Menggali Kem ali Wibawa Hukum dan Pengadilan Adat b

II. Menggali Kem ali Wibawa Hukum dan Pengadilan Adat b

Upaya revitalisasi pengadilan adat mustahil dapat dilakukan apabila hukum adat yang menjadi dasarnya tidak memiliki posisi tawar yang berwibawa dalam hukum nasional. Bahwa hukum adat hingga saat ini masih diiterapkan oleh masyarakat Indonesia adalah suatu persoalan yang lain. Tanpa adanya usaha untuk melepaskan hukum adat dari konstruksi oposisi biner, pengadilan adat sebagai lembaga hukum, sampai kapanpun hanya akan menjadi trial by the people atau pengadilan jalanan, tanpa pernah mampu menjadi pemain utama dalam konfigurasi sistem hukum Indonesia.

Hukum adat merupakan kristalisasi kesadaran kolektif bangsa yang tidak lahir dari teori‐teori maupun perdebatan‐perdebatan dalam gedung dewan. Kekuatan berlaku hukum adat tidak berasal dari mekanisme legal formal, melainkan tumbuh dan berkembang melalui afirmasi masyarakat ditempatnya berada. Perilaku masyarakat baik secara sadar maupun tidak sadar menciptakan norma‐norma sosial sebagai peredam konflik. Gangguan terhadap keseimbangan dalam kelompok masyarakat harus dipulihkan sedemikian rupa ke keadaan semula (restitutio in integrum), (Sudikno Mertokusumo, 2003 : 3). Melalui keseimbangan itu tercipta tatanan masyarakat yang harmonis, tentram dan aman sebagaimana yang diharapkan oleh manusia.

Repetisi perilaku tersebut memiliki kekuatan normatif yang mengikat orang lain pula untuk melakukan hal yang sama. Hal tersebut didasarkan atas keyakinan atau kesadaran, bahwa hal itu memang patut dilakukan; bahwa itulah yang adat (die normative Kraft des Faktischen), (Sudikno Mertokusumo, 2003 : 104). Kekuatan normatif dari keberlanjutan perilaku tersebut menjadi basis bagi dipatuhinya putusan pengadilan adat di masyarakat, sekaligus juga menjadi anasir pembeda dari kekuatan mengikat yang dimiliki oleh putusan pada pengadilan negara. Kebiasaan dalam lingkungan masyarakat tertentu adalah suatu kenyataan yang dapat dilihat, dikonstantir oleh hakim adat sebagai suatu peristiwa dan kemudian dirumuskan sebagai peraturan hukum. Kondisi inilah yang kemudian menjadi basis bagi perkembangan sistem hukum common law di negara‐negara persemakmuran Inggris.

Sebagai landasan epistemologis dari pengadilan adat, Sudikno Mertokusumo melihat kebiasaan‐kebiasaan di masyarakat dapat memiliki kekuatan mengikat dengan memenuhi syarat‐syarat terten tu, yaitu:

1. Syarat materiil adanya kebiasaan atau tingkah laku yang tetap atau diulang, yaitu suatu rangkaian

perbuatan yang sama, yang berlangsung untuk beberapa waktu lamanya. Harus dapat ditunjukan adanya perbuatan yang berlangsung lama: harus ada apa yang dinamakan longa

e t inveterata consuetudo.

2. Syarat intelektual Kebiasaan itu harus menimbulkan opinio necessitatis (keyakinan umum) 33 bahwa perbuatan

itu merupakan kewajiban hukum. Keyakinan itu tidak hanya sebatas keyakinan bahwa selalu ajeg berlaku demikian, tetapi keyakinan bahwa memang seharusnya demikian. Keyakinan ini disebut opinio necessitatis (pendapat bahwa demikianlah seharusnya). Kebiasaan itu harus dilakukan karena keyakinan, bahwa hal itu patut secara obyektif dilakukan, bahwa

d engan melakukan itu berkeyakinan melakukan suatu kewajiban hukum.

3. Adanya akibat hukum bila kebiasaan itu dilanggar (Sudikno Mertokusumo, 2003 : 106‐ 107).

Pengadilan yang bermartabat telah sepatutnya mencerminkan rasa keadilan yang hidup di masyarakat, tidak hanya sebatas pada usaha untuk meneruskan perintah undang‐undang. Oleh karena itu, pengadilan bukanlah institusi kekuasaan yang berada di luar lingkaran masyarakat, melainkan agen masyarakat itu sendiri yang merepresentasikan pengaruh kesadaran kolektif masyarakat ditempatnya berkedudukan. 34

Maka landasan yang digunakan oleh pengadilan tidak hanya sebatas pada ketentuan undang‐undang saja, melainkan juga nilai‐nilai yang diberikan oleh kaedah di luar kaedah hukum yang memengaruhi validitas terhadap undang‐undang itu sendiri. Seorang yuris sosiologis menurut Roscoe Pound, harus memihak kepada equitable application of law. Peraturan itu hanya menjadi tuntunan saja dan hakim harus menjalankan kebebasan untuk memberi perhatian terhadap kasus‐kasus secara individual, agar memenuhi tuntutan keadilan para pihak sesuai akal sehat orang pada umumnya (Roscoe Pound, 1971).

Dalam keadaan inilah hukum adat mengambil tempat yang sejajar, bahkan lebih tinggi dari peraturan tertulis (undang‐undang). Keadilan yang harus diberlakukan di Indonesia, sebagaimana pandangan Harris Soche, adalah keadilan yang mengandung semua aspek kehidupan baik yuridis, politis, ekonomis dan sosial budaya, dan yang dapat dinikmati oleh tidak saja segolongan atau sekelompok orang atau etnis tertentu, atau elit tertentu, melainkan harus dapat dirasakan dan dinikmati oleh seluruh warga negara sebagai individu maupun anggota kelompok masyarakat, atau kepatutan kemanusiaan (Harris Soche, 1985 : 13).

Oleh karena itu, hukum tidak dapat hanya dilihat sebagai bangunan steroetip yang abstrak, sebagai peraturan‐peraturan yang steril. Institusi hukum saat ini ingin dilihat dalam gambar sosialnya yang penuh, yang berarti memasukan berbagai dimensi kemanusiaan dan sosial ke dalam bingkainya.