Hukum Adat dan Logosentrisme Hukum Nasional

I. Hukum Adat dan Logosentrisme Hukum Nasional

Persoalan epistemologis yang dihadapi sistem hukum negara saat ini adalah dominasi rasionalisme dan positivisme yang hadir sebagai ukuran kebenaran tertinggi (logos) dalam lembaga‐lembaga hukum milik negara. Tanpa adanya perubahan terhadap landasan kesadaran dan pengetahuan pada bangunan hukum nasional tersebut, akses terhadap keadilan masih akan terjebak pada batasan‐batasan rasionalitas ala hukum modern.

Perkembangan paling penting dalam suatu negara modern terletak pada rasionalitas arsitekturnya yang membentuk sentralisasi kekuasaan dengan menghancurkan otonomi dari komunitas‐komunitas lokal yang telah tebentuk pada masa pra negara modern (Satjipto Rahardjo, 2004 : 37). Akibatnya tatanan norma yang telah berkembang sebelum lahirnya hukum negara ditempatkan pada urutan ke‐sekian dibandingkan dengan peraturan perundang‐undangan yang dibentuk sebagai jejaring sentralisasi kekuasaan. Sentralisme hukum modern membawa serta logosentrisme sebagai turunannya.

Pembentukan sistem hukum modern, sejak hadirnya kolonialisme di negeri ini, tidak hanya membawa pencerahan bagi Bangsa Indonesia untuk melangkah ke tahapan yang lebih beradab –setidaknya pembenaran tersebut yang sering dilontarkan para modernis‐ melainkan juga menghapuskan kemajemukan logika dan pemikiran bangsa melalui gerakan

rasiona lisasi yan memengaru i batin sanuba i Bangsa ndonesia. g h r I

Sebelum membahas logosentrisme sebagai arus utama bangunan hukum di Indonesia, menarik kiranya melihat pandangan mengenai karakteristik masyarakat Indonesia, yang diungkapkan dengan keras oleh Mochtar Lubis sebagai berikut: 31

Sistem feodal kita di masa lampau yang begitu menekan rakyat dan menindas segala inisiatif rakyat, adalah sumber dari hipokrasi yang dahsyat ini. Kemudian datang berbagai agama, yang meskipun datang membawa nilai‐nilai yang memperkaya kehidupan jiwa manusia Indonesia, akan tetapi di berbagai daerah, karena caranya datang memakai paksaan dan kekerasan, atau datang sebagai sekutu kekuasaan penjajah, maka ia pun datang tidak sepenuhnya dan dimana‐ mana diterima sebagai satu unsur atau kekuatan pembebasan manusia

I ndonesia. (Mochtar Lubis, 2008 : 18).

Mochtar Lubis menyerang dunia batin manusia Indonesia dengan sebutan hipokrit yang dianggapnya sebagai warisan kolonial yang meruntuhkan keberanian untuk berpikir apalagi memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat kekuasaan. Perginya pemerintah kolonial dari tanah jajahannya tidak serta‐merta menghapus hegemoni kebudayaan feodal yang selama menjadi penyakit bangsa. Kebudayaan dan mental manusia Indonesia senantiasa sarat dengan simbol‐simbol pengukuhan terhadap sifat‐sifat tersebut. Salah satu simbol yang dibentuk untuk mengukuhkan kemunafikan dan sifat feodal tersebut adalah institusi hukum.

Sejarah mencatat bahwa usaha pengukuhan terhadap hukum sebagai sarana untuk melanggengkan paham hipokrit dan feodal dalam masyarakat Indonesia, telah ada sebelum Belanda masuk ke Indonesia. Sejak jaman kerajaan Hindu, raja yang berkuasa dianggap sebagai penjelmaan dewata yang turun ke bumi, sehingga apa yang dikatakan dan dilakukan oleh seorang raja merupakan sebuah kebenaran mutlak tak terbantahkan. Begitu juga

peratur an yang dikeluarkan oleh raja, iangga sebagai titah Sang Kuasa. d p Kondisi ini masih berlanjut ketika Islam masuk ke Indonesia. Pada masa itu

kerajaan‐kerajaan sebagai simbol hegemoni feodalisme masih dipertahankan melalui afirmasi dari para pemuka agama. Kekuasaan kalangan istana mungkin semakin berkurang, namun muncul struktur kekuasaan baru yang dipimpin para tokoh agama tersebut. Penjajahan yang dilakukan oleh kaum kolonial di Indonesia semakin menegaskan ketertundukan rakyat terhadap penguasanya. Dalam bentuknya yang paling beradab, sentralisme dan feodalisme diterjemahkan ke dalam peraturan tertulis. Prinsip‐prinsip kepastian hukum dan unifikasi hukum digunakan sebagai alat pembenar untuk

melang gengkan kekuasaan kolonial di atas tanah jajaha merek (Mochtar Lubis, 2 8 : 13). n a 00 Logosentrisme merupakan kecenderungan sistem pemikiran yang mencari

legitimasinya dengan mengacu pada dalil‐dalil kebenaran universal atau jaminan makna sentral dan orisinal (Anthon F. Susanto, 2010: xii). Yasraf Amir Piliang memandang logosentrisme sebagai:

klaim akan adanya hakikat atau kebenaran yang pasti benar yang melandasi pikiran, bahasa dan tindak tanduk (bernegara dan berbangsa). Setiap pemikiran dan tindakan seolah‐olah harus selalu didudukkan pada fondasi kebenaran yang kebal tersebut, yang diatasnya seluruh hierarki makna dan realitas sosial dibangun. (Yasraf Amir Piliang, 2003 : 123).

Logosentrisme hukum modern mendorong terciptanya logika tunggal sebagai satu‐ satunya nilai dan kebenaran bagi pembentukan hukum. Rasionalisasi dan unifikasi hukum dengan standar operasional prosedur yang ketat adalah produknya. Logosentrisme hukum dikukuhkan melalui konstruksi oposisi biner (binary opposition) sebagai pasangan konsep yang sengaja dibentuk dalam hubungannya untuk saling bertentangan. Pertentangan tersebut pada akhirnya digunakan sebagai rekayasa sosial untuk mempertahankan status quo kekuasaan.

Oposisi biner menghilangkan kemungkinan bagi kemajemukan hukum dapat berjalan secara harmonis. Logika hukum produk kekuasaan diakui sebagai kebenaran tunggal. Maka kemudian muncul istilah hukum informal sebagai lawan dari hukum formal (negara). Unifikasi menjadi lawan dari kemajemukan hukum, dan kepastian hukum adalah kutub yang berseberangan dengan ketidakpastian. Hukum adat maupun keputusan‐ keputusan yang dilahirkan lembaga adat, baik sadar ataupun tidak, dikonstruksikan untuk masuk ke dalam pertentangan tersebut. Segala yang berbau adat dan informal adalah oposisi biner dari hukum negara.

Peraturan‐peraturan mengenai hukum dan masyarakat adat seolah menunjukkan pertentangan tersebut. Contoh paling nyata terlihat dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen ke‐II yang menyebutkan:

Negara mengakui dan menghormati kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak‐hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang‐undang.

Frase “sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang­undang” seolah

menunjukkan bahwa pemerintah secara tidak langsung mengambil jarak yang berseberangan dengan masyarakat hukum adat beserta hak‐hak tradisionalnya. Kuat terkesan unsur penegasan dan klaim atas kekuasaan oleh pihak yang berposisi sebagai negara terhadap pihak yang berposisi sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Sebagaimana juga dapat dilihat dari pasal 1 angka 6 UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang menyatakan “hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah m asyar akat hukum adat”

Pengakuan negara atas masyarakat hukum adat dan segenap haknya pada akhirnya merupakan sebuah pengakuan bersyarat. Tersirat sikap bahwa hukum adat adalah “pihak yang lain” di luar masyarakat negara, yang sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan jaman dijamin keberadaannya oleh pemerintah. Pengakuan bersyarat tersebut justru cenderung menjadi sebuah penyangkalan terselubung yang dilakukan melalui konstruksi wacana dalam oposisi biner.

Otonomi daerah yang digadang‐gadang membawa angin segar bagi pembentukan hukum yang berbasis kepentingan masyarakat lokal juga masih terjebak pada wilayah legal formal semata dan belum menyentuh aspek paling dasar dari sebuah kemandirian sistem hukum, yaitu kemandirian nilai dan logika. Pembentukan hukum daerah‐daerah di Indonesia masih bersandar pada “Logika Jakarta” sebagai acuan utama. Dampaknya, meskipun peraturan dibuat dan diterapkan di daerah, sentralisme nilai dalam hukum masih mendominasi produk hukum yang dihasilkan. Pada titik ini, peraturan hukum tidak muncul dari tatanan nilai dan norma yang tumbuh di masyarakat, namun justru sebaliknya, tatanan nilai dan norma dalam masyarakatlah yang dibentuk oleh hukum positif yang dikeluarkan penguasa.

Konfigurasi hukum yang diciptakan di atas landasan logesentrisme cenderung mematikan kemungkinan adanya nilai‐nilai selain yang telah ditentukan sebagai kebenaran bersama. Sebagai sebuah sistem, konstruksi hukum nasional yang dibangun berdasarkan mazhab Eropa Kontinental justru melebarkan jurang keterpisahannya dengan identitas

b angsa Indonesia melalui rasionalisasi dan unifikasi hukum. Mazhab Eropa Kontinental mengutamakan penalaran deduktif sebagaimana yang

dikembangkan oleh aliran legisme (Wettelijk Positivisme). Undang‐undang (peraturan tertulis) adalah satu‐satunya sumber hukum, dan tidak ada hukum diluar undang‐undang. Hukum kebiasaan hanya ada, apabila diperbolehkan o leh h ukum tertulis (undang‐undang).

Tidak adanya hukum diluar undang‐undang menyebabkan kedudukan pengadilan hanya bersifat pasif. Pengadilan (hakim) hanya merupakan corong undang‐undang 32 yang bertugas memasukan segala sesuatu yang kongkret ke dalam peraturan perundang‐ undangan melalui jalan silogisme hukum, dengan metode deduksi yang logis. Suatu kajian Tidak adanya hukum diluar undang‐undang menyebabkan kedudukan pengadilan hanya bersifat pasif. Pengadilan (hakim) hanya merupakan corong undang‐undang 32 yang bertugas memasukan segala sesuatu yang kongkret ke dalam peraturan perundang‐ undangan melalui jalan silogisme hukum, dengan metode deduksi yang logis. Suatu kajian

Pendapat aliran legisme itu adalah bersifat normatif, bukan positif, dan hanya sebagian saja ia menemukan kebenarannya, yaitu sepanjang dan dalam hal‐hal yang memang telah ada pengaturan undang‐undangnya, baik ia termasuk hukum negara, hukum pidana ataupun hukum perdata, lebih‐lebih tentunya dalam cabang‐cabang hukum yang sudah dikodifikasikan. Kebaikan ajaran ini terletak pada kehendak, maksud dan tujuannya untuk mencapai sebanyak‐ banyaknya kepastian hukum, untuk dapat memberikan jaminan yang maksimal terhadap hak‐hak perseorangan untuk menghindarkan dari tindakan sewenang‐ wenang dari orang‐orang yang kuat ataupun dari alat‐alat penguasa. (Achmad Sanusi, 2002 : 89).

Lebih Lanjut, Achmad Sanusi juga mengkritisi konsep aliran legisme dengan menyatakan:

Tentang segi‐segi kelemahan pendapat aliran ini, lihatlah aturan‐aturan hukum persetujuan (perjanjian‐pen) itu, karena kebiasaan itu, karena adat itu karena ia memang benar‐benar tertancap sebagai kesadaran hukum yang berkepentingan dan/atau sebagian terbesar masyarakat. Malahan hukum kebiasaan kadang‐ kadang dapat meniadakan undang‐undang, apabila ia dikuatkan dengan putusan pengadilan. (Achmad Sanusi, 2002 : 89).

Legisme pada akhirnya menimbulkan usaha untuk melakukan unifikasi dan kodifikasi terhadap kaidah‐kaidah yang ada pada suatu negara. Hukum adalah dan seharusnya merupakan hukum negara, yang berlaku sama bagi semua orang, dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan tatanan normatif lainnya di dalam masyarakat (John Griffiths, 1986 : 3). Melalui kodifikasi hukum negara dapat disatukan dalam sebuah standar komprehensif yang mendukung rechtseenheid (kesatuan hukum) dan rechtszakerheid (kepastian hukum), (R. Soeroso, 2004 : 77).

Meskipun UUD 1945 dan perangkat peraturan perundang‐undangan di bawahnya mengakui hukum adat sebagai bagian dari hukum nasional yang patut dipertimbangkan, kita perlu secara jujur mengakui bahwa hukum adat, sampai saat ini, belum mampu menjadi arus utama dalam pembangunan hukum nasional. Peraturan perundang‐undangan yang ada baru sampai pada tahap pengakuan artifisial terhadap sebagian kecil nilai‐nilai yang dibawa hukum adat, yang kemudian diformalisasikan ke dalam pasal‐pasal pada peraturan hukum. Namun sebagai sebuah sistem, hukum adat tidak memiliki pengaruh yang signifikan untuk m enjad i identitas hukum bangsa Indonesia.

Berbagai pembenaran kerap muncul untuk mengesampingkan hukum adat dari bangunan sistem hukum nasional. Ketidakpastian hukum merupakan salah satu pembenaran yang paling sering dikemukakan. Hukum adat di satu sisi diakui sebagai hukum yang dinamis dan berkembang mengikuti perkembangan masyarakat, sementara di sisi lain sifat dinamis tersebut membawa hukum adat pada ranah ketidakpastian. Hukum, dalam pandangan modern, haruslah merupakan bangunan yang kokoh dan menjamin kepastian bagi setiap pencari keadilan. Atas dasar itulah undang‐undang dan setiap perangkat hukum Berbagai pembenaran kerap muncul untuk mengesampingkan hukum adat dari bangunan sistem hukum nasional. Ketidakpastian hukum merupakan salah satu pembenaran yang paling sering dikemukakan. Hukum adat di satu sisi diakui sebagai hukum yang dinamis dan berkembang mengikuti perkembangan masyarakat, sementara di sisi lain sifat dinamis tersebut membawa hukum adat pada ranah ketidakpastian. Hukum, dalam pandangan modern, haruslah merupakan bangunan yang kokoh dan menjamin kepastian bagi setiap pencari keadilan. Atas dasar itulah undang‐undang dan setiap perangkat hukum