Perubahan Kera ngk a Epistemologis sebagai Revitalisasi Pengadilan Adat

III. Perubahan Kera ngk a Epistemologis sebagai Revitalisasi Pengadilan Adat

Laporan survey The Asia Foundation mengenai persepsi masyarakat Indonesia terhadap sektor hukum dan keadilan di Indonesia menampilkan angin segar bagi eksistensi pengadilan adat pada masyarakat di tingkat akar rumput. Laporan tersebut menyatakan bahwa:

86 percent of respondents believe that musyawarah is preferable to court or other formal procedures as a means of settling legal disputes. At the same time, 49 percent feel that the absence of a legally binding outcome under musyawarah is a 86 percent of respondents believe that musyawarah is preferable to court or other formal procedures as a means of settling legal disputes. At the same time, 49 percent feel that the absence of a legally binding outcome under musyawarah is a

Anasir yang dapat diambil dari laporan tersebut adalah bahwa sebenarnya masyarakat menyadari betul kebutuhan mereka atas akses terhadap keadilan yang cepat, murah dan mampu terintegrasi dengan alam int elektual mas arakat. y

Pengadilan negara telah sejak lama diketahui tidak mampu menyelesaikan persoalan‐persoalan mendasar dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena terlalu sibuk dengan aspek legal prosedural, peradilan negara justru kerap melewatkan raison d’etre dari adanya pengadilan, yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mempertahankan haknya. Ironis apabila kemudian usaha mempertahankan hak tersebut harus dilakukan dengan juga merampas hak‐hak lain seperti hak untuk hidup dengan damai

dan hak untuk mendapat penyelesa n perkara dengan seder ana, m ia h urah dan singkat. Meskipun peradilan adat (dikenal juga dengan istilah non­state justice dan

pengadilan informal) sangat penting bagi rakyat kecil untuk memperoleh akses terhadap keadilan, cukup mengejutkan ketika ternyata tidak banyak catatan dan dokumentasi mengenai bagaimana masyarakat menggunakan sistem peradilan informal untuk mencari keadilan di Indonesia (Justice for The Poor,2009:3). Pada akhirnya terdapat jurang yang cukup lebar antara persepsi masyarakat yang lebih memilih peradilan informal yang membawa harmonisasi dalam putusannya dan di sisi yang berseberangan terdapat fakta bahwa dokumentasi atas mekanisme tersebut belum cukup memadai untuk dapat dikatakan bahwa pengadilan informal benar‐benar merupakan lembaga arus utama dalam

penyele saian sengket di masyaraka . a t

Kesenjangan persepsi ini, sekali lagi membuktikan bahwa kuatnya pengaruh logosentrisme hukum barat membentuk standar kebenaran sendiri yang justru bertolak belakang dengan ukuran kebenaran masyarakat yang diaturnya. Keadilan yang dipahami negara melalui sistem hukumnya ternyata berbeda dengan standar keadilan yang diyakini oleh masyarakat. Maka kemudian persoalan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat menjadi pembenaran bagi negara dan justru menafikan persoalan epistemologis yang menyebabkan kesenjangan tersebut.

Berbagai wacana yang dikembangkan sebagai pembenaran tersebut menyebabkan kesesatan (fallacy) dalam silogisme hukum nasional. Sikap silau pemerintah terhadap hukum barat justru membuatnya menutup mata terhadap kenyataan bahwa Indonesia memiliki jiwa hukumnya sendiri yang tidak dapat begitu saja dibenturkan dengan sistem lain. Melalui pengakuan bersyarat yang ditunjukkan negara melalui peraturan perundang‐ undangan, hukum adat dan pengadilan adat seolah diproyeksikan berseberangan dengan hukum dan peradilan negara. Hukum adat adalah representasi dari “yang usang dan

terbelakang” dan hukum n gara sebagai gambaran “yang modern dan aktual”. e Gunther Teubner mengemukakan pentingnya perubahan konstruksi paradigma

untuk sampai pada persoalan epistemologis hukum yang sebenarnya, To arrive at a legal epistemology that really deserves its name, three important

changes in our perception of law and society have to be made: first, from realism to contructivism; second, from individual to social construction of reality; and third, from law as a rule system to law as an epistemic subject. While the first one leads to certain modification of Kantian positions, the other two change break new changes in our perception of law and society have to be made: first, from realism to contructivism; second, from individual to social construction of reality; and third, from law as a rule system to law as an epistemic subject. While the first one leads to certain modification of Kantian positions, the other two change break new

Paradigma bahwa persoalan masyarakat selalu dapat dipecahkan dengan peraturan hukum semakin tidak relevan dalam menghadapi gejolak komunal yang ada. Diperlukan tindakan pada landasan pemahaman sosial untuk mampu menjawab kesenjangan yang disebabkan oleh matinya ukuran kebenaran lain selain hukum modern. Oleh karena itu upaya revitalisasi hukum dan pengadilan adat harus ditempatkan keluar dari oposisi biner tersebut. Hukum dan pengadilan adat mesti dipandang sebagai bagian integral dari tatanan hukum nasional yang reprsentatif dan mampu mewadahi persoalan‐persoalan hukum yang dihadapi oleh masyarakat.

Kelebihan pengadilan adat adalah institusi ini berkembang, meminjam istilah Bruce L. Benson, seperti halnya language of interaction di masyarakat. Sebagaimana bahasa, pengadilan adat berkembang bukan karena peran negara. Hukum dan pengadilan adat berkembang dari waktu ke waktu melalui interaksi spontan dari banyak individu dalam masyarakat (Bruce L. Benson, 1990 : 27).

Kekuatan tersebut sesungguhnya jauh lebih mengikat dibandingkan tekanan yang bisa diberikan oleh hukum negara. Baudouin Dupret meyakini kekuatan tersebut dengan menyatakan: There are many societies who lack any centralised institution enforcing the law, but there is no society which is deprived from these rules which “are felt and regarded as the obligations of one person and the rightful claims of another (Baudouin Dupret, tanpa tahun: 2). Maka wajar jika persepsi masyarakat terhadap keputusan‐keputusan pengadilan adat dianggap dapat membawa keadilan sekaligus kepastian terhadap penyelesaian sengketa. Sebagai sebuah lembaga yang paling dekat dengan kesatuan terkecil dari Indonesia, penyelesaian konflik‐konflik domestik adalah kekuatan utama pengadilan adat.

Namun perlu diingat juga, bahwa upaya untuk melepaskan diri dari konstruksi wacana oposisional tersebut memiliki hambatan besar. Negara, media dan masyarakat sendiri sulit melepaskan diri dari asosiasi bahwa hukum dan pengadilan adat merupakan sejenis benda purba warisan masa lalu, yang saat ini eksistensinya perlu dilestarikan dan dijaga sepanjang demi kepentingan menjaga sejarah. Hukum adat tidak dipandang sebagai bagian dari pilar hukum nasional yang berwibawa dan identitas hukum nasional yang membedakannya dengan hukum di negeri lain. Revitalisasi hukum adat perlu dibangun sebagai kesadaran kolekif masyarakat sebagaimana kesadaran bersama yang dilahirkan dari gegap‐g empita gerakan anti korupsi.

Meskipun Pengadilan Adat membutuhkan affirmative policy untuk dapat terintegrasi dengan memadai pada sistem peradilan Indonesia, namun agak mustahil membayangkan revitalisasi pengadilan akan berangkat dari inisiatif pemerintah melalui peraturan perundangan‐undangan yang dibentuknya. Upaya mendekatkan kembali pengadilan adat hendaknya dibangun dari akar rumput. Mobilisasi sosial, struktur dan formasi kelompok dan pemberdayaan ekonomi akan meningkatkan posisi tawar dari para pencari keadilan saat berhadapan dengan sistem hukum negara dan mendorong terjadinya reformasi institusional

(Samuel Clark and Matthew Stephens, 2011 : 9). Melalui berbagai gerakan justifikasi sosial tersebut, pengadilan adat dapat menemukan kembali kewibawaannya.

Penting untuk disadari bahwa metode perubahan kerangka epistemologis terhadap hukum nasional perlu dibangun dalam paradigma berpikir induktif. Berangkat dari pendekatan terhadap kesatuan masyarakat hukum terkecil di Indonesia. Seperti yang dinyatakan Samuel Clark and Matthew Stephens bahwa kekuatan dan daya tahan dari norma‐norma dan kesadaran lokal menekankan pada pentingnya pemahaman terhadap struktur otoritas lokal pada tataran desa. Perubahan atas kerangka epistemologis tersebut akan menjadi lebih efektif apabila digagas dan digerakkan oleh otoritas atau pemimpin lokal (Samuel Clark and Matthew Stephens, 2011 : 9).

Sebaliknya, paradigma berpikir deduktif tidak memadai lagi untuk digunakan sebagai landasan perubahan kerangka epistemologis hukum nasional. Paradigma tersebut telah menunjukkan kegagalan dalam mengelola rancang‐bangun hukum yang selaras dengan keadilan yang dipahami masyarakat. Kebenaran dan keadilan di Jakarta kerap berbeda dengan kebenaran dan keadilan di daerah‐daerah lain di luar pulau Jawa.

IV. Kesimpulan Keadilan yang menyentuh masyarakat kecil hanya dapat dicapai apabila landasan

epistemologis dari hukum negara telah sesuai dengan pemahaman masyarakat terhadap keadilan. Logosentrisme yang selama ini mendominasi alam pikiran hukum nasional perlu didekonstruksi dengan semangat pluralisme, sehingga kemajemukan hukum‐hukum adat dan putusan‐putusan pengadilan adat yang hadir di tengah masyarakat bisa menjadi pendorong bagi terciptanya identitas hukum nasional yang memang benar‐benar membe rikan akses terhadap keadilan bagi setiap warga negaranya.

Persepsi masyarakat mengenai pentingnya instrumen informal dalam perluasan akses terhadap keadilan menjadi bukti bahwa terdapat kesenjangan antara sistem hukum nasional yang serba rasional dan formalistik, dan harapan akan keadilan yang dapat dicapai masyarakat di luar lingkaran kekuasaan. Pengadilan adat dapat menjadi jembatan yang menyatukan kesenjangan tersebut apabila sebelumnya dilakukan perubahan kerangka epistemologi hukum nasional. Pengadilan adat perlu dikeluarkan dari konstruksi wacana yang selama ini melekat pada tubunhnya. Sepanjang pengadilan adat masih dianggap sebagai oposisi biner dari pengadilan negara, maka ukuran kebenaran dan keadilan hanya akan m njadi milik lembaga hukum negara. e