Latar Belakang

1. Latar Belakang

Fungsi legislasi yang melekat pada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) merupakan fungsi istimewa yang menjadi pembeda DPR RI sebelum dengan sesudah

amandemen Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). 22 Namun sering terlupakan bila dalam fungsi legislasi terdapat fungsi representasi. 23

Semangat menyusun produk legislasi harus dibarengi dengan jiwa representasi. Minimnya jiwa representasi dalam proses legislasi mempengaruhi kualitas produk legislasi. Salah satu contoh produk legislasi yang dapat ditakar konsistensi legislasi dalam hal representasi adalah Undang‐Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Nomor 25 Tahun 2009).

Standar pelayanan 24 pada pasal 20 ayat (1) Undang‐Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Nomor 25 Tahun 2009) seharusnya secara konsisten mengakomodasi mekanisme musyawarah agar tidak terjadi reduksi 25 esensi 26 partisipasi publik dalam pelayanan publik. Mengingat ketentuan mengenai standar pelayanan dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 masih berpotensi membuka celah terjadinya manipulasi pemenuhan hak warga negara melalui dalih penyelenggara layanan tidak mampu menyusun dan menetapkan standar pelayanan publik.

Adapun ketentuan mengenai standar pelayanan yang diatur dalam pasal 20 ayat (1)

UU Nom or 25 Tahun 2009 adalah sebagai berikut: 2 7

“Penyelenggara berkewajiban menyusun dan menetapkan standar pelayanan dengan memperhatikan kemampuan penyelenggara, kebutuhan masyarakat, dan kondisi lingkungan.”

Kemudian dalam penjelasan UU Nomor 25 Tahun 2009, yang dimaksud kemampuan penyelenggara adalah “dukungan pendanaan, pelaksana, sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan.” Dengan demikian, dapat dimaknai jika tidak didukung komponen‐

komponen yang bersifat akumulatif 28 tersebut maka berpotensi tidak disusun dan ditetapkannya standar pelayanan yang menjadi kewajiban penyelenggara. Sementara komponen yang bersifat akumulatif 28 tersebut maka berpotensi tidak disusun dan ditetapkannya standar pelayanan yang menjadi kewajiban penyelenggara. Sementara

Letak pertentangan tidak disusun dan ditetapkannya standar pelayanan dengan Pancasila adalah menegasikan musyawarah sebagai suatu metode bagi warga negara dan negara yang mengandung nilai kebijaksanaan sebagaimana sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”, sedangkan Pancasila sendiri menjadi “sumber dari segala sumber hukum Republik Indonesia”. 29

Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum Indonesia diakui sebagai dasar untuk mewujudkan tujuan bernegara 30 seperti yang ditentukan dalam pembukaan UUD 1945. Kemudian UUD 1945 menjadi hukum dasar bernegara guna menjamin ketertiban dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. 31 UUD 1945 terdiri dari pembukaan dan batang tubuh menjadi wadah dirumuskannya (i) tujuan bernegara 32 , (ii) penyelenggaraan negara yang didasarkan atas aturan hukum dan (iii) bentuk institusi‐ institusi serta prosedur ketatanegaraan. 33 Perumusan ketiga hal tersebut bersandar pada kesepakatan bersama. Seperti yang dikem ukakan oleh Jimly A s s hiddiqie:

“Kata kuncinya adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepakatan umum itu

runtuh, maka runtuh pu a legitimasi kekuasaan yang bersangkutan.” l 3 4

Apabila ditarik ke belakang, UUD 1945 dalam perspektif konstitusi merupakan perjanjian/kontrak sosial 35 sebagai perwujudan hukum tertinggi di suatu negara. Perjanjian tersebut dibuat untuk merumuskan:

“tujuan bersama, batas­batas hak individual, dan siapa yag bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat

dengan batas­batasnya.” 3 6

Pernyataan tersebut semakin menegaskan bahwa baik pancasila maupun UUD 1945 menjadikan musyawarah sebagai salah satu elemen penting.

Musyawarah dalam konteks prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi) dan kedaulatan hukum (nomokrasi) atau ide negara demokrasi sekaligus negara hukum, atau negara demokrasi yang berdasar hukum (constitutional democracy) dan sekaligus negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) seperti yang dikemukakan oleh Jimly

Asshiddiqie 37 juga sangat relevan. Musyawarah menjadi sarana bagi rakyat untuk Asshiddiqie 37 juga sangat relevan. Musyawarah menjadi sarana bagi rakyat untuk

“Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara itu pada dasarnya juga diperuntukkan bagi seluruh rakyat sendiri bahkan negara yang baik diidealkan pula agar diselenggarakan bersama­sama dengan rakyat dalam arti dengan m elibatkan masyarakat dalam arti yang seluas­luasnya.” 38

Standar pelayanan yang menekankan pada musyawarah/interaksi langsung antara warga negara dengan negara sebagai penyelenggara pelayanan juga mendapat porsi pembahasan demokrasi dalam perspektif Islam dimana

“Setiap individu menikmati hak­hak dan kekuasaan kekhalifahan Tuhan dan karenanya semua individu berderajat sama. Badan yang menjalankan urusan negara akan dibentuk melalui perjanjian dengan individu­individu ini, dan kekuasaan negara hanya akan merupakan perpanjangan kekuasaan individu yang didelegasikan kepadanya. Opini mereka akan menentukan dalam pembentukan pemerintah, yang akan berfungsi dengan nasihat­nasihat mereka dan sesuai dengan kehendak­kehendak mereka. Siapapun yang memperoleh kepercayaan akan memikul kewajiban­kewajiban kekhalifahan atas nama rakyat;

d an jika ia kehilangan kepercayaan maka ia harus meletakkannya.” 39

Musyawarah berdasarkan ilustrasi di atas menimbulkan pertanyaan, jika demikian lantas bagaimana dengan eksistensi demokrasi perwakilan yang sudah terlembaga (parlemen) dan justru harus semakin dikuatkan?. Menjawab pertanyaan ini, dapat merujuk pada penjelasan Jimly Asshiddiqie yang menyatakan bahwa demokrasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Selanjutnya demokrasi langsung dapat dilakukan melalui delapan cara, yaitu: 40

a. Pemilihan um um (general election ) 41

b. Referendu m (refere da) n 42

c. Prakarsa (initiativ e )

d. Plebisit (plebisci ) te

e. Recall (the re a c ll ) 43

f. Mogok kerja 44 f. Mogok kerja 44

h. Pernyataan pendapat melalui pers bebas Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie menerangkan bahwa: “adanya partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui

parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu­satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip representation in ideas dibedakan dari representation in presence, karena perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau aspirasi.” 45

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, yaitu negara demokrasi yang berdasar hukum (constitutional democracy) atau negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat ), berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara Indonesia di mana:

“kenyataan konstitusionalnya menganut prinsip negara hukum yang dinamis atau welfare state, dengan sendirinya tugas pemerintah begitu luas. Pemerintah wajib berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mendapat kewenangan untuk turut campur dalam berbagai kegiatan masyarakat guna mewujudkan kesejahteraan sosial.” 46

Pada akhir tahun 2005, pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara mengusulkan Rancangan Undang‐Undang (RUU) Pelayanan Publik kepada Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) 47 . Hingga akhirnya pada 18 Juli 2009 pembahasan RUU itu rampung dan diundangkan walaupun persoalan‐persoalan seperti yang telah dinilai Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3) belum terselesaikan dengan tuntas, khususnya mengenai standar pelayanan yang diatur pada Pasal 20 ayat (1) UU Nomor 25 tahun 2009 yang akan diteliti dalam penelitian ini.

Oleh karena itu diperlukan pengkajian dan penelitian mengenai standar pelayanan yang pengaturannya saat ini masih menyisakan celah hukum karena inkonsistensi legislasi yang berpotensi mereduksi esensi partisipasi publik dalam pelayanan publik di Negara Indonesia yang diidealkan sebagai negara hukum yang demokratis/negara demokrasi yang berdasarkan hukum dalam ikhtiar memajukan kesejahteraan umum sebagaimana menjadi salah satu tujua n Negara Kesatuan Republik Indonesia.