini akan membahas posisi hukum masyarakat hukum adat sebagai Badan Hukum yang mempunyai hak (kewenangan) publik (kemudian disebut Badan Hukum Publik). Pengakuan hukum masyarakat hukum adat sebagai Badan Hukum Publik terkait dalam pasal

18 UUD 1945. Dalam pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan, jelas bahwa susunan asli masyarakat hukum adat dalam bentuk desa, nagari atau nama lain mempunyai kewenangan publik berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa, termasuk kewenangannya terhadap wilayah dan sumber daya alam yang terkandung didalamnya.

Namun, sejak Perubahan Pasal 18 UUD 1945 berakibat pada kaburnya posisi hukum masyarakat hukum adat sebagai Badan Hukum Publik dalam penyelenggaran Negara yang mempunyai hak asal usul, karena : (1) hanya mengenal pembagian wilayah Negara dalam daerah‐daerah propinsi dan daerah propinsi di bagi dalam daerah‐daerah kabupaten dalam Namun, sejak Perubahan Pasal 18 UUD 1945 berakibat pada kaburnya posisi hukum masyarakat hukum adat sebagai Badan Hukum Publik dalam penyelenggaran Negara yang mempunyai hak asal usul, karena : (1) hanya mengenal pembagian wilayah Negara dalam daerah‐daerah propinsi dan daerah propinsi di bagi dalam daerah‐daerah kabupaten dalam

“Pengakuan hak‐hak masyarakat hukum adat dengan hak‐hak tradisionalnya dalam Pasal 18 B Ayat 2 merupakan pengakuan atas ikatan bathin dan ikatan kebendaan antara masyarakat hukum adat dengan wilayahnya. Berdasarkan ikatan tersebut, masyarakat hukum adat mempunyai hak atas penetapan wilayah dan batas wilayahnya. Namun hak tradisional itu tidak otomatis bisa dilaksanakan karena tidak ada lagi pengakuan wilayah berdasarkan susunan asli masyarakat hukum adat dalam Pasal 18 dan wilayah masyarakat hukum adat tersebut masuk dalam re im pemerintahan daerah” (Saldi Isra, 2012 13‐14). z :

Artinya, Pasal 18 hasil perubahan mengakui masyarakat hukum sebagai Subjek Hukum, khususnya Badan Hukum publik yang juga mempunyai hak‐hak dan kewenangan atas wilayah melalui Undang‐Undang dalam rezim hukum pemerintah daerah.

Bila ditelusuri lebih lanjut dalam rezim hukum pemerintah daerah. Terdapat peluang pengakuan masyarakat hukum adat sebagai badan hukum publik, yaitu dalam PP 72/2005 tentang Desa (Kurni warman, 2007 1 ), se anjutnya Kurnia arman menjelaskan a :2 l w :

“Penjelasan pasal 7 huruf a dab b, memberikan uraian tentang apa yang dimaksud dengan hak asal usul desa, yaitu hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan asal usul, adat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan seperti subak, jogoboyo, jogotirto, sasi, mapalus, kaolatan, kajaroan, dan lain‐lain (…) … pelaksanaan hak asal usul oleh desa dilaksanakan dengan terlebih dahulu diidentifikasi hak asal usul yang hidup di desa tersebut. Selanjutnya ditetapkan melalui Peraturan Daerah ditingkat kabupaten / kota, adapun jenis‐jenis kewenangan yang diserahkan ke desa, seperti kewenangan dibidang pertanian, pertambangan dan energy, kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian, ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, social, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, perikanan, politik dalam negeri dan administrasi publik, otonomi desa, perimbangan keuangan, tugas pembantuan, pariwisata, pertanahan, kependudukan, kesatuan bangsa dan perlindungan masyarakat, perencanaan, penerangan/informasi dan komunikasi” (Kurniawarman, 2007 : 14).

Pengakuan masyarakat hukum adat sebagai badan hukum publik, memang tidak sekuat sebelum perubahan pasal 18 UUD 1945. Pengakuan masyarakat hukum adat sebagai badan hukum publik itu kini terikat oleh kemauan politik pemerintah daerah untuk mengakui hak‐hak asal usul tersebut melalui Peraturan Daerah. Kondisi tersebut terkait dengan pengakuan masyarakat hukum adat sebagai badan hukum publik yang menjalankan penyelenggaraan Negara sebagai penyerahan kewenangan pemerintah daerah kepada desa dalam rezim otonomi daerah, bukan pada pengakuan konstitusional yang utuh terhadap susunan asli masyarakat hukum adat / desa berdasarkan hak asal usul.