Krisis Peran Negara dalam Tata Kelola SDA

3. Krisis Peran Negara dalam Tata Kelola SDA

Negara dalam konstelasi sistem pemerintahan bercorak negara kesejahteraan (welfare state ) dinisbatkan sebagai pelindung rakyat (the guardian of the citizen) dalam format trias

politika di negara modern, yaitu negara, pasar (market) dan rakyat. Jika dalam format trias politika klasik (legislatif, eksekutif dan yudikatif) tiga pilar kekuasaan tersebut harus politika di negara modern, yaitu negara, pasar (market) dan rakyat. Jika dalam format trias politika klasik (legislatif, eksekutif dan yudikatif) tiga pilar kekuasaan tersebut harus

Alih‐alih terbangun suatu keseimbangan peranan di antara ketiga pilar kekuasaan dalam format trias politika modern, yang jamak terjadi justru hegemoni pasar terhadap pilar negara maupun rakyat. Maka, sejak dari lahirnya paham konstitusionalisme di Eropa, konstitusi suatu negara diposisikan sebagai jembatan emas yang menjadi jalan untuk membangun keseimbangan pilar‐pilar trias politika klasik maupun modern. Indonesia sebagai salah satu negara yang konstitusinya mendeklarasikan sebagai negara kesejahteraan mengatur keseimbangan relasi antara ketiga pilar trias politika modern tersebut melalui sebuah konstitusi ekonomi (economic constitution). Konstitusi ekonomi adalah suatu konstitusi/hukum dasar suatu negara yang berupaya meletakkan landasan kesejahteraan dan keselamatan ekonomi rakyatnya dengan menata keseimbangan relasi antara negara, pasar dan rakyat. Lahirnya konstitusi ekonomi menurut pandangan Charles A Beard (2004) jika ditelisuri dari proses lahirnya sebuah konstitusi, lazimnya sarat dengan konflik antarkepentingan ekonomi, baik kepentingan para pendukung (proponents) maupun penentang (opponents) dalam sebuah paradigma ekonomi negara yang diidealkan. Para pendiri republik di masa itu menggagas sebuah ekonomi kesejahteraan dalam sebuah negara yang bertipe welfare state.

Negeri ini kini kian diramaikan oleh sengketa seputar pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di Freeport, Mesuji, dan pelabuhan Sape‐Bima NTB dan sejenisnya, yang bukan tak mungkin akan semakin berkembang lebih luas lagi. Jika direfleksikan, perselisihan‐ perselisihan yang terjadi antara rakyat/pekerja dengan korporasi yang memegang konsesi/lisensi pengelolaan SDA dan diperparah dengan kesan ketidaknetralan aparat keamanan yang cenderung menguntungkan korporat pengelola SDA di daerah‐daerah tersebut di atas, sebenarnya merupakan gugatan atas krisis peran negara dalam tata kelola SDA dalam ranah konflik agrarian, lingkungan dan SDA. Konflik‐konflik sporadis yang sementara ini terjadi secara acak di berbagai daerah di Indonesia, bukan tak mungkin bisa berkembang sebagai sebuah gerakan sistematis yang pada intinya menggugat keadilan dalam pengelolaan SDA apabila negara tidak segera mengelolanya dalam desain strategis reforma agrarian (landreform) sebagaimana pernah diamanatkan sejak tahun 1960.

Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan ketentuan pokok dalam konsitusi ekonomi yang menggariskan peran negara sebagai penguasa tunggal atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya agar mampu menjamin terwujudnya kemakmuran/ kesejahteraan rakyat, terlihat kehilangan daya kekuatan konstitusionalnya ketika praktik‐ praktik pengelolaan SDA berdasarkan konsesi/lisensi pemerintah ternyata justru menderogasi kekuatan Pasal 33 UUD 1945 dalam menjaga kesejahteraan atau keselamatan ekonomi rakyatnya. Supremasi konstitusi yang lazimnya menjadi pilar dasar sebuah negara hukum telah digantikan dengan supremasi “libido ekonomi korporasi” para pengelola SDA yang tak jarang bersimbiosis dengan negara yang menyebabkan rakyat perambah hutan teralienasi karena tercabut status hak adatnya atas tanah yang dikelolanya secara turun temurun, tambang emas dan SDA lainnya tersedot kian menjauhi bumi pertiwi karena dieksploitasi atas nama kepentingan pemodal yang tinggal nun jauh di negeri seberang dan sederet praktik‐praktik eksploitasi SDA yang jauh dari pesan konstitusi ekonomi negeri ini. Reformasi agraria yang sejak berlakunya UUPA (UU No. 5 Tahun 1960) telah dicanangkan, sebenarnya bisa menjadi salah satu langkah penting untuk mulai melakukan penataan ulang Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan ketentuan pokok dalam konsitusi ekonomi yang menggariskan peran negara sebagai penguasa tunggal atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya agar mampu menjamin terwujudnya kemakmuran/ kesejahteraan rakyat, terlihat kehilangan daya kekuatan konstitusionalnya ketika praktik‐ praktik pengelolaan SDA berdasarkan konsesi/lisensi pemerintah ternyata justru menderogasi kekuatan Pasal 33 UUD 1945 dalam menjaga kesejahteraan atau keselamatan ekonomi rakyatnya. Supremasi konstitusi yang lazimnya menjadi pilar dasar sebuah negara hukum telah digantikan dengan supremasi “libido ekonomi korporasi” para pengelola SDA yang tak jarang bersimbiosis dengan negara yang menyebabkan rakyat perambah hutan teralienasi karena tercabut status hak adatnya atas tanah yang dikelolanya secara turun temurun, tambang emas dan SDA lainnya tersedot kian menjauhi bumi pertiwi karena dieksploitasi atas nama kepentingan pemodal yang tinggal nun jauh di negeri seberang dan sederet praktik‐praktik eksploitasi SDA yang jauh dari pesan konstitusi ekonomi negeri ini. Reformasi agraria yang sejak berlakunya UUPA (UU No. 5 Tahun 1960) telah dicanangkan, sebenarnya bisa menjadi salah satu langkah penting untuk mulai melakukan penataan ulang

Tabel 1 Politik Hukum SDA dan Lingkungan Berkeadilan

Level Peraturan Perundang‐undangan Implementasi Pasal 33 UUD Negara RI (Legal Policy Level)

1945 Harmonisasi peraturan perundang‐

undangan yang berimplikasi terhadap kebijakan SDA dan lingkungan

Basis etika bio/antroposentrisme dalam peraturan perundang‐undangan SDA dan lingkungan

Sinkronisasi peraturan perundang‐ undangan Pusat dan Daerah dalam rangka perlindungan SDA dan lingkungan.

Mengintegrasikan prinsip pemberdayaan masyarakat dan distribusi kesejahteraan dengan pengaturan SDA dan lingkungan.

Menyusun UU Hukum Administrasi Umum (General administrative law) untuk mengintegrasikan prinsip perlindungan hukum (rechtsbescherming) dan partisipasi (inspraak dan adviesering) warga negara dalam pengaturan perijinan sektoral, khususnya yang terkait dengan pengelolaan SDA dan lingkungan.

2 Level Peraturan Kebijakan (Policy Rule Peninjauan berbagai peraturan kebijakan Level )

sektoral terkait perlindungan fungsi SDA lingkungan berkelanjutan.

Harmonisasi dan sinkronisasi seluruh peraturan kebijakan sektoral dengan prinsip‐prinsip perlindungan fungsi SDA dan lingkungan.

Mengintegrasikan prinsip‐prinsip keadilan Mengintegrasikan prinsip‐prinsip keadilan

3 Level Organisasi Pemerintah Sistem pelayanan terpadu satu pintu (Government’s Organizational Level)

dengan leading sector instansi yang bertanggungjawab di bidang lingkungan .

Integrasi sistem keterbukaan informasi berbasis web government dalam kebijakan perijinan sektoral.

Menginternalisasikan prinsip‐prinsip pemerintahan yang baik (the principles of good administration) dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan (government function)

4 Level Operasional Kebijakan Memperkuat jejaring (networking) sektor (Operational Policy Level)

publik‐privat dalam implementasi dan pengawasan kebijakan di bidang SDA dan lingkungan.

Sinergi implementasi kebijakan dan pengawasan perijinan SDA/lingkungan dengan penanggulangan kemiskinan serta pemberdayaan masyarakat (people empowerment )

Negara yang berkonstitusi sebenarnya merupakan wujud kasat mata dari negara yang telah bebas dari belenggu penjajahan. Rekonseptualisasi peran negara mengacu pada konstitusi ekonomi yang menjadi piagam kemerdekaannya secara ekonomi guna menyejahterakan rakyatnya menjadi suatu keharusan, jika negeri ini tak ingin kian tergadai. Bukankah itu komitmen semula ketika para pendiri negeri ini mendeklarasikan kemerdekaan negeri ini dari tangan penjajah enam puluh tahun silam dalam sebuah republik desa sebagai bentuk demokrasi ideal yang dicita‐citakan, yaitu adanya pemimpin y ang bersatu jiwa dengan rakyatnya?