Kondisi Kesejahteraan Penduduk Perbatasan

2. Kondisi Kesejahteraan Penduduk Perbatasan

Penduduk wilayah perbatasan negara pada umumnya berada dalam kondisi miskin dan terisolir. Sebagian ahli menyatakan bahwa keterpurukan penduduk perbatasan disebabkan oleh kuatnya paradigma pertahanan dan keamanan yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam konteks ini, wilayah perbatasan semata dipandang sebagai wilayah pertahanan dan keamanan negara dari ancaman asing. Kondisi ini berpengaruh terhadap lemahnya pembangunan sosial ekonomi di wilayah perbatasan, sehingga orientasi ekonomi penduduk perbatasan pada umumnya ke negeri tetangga. Namun sayangnya, praktek ekonomi yang dijalankan oleh penduduk perbatasan banyak menggunakan cara‐cara ilegal, seperti penebangan hutan secara ilegal dan memasarkannya ke Malaysia (Lahnisafitra, 2005).

Dengan kondisi kesejahteraan yang sangat minim itu, maka penduduk perbatasan dalam kasus‐kasus tertentu mudah dipengaruhi oleh oknumoknum warga Malaysia untuk melakukan tindakan ilegal loging dengan sejumlah imbalan tertentu. Dalam catatan Bappeda Kalimantan Barat (2008), setidaknya ada dua modus operandi yang dilakukan oleh pihak Malaysia dalam melakukan tindakan‐tindakan illegal di wilayah Indonesia, seperti di wilayah Kecamatan Sajingan Besar, yaitu: pembukaan lahan perkebunan dan pencurian kayu.

Pembukaan lahan perkebunan dilatarbelakangi oleh motif ekonomi oleh para pengusaha Malaysia yang bekerj asama dengan aparat keamanan negara setempat, dan dengan memanfaatkan kelemahan ekonomi masyarakat Indonesia. Dalam catatan Bappeda tersebut dijelaskan, bahwa dibukanya lahan perkebunan oleh pihak Malaysia di wilayah Indonesia, sebagai akibat kurangnya areal yang dapat dipergunakan sebagai kebun, dan juga masalah tenaga kerja di negara tersebut yang sangat kurang. Salah satu contoh perkebunan milik Malaysia yang berada di wilayah Indonesia adalah Salcra Raya Oil Palmeestatwe yang dibangun pada sekitar tahun 199912000, di atas areal bekas HPH PT. Yamaker dengan luas 300 Ha, dan ditanami kelapa sawit. Pihak Malaysia sebenamya mengetahui bahwa perkebunan tersebut berada di wilayah Indonesia, tetapi secara formal belum pemah dipermasalahkan oleh pihak Indonesia, kecuali "sekedar protes" oleh pihak Pemda Kabupaten Sambas. Dengan demikian, secara de facto areal tersebut menjadi milik Malaysia.

Dalam kasus tersebut, pihak Malaysia menggunakan dalih patok tapal batas negara yang berada di daerah Sungai Sebunga, namun patok tersebut tidak seperti yang ada di daerah Gunung Putting dengan ukuran 10x10 cm. Berdasarkan keterangan warga, mereka dulu pemah disuruh oleh pihak Malaysia memindahkan patok dari satu tempat ke tempat lainnya dengan imbalan sejumlah uang dan kebutuhan lainnya.

Kondisi ini diperparah lagi dengan kenyataan, bahwa mayoritas tenaga kerja yang bekerja di perusahaan sawit Malaysia tersebut adalah para warga setempat, sehingga secara ekonomis hal itu menguntungkan warga. Dengan demikian, pihak Malaysia telah memanfaatkan kelemahan ekonomi warga untuk kepentingan Malaysia, dan warga dijadikan tameng jika terjadi protes dari Indonesia. Hal ini tentu menjadi permasalahan dilematis tersendiri bagi Indonesia yang secara faktual belum dapat memberikan solusi konkrit atas kemiski nan yang dialami oleh masyarakat perbatasan di daerah Sajing esar tersebut. an B

Praktek ilegal lainnya yang dilakukan oleh warga Malaysia di wilayah pebatasan Indonesia, khususnya di Desa Sebunga, Kecamatan Sajingan Besar adalah berupa pencurian kayu hutan. Pencurian kayu oleh warga Malaysia dilakukan melalui dua cara, yaitu: pencurian dengan tebang gantung dan melalui jalan darat. Pencurian dengan cara tebang gantung adalah suatu cara mengambil kayu dengan menggunakan pesawat helikopter sebagai alat untuk memindahkan kayu dari wilayah Indonesia ke wilayah Sarawak, Malaysia. Proses pencarian kayu model ini, dilakukan sangat profesional. Prosesnya cepat dan sangat terencana dengan baik, dimana para pelaku menentukan terlebih dulu wilayah mana yang akan mereka curi. Alat‐alat Chain shaw yang dipakai menggunakan peredam, sehingga dalam jarak 2‐3 km tidak terdengar oleh aparat. Model pencurian kayu seperti ini juga mampu mencapai daerah yang sulit dijangkau seperti Gunung Rasau (Bappeda Kalimantan Barat, 2 08). 0

Model pencurian kayu yang lainnya adalah melalui jalur darat. Dalam operasinya pencurian kayu lewat jalan darat dilakukan secara besar‐besaran dan terorganisir dengan baik. Pelaku sebelum melakukan operasinya terlebih dulu memindahkan tapal batas sejauh

8 km dan lebar 800 m masuk ke wilayah Indonesia. Pemindahan patok tersebut pada umumnya dilakukan melalui dua cara. Pertama, para pencuri melakukan sendiri pemindahan patok tapal batas, dan cara ini dilakukan jika di wilayah tersebut tidak ada penduduk dan jauh dari pengawasan aparat. Kedua, para pencuri kayu memberdayakan masyarakat setempat, j ika di daerah yang akan diambil kayunya terdapat perkampungan. Masyarakat yang dapat memindahkan patok masuk ke dalam wilayah Indonesia, seperti yang mereka ingingkan, maka akan diberi imbalan uang, disamping itu keluarga mereka akan ditanggung biaya hidupnya. Sejauh ini, tempat pencurian kayu banyak terj adi di wilayah Aruk.

Kasus pergeseran patok, sebagaimana yang terjadi di Sajingan Besar, Kabupaten Sambas tersebut, mencerminkan lemahnya pengawasan wilayah perbatasan, akibat minimnya aparat petugas pengawas perbatasan. Selain itu, pengawasan swakarsa oleh penduduk juga lemah, karena jumlahnya sedikit dan terpencar, sehingga tidak mampu membantu pemerintah dalam pengawasan perbatasan. Selain itu, faktor kemiskinan dan intensitas kontak dengan warga Malaysia yang secara ekonomi jauh lebih makmur telah berdampak negatif terhadap keamanan wilayah dan sumberdaya alam perbatasan. Penduduk perbatasan yang pada umumnya berada dalam garis kemiskinan, dengan mudah melakukan tindakan illegal loging yang dijual ke warga Malaysia, demi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari‐hari. Sebab, melalui cara seperti itu, mereka dapat survive kehidupannya. Sementara untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di wilayah perbatasan sangat sulit. Oleh sebab itu, kondisi ini menegaskan bahwa perspektif pertahanan dan keamanan dalam pembangunan perbatasan tidak bisa berjalan secara parsial, melainkan juga harus diintegrasikan dengan kesejahteraan penduduk. Dalam konteks ini, maka penegakan hukum akan mampu dilaksanakan dengan efektif.

Sebagaimana dinyatakan oleh Soerjono Soekanto (1983), bahwa salah satu elemen penting dalam penegakan hukum yang efektif adalah terkait dengan kondisi sosial masyarakatnya, di samping faktor‐faktor lainnya, seperti materi hukumnya sendiri, aparat penegak hukumnya, dan sarana‐prasarana pendukung lainnya. Gambaran mengenai kerawanan wilayah perbatasan dapat dilihat pada Tabel 2 di ba wah ini.

Tabel 2

L uas Wilayah, Kepa atan Penduduk dan Pengaruhnya Terhadap Keamanan d

Kepadatan Kerawanan Wilayah No. Kabupaten Kecamatan

dan Pelanggaran

Faktor Penyebab

(Jiwa/Km 2 )

Hukum

Sajingan

‐P eminda han

penduduk ‐K etidakjelasan perbatasan dan

Posisi Patok

Pengawasan

‐ Trafficking

Lemah

‐ Sikap Agresivitas Paloh

‐ Illegal Loging

‐ Penyelundupan

warga Malaysia

‐ Illegal Fisihing

memindah

‐ Imigran Gelap

dan/atau mengklaim patok

2 Bengkayang Siding

28 Lemahnya

‐ Illegal Loging

pengawasan

‐ Trafficking

keamanan dan

‐P eminda han

Jagoi Babang 11 adanya beberapa

Patok

j alan tikus ke

3 Sanggau Sekayam

keamanan dan

‐ Keimigrasian dan

Entikong adanya beberapa

26 Kepabeanan

j alan tikus ke

‐ Trafficking

Sarawak

4 Sintang Ketungau

12 Lemahnya Tengah

pengawasan

‐ Penyelundupan

keamanan dan Ketungau

adanya beberapa Hulu

‐ Trafficking

9 ‐ Pencurian SDA

j alan tikus ke Sarawak

Kapuas

5 Empanang

Hulu Lemahnya Puring

keamanan dan Badau

Kepabeanan

8 Trafficking

adanya beberapa

Batang Lupar 4

j alan tikus ke Embaloh Hulu 1

Illegal Loging

Sarawak Putussibau

Total

12 S umber: BPS LIma Kabupaten Perbatasan 200712008 dan Polda Kalbar 2008