MEMAHAMI FLEKSIBILITAS REGULASI KONTE KS INDONESIA

B. MEMAHAMI FLEKSIBILITAS REGULASI KONTE KS INDONESIA

Regulasi yang fleksibel di Indonesia adalah keniscayaan. Bahkan, dapat dikatakan bahwa kebutuhan adanya regulasi yang fleksibel di Indonesia jauh lebih besar jika dibandingkan dengan yuridiksi lain. Namun demikian, fleksibilitas tidak dapat diterapkan sesederhana itu. Ada setidaknya lima (5) faktor yang mempengaruhi derajat fleksibilitas regulasi dalam konteks Indonesi . a

Pertama , kemapanan sistem politik. Indonesia mengalami transisi politik yang cukup drastis dalam situasi dan kehidupan politik, dicirikan dengan berkembangnya iklim

demokrasi dan semakin kuatnya partisipasi pemangku kepentingan dalam kehidupan kenegaraan. Sistem politik nasional yang belum mapan menyebabkan banyak sekali ketidaksempurnaan dalam desain regulasi. Konflik antar regulasi sering ditemukan, antara peraturan pusat dengan peraturan daerah, konflik antara peraturan kementerian, peraturan yang lebih rendah meng‐atas‐i peraturan yang lebih tinggi, dan masih banyak fenomena lainnya yang seharusnya tidak terjadi apabila Indonesia memiliki sistem politik yang stabil. Dinamika politik pada hakikatnya merupakan kewajaran bagi negara yang baru saja mengalami transformasi seperti Indonesia. Regulasi, di sisi lain, harus meresponsnya dengan menciptakan platform yang fleksibel agar mudah mengkoreksi kesalahan, kecacatan, atau kekosongan yang mungkin timbul seandainya terjadi. Misalnya, pernah ada kontroversi dalam transaksi penjualan saham PT. Indosat, Tbk. ke Qatar Telecom dimana peraturan di bidang pasar modal bertentangan dengan peraturan penanaman modal asing. Konflik peraturan tersebut tidak serta merta disalahkan kepada DPR, BAPEPAM (otoritas pasar modal), atau BKPM (regulator investasi), namun memang karena ada ‘gap’ di antara jaringan peraturan di Indonesia yang kompleks. Pasca kasus ini, BAPEPAM segera mengubah peraturannya untuk disesuaikan, dan hal ini dapat terjadi juga karena kewenangan regulasi BAPEPAM yang independen lebih fleksibel dari kewenangan BKPM yang sebatas delegasi kewenangan.

Kedua , pluralisme sosial. Indonesia terdiri dari berbagai macam ideologi politik, lapisan sosial, kelas ekonomi, dan struktur budaya. Masing‐masing kelompok memiliki

preferensi nilai yang berbeda‐beda. Hal ini menyebabkan sangat sulit untuk mencari materi hukum yang dapat diterima di sebagian besar kalangan. Dengan regulasi yang fleksibel, suatu norma dapat dibangun secara perlahan‐lahan, diubah secara gradual, sehingga akhirnya diterima oleh masyarakat. Dalam hal ini, regulasi yang fleksibel lebih memberikan respons pembelajaran (learning curve) untuk mencapai pola dan format pengaturan yang optimal.

Ketiga , perkembangan ekonomi. Kondisi ekonomi Indonesia saat ini tidak dapat disamakan lagi dengan kondisi pasca krisis finansial pada tahun 1997. Sebagai ‘emerging

market’ struktur hukum dan regulasi di bidang ekonomi sudah sewajarnya berubah mengikuti dinamika ekonomi dan pergerakan pasar. Regulasi ekonomi pun harus mudah

menyesuaikan dengan tuntutan perubahan, apabila tidak ingin tertinggal dari laju pertumbuhan. Pasca krisis, terjadi reformasi besar‐besaran dalam hukum ekonomi di Indonesia, mulai dari persaingan usaha, perlindungan konsumen, HKI, kepailitan, dan masih menyesuaikan dengan tuntutan perubahan, apabila tidak ingin tertinggal dari laju pertumbuhan. Pasca krisis, terjadi reformasi besar‐besaran dalam hukum ekonomi di Indonesia, mulai dari persaingan usaha, perlindungan konsumen, HKI, kepailitan, dan masih

wacana hilirisasi i d bidang komoditas (mineral, 95 rotan, 9 6 hingga rencana CPO ) Keempat , kurangnya kapasitas sumber daya di bidang hukum. Acapkali kita mendengar kritik bahwa ‘pembuat peraturan tidak paham masalah’ atau ‘pembuat

peraturan tidak mampu menangkap permasalahan yang sebenarnya’. Kami tidak bermaksud untuk membela regulator yang tidak mampu membuat peraturan yang baik. Namun memang pada kenyataannya, membuat peraturan di Indonesia itu sangat sulit. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, ada banyak kepentingan yang harus diakomodasi di dalam masyarakat. Problem yang harus diatasi pun juga sangat kompleks dengan dimensi politik, sosial, dan ekonomi yang beragam. Kurangnya database dan pengetahuan dalam membuat keputusan (knowledge­based law/policy making) menyulitkan regulator untuk menciptakan aturan yang benar‐benar sempurna. Banyak konsep‐konsep hukum asing yang diperkenalkan ke dalam sistem hukum Indonesia yang menyebabkan transplantasi hukum tidak berjalan sempurna. Butuh waktu yang panjang untuk menciptakan infrastruktur pengeta huan, budaya, dan sum ber daya manusia yang memadai dalam membuat regulasi.

Intinya, membuat regulasi di Indonesia sangat tidak mudah. Regulator tidak selalu dapat disalahkan. Dampaknya, fokus dalam perbaikan sistem hukum seharusnya bukan untuk menciptakan regulasi yang paling sempurna/paling baik bagi masyarakat, namun justru regulasi yang mudah disempurnakan. Konsep ini akan dijelaskan lebih detail dalam sub‐bab berikutnya.

Kelima, di sisi lain, ada potensi penyalahgunaan oleh aparat. Terdapat istilah yang acapkali mewarnai perdebatan mengenai kehadiran hukum di Indonesia: ‘pasal karet’ atau

‘pasal multitafsir’ atau istilah lainnya yang diterapkan secara negatif untuk menggambarkan bagaimana peraturan dapat dibengkokan untuk memenuhi kepentingan tertentu. Biasanya istilah ini dilekatkan kepada ketentuan‐ketentuan pidana yang dianggap mudah di‐‘pelintir’ untuk kepentingan tertentu dari penyidik/penuntut, misalnya mengenai rumusan ‘pencemaran nama baik’, ‘perbuatan tidak menyenangkan’, termasuk rumusannya di beberapa UU seperti UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam konteks regulasi, problematika terbesar adalah mendesain instrumen regulasi yang tepat untuk menjawab permasalahan masyarakat. Desain regulasi yang fleksibel memang secara teori dapat memberikan efisiensi dalam implementasinya. Namun, apabila tidak diikuti dengan penegakan dan pengawasan yang baik, regulasi yang terlalu fleksibel dapat dijadikan celah bagi aparat hukum sebagai sumber korupsi atau penyuapan. Faure, Peeters, dan Wibisana misalnya pernah melakukan kajian untuk melihat apakah instrumen ekonomi di bidang lingkungan hidup (misalnya pola tradable permit atau emission trading) dapat cocok

diterapkan di Indonesia. 97 Meskipun secara teori instrumen ekonomi lebih efisien dengan pola ‘command and control’, namun akan ada potensi penyalahgunaan yang lebih besar, misalnya dalam hal tawar‐menawar ilegal antara regulator dengan pihak yang diatur. Hal ini juga harus diperhartikan sebelum memutuskan bahwa regulasi fleksibel lebih baik.