Hak konstitusional masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam lainnya

2. Hak konstitusional masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam lainnya

Soal hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam lainnya merupakan faktor kunci yang menjadi persoalan selama ini. Banyak masyarakat adat dirampas tanah‐tanah tempat mereka melangsungkan kehidupan, mencari makan, bermasyarakat, beribadah serta mengembangkan tradisi‐tradisinya. Perampasan itu dilakukan atas dalih‐dalih ‘suci’ misalkan atas nama pembangunan, hukum, kemajuan, kemakmuran yang dikampanyekan baik ole h pemernitah aupun pengusaha. m

Praktik pada masa Orde Baru yang merampas tanah‐tanah rakyat atas nama pembangunan dengan memanipulasi makna hak menguasai negara sebagai turunan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 telah melahirkan gugatan terhadap keberadaan konsepsi hak menguasai negara tersebut. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi:

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar­besar kemakmuran rakyat.

Seiring dengan terbentuknya MK dan kewenangannya yang dapat menafsirkan makna konstitusi, maka MK memberikan makna baru terhadap keberadaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 agar tidak mudah dimanipulasi lagi seperti yang pernah dilakukan oleh rezim Orde Baru. Pembicaraan tentang hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam lainnya erat terkait dengan konsepsi penguasaan negara atas tanah dan sumber daya alam lainnya. Bila penguasaan negara tak terbatas, maka akan habis terampas semua tanah‐tanah masyarakat adat. Interaksi antara penguasaan negara dan hak masyarakat atas tanah itu telah menjadi hubungan yang sejak masa kolonial telah dikembangkan dengan Domein Verklar ing pad masa itu. a

Dalam putusan perkara Nomor 3/PUU‐VIII/2010 mengenai Pengujian Undang‐ Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil, MK menyebutkan bahwa tujuan penguasaan negara menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 adalah untuk sebesar‐besar kemakmuran. Oleh karena itu, sebesar‐besar kemakmuran rakyat‐lah yang menjadi ukuran utama bagi negara dalam menentukan pengurusan, pengaturan atau pengelolaan atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Di samping itu, penguasaan oleh negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus juga memperhatikan hak‐hak yang telah ada, baik hak individu maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum adat (hak ulayat), hak masyarakat adat serta hak‐hak konstitusional lainnya yang dimiliki oleh masyarakat dan dijamin oleh konstitusi, misalnya hak akses untuk melintas, hak atas lingkungan yang sehat dan lain‐lain.

Pemberian Hak Pengelolaan Perairan Pesisir (HP‐3) melalui UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau‐pulau Kecil dipandang oleh MK mengancam keberadaan hak‐hak masyarakat tradisional dan kearifan masyarakat lokal atas wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil, karena menurut konsepsi undang‐undang tersebut, masyarakat tradisional yang secara turun temurun memiliki hak atas pemanfaatan perairan pesisir dan pulau‐pulau kecil akan diberikan HP‐3, dan dapat menerima ganti rugi atas pemberian HP‐3 kepada swasta berdasarkan kesepakatan musyawarah. Menurut Mahkamah konsep demikian, akan membatasi hak‐hak tradisional masyarakat dalam batasan waktu tertentu menurut ketentuan pemberian HP‐3 yaitu 20 tahun dan dapat diperpanjang.

Konsep ini bertentangan dengan konsep hak ulayat dan hak‐hak tradisional rakyat yang tidak bisa dibatasi karena dapat dinikmati secara turun temurun. Demikian juga mengenai konsep ganti kerugian terhadap masyarakat yang memiliki hak‐hak tradisional atas wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil, akan menghilangkan hak‐hak tradisional rakyat yang seharusnya dinikmati secara turun temurun (just saving principle), karena dengan pemberian ganti kerugian maka hak tersebut hanya dinikmati oleh masyarakat penerima ganti kerugian pada saat itu. Hal itu juga bertentangan dengan prinsip hak‐hak tradisional yang berlaku secara turun temurun, yang menurut Mahkamah bertentangan dengan jiwa Pasal 18B UUD 1945 yang mengakui dan menghormati kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak‐hak tradisionalnya. Di samping itu, dengan konsep HP‐3 dapat menghilangkan kesempatan bagi masyarakat adat dan masyarakat tradisional yang menggantungkan kehidupannya pada wilayah pesisir dan pulaupulau kecil, sehingga bertentangan dengan Pasal 28A UUD 1945.

Melalui putusan itu sebenarnya MK menolak mempersamakan hak masyarakat atas wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil dipersamakan dengan HP‐3 yang merupakan konsesi yang diberikan oleh negara kepada pihak lain untuk mengusahakan wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil.

Dalam putusan yang lain, yaitu putusan perkara No. 45/PUU‐IX/2011 mengenai Pengujian Undang‐Undang Kehutanan, MK mempertimbangkan tentang konstitusionalitas kawasan hutan. Dalam putusan tersebut MK menyampaikan bahwa penguasaan negara atas kawasan hutan harus memperhatikan keberadaan hak‐hak individu dan hak‐hak ulayat masyarakat. Bila di dalam kawasan hutan terdapat hak‐hak individu dan hak ulayat, maka pemerintah harus mengeluarkannya dari kawasan hutan (Lihat Arizona, 2012). Pandangan bahwa hak individu dan hak ulayat masyarakat adat harus dikeluarkan dari kawasan hutan diikuti pula dalam putusan Perkara No. 34/PUU‐IX/2011 mengenai Pengujian Undang‐ Undang Kehutanan. Dalam putusan yang terakhir ini, MK mempertimbangkan bahwa bukan hak individu dan hak ulayat saja yang mesti dikeluarkan, melainkan juga hak‐hak atas tanah lainnya sesuai peraturan perundang‐undangan seperti HGU, HGB dan Hak Pakai.