Kebijakan Telematika dan Masa Depan Gerakan Perlawanan di Dunia Maya

III. Kebijakan Telematika dan Masa Depan Gerakan Perlawanan di Dunia Maya

a. UU ITE dan Pelemahan Perlawanan Publik Prita Mulyasari. Sebuah nama yang tidak bisa dipisahkan dari sebuah gerakan sosial di

internet. Prita Mulyasari adalah seorang perempuan yang menuliskan ketidakpuasannya terhadap pelayanan sebuah rumah sakit Omni Internasional melalui email pribadinya ke rekan‐rekannya.

Akhirnya email pribadi tersebut sampai ke RS Omni Internasional. RS Omni Internasional kemudian melakukan gugatan perdata dan melaporkan Prita Mulyasari secara pidana. Dalam hukum pidana Prita Mulyasari dinilai telah melakukan pencemaran nama baik seperti yang tertuang dalam Pasal 27 ayat 3 Undang Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Kasus itu kemudian mendorong para pengguna internet, blogger dan facebooker menggalang dukungan untuk Prita Mulyasari melawan RS Omni Internasional. Gerakan dukungan online itu kemudian berlanjut ke aktifitas offline. Hal itu terlihat dari berbagai Kasus itu kemudian mendorong para pengguna internet, blogger dan facebooker menggalang dukungan untuk Prita Mulyasari melawan RS Omni Internasional. Gerakan dukungan online itu kemudian berlanjut ke aktifitas offline. Hal itu terlihat dari berbagai

Gencarnya dukungan di dunia maya terhadap Prita Mulyasari ini akhirnya mencuri perhatian media massa mainstream untuk memberitakannya. Gerakan dukungan terhadap Prita Mulyasari pun semakin besar sejak beritanya muncul di media massa mainstream

konvensional 81 . Menggemannya dukungan terhadap Prita Mulyasari pun membuat para kandidat calon Presiden pada tahun 2009 memanfaatkan kasus ini sebagai salah satu isu dalam kampanye mereka.

Besarnya dukungan terhadap gerakan di internet dalam kasus Prita Mulyasari ini akhirnya dicoba diulangi dalam kasus‐kasus lainnya. Meskipun tidak semuanya bisa mengulang lagi keberhasilan gerakan itu. Gerakan di internet yang cukup berhasil dalam mengulang gerakan dalam kasus Prita adalah dukungan terhadap Bibit‐Candra dalam kasus

Cicak Vs Buaya (KPK) 82 .

Gerakan Sosial di

Keterangan Facebook

Jumlah

Penduk ung

Page Dukung:

(per 8 Juni 2011) Bebasmurnikan Prita dr

Tuntutan Bui 83

(per 8 Juni 2011) Prita Mulyasari, Penulis

Causes; “Dukungan Bagi Ibu

Surat Kelahuhan Melalui

Internet yang ditaha n” 84 .

Gerakan 1.000.000

(per 19 Juli 2011) Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto 85

Cause;Dukung Korban

( Per Juni 2011) Lapindo Mendapatkan Keadilan 86

( per 7 Juni 2011) Dukung Pembebasan Nenek Minah 87

Group Gerakan Rakyat

Selain gerakan sosial di facebook, muncul pula gerakan jurnlisme warga melalui website UGC (User Generate Content) 88 . Hal itu misalnya dilakukan Akhmad Rovahan 89 . Pengajar di sebuah madrasah di Buntet, Cirebon, itu menulis karut‐marut pengucuran dana pendidikan untuk tujuh sekolah di Kecamatan Astanajapura. Karyanya itu kemudian diunggah di Suara Komunitas ( www.suarakomunitas.net ), salah satu portal tempat para pewarta warga berbagi informasi, akhir tahun 2010.

Tulisannya mengalir sampai ke Jakarta. Petugas Badan Pemeriksa Keuangan mengecek langsung, juga tim pemantau dari beberapa kampus. Kasus itu menjadi pembicaraan di tingkat provinsi. "Orang pemerintah daerah sampai minta tulisannya dicabut," kata Akhmad.

Kejadian itu bukan satu‐satunya. Seorang warga mengunggah tulisan tentang sekolah yang siswanya belajar secara lesehan. "Dua hari kemudian, datang meja‐kursi dari pemerintah," kata Akhmad. Ada juga cerita pengusutan kasus meninggalnya tenaga kerja asal Cirebon di Jawa Tengah oleh pemerintah setelah beredarnya tulisan dari kerabat korban di situs media komunitas.

Suara Komunitas ( www.suarakomunitas.net ) sendiri adalah website yang dikelola oleh media‐media komunitas yang tersebar di seluruh Indonesia. Pengelolaannya difasilitasi

oleh seb uah NGOs Yogyakarta, COMB NE Resource Institution I 90 .

Namun, nampaknya gerakan sosial di dunia maya kembali akan menemui kendala. Kendala pertama adalah terkait dengan ancaman pencemaran nama baik di UU ITE. Dalam kasus pidana 91 , Prita dikalahkan melalui putusan kasasi Mahkamah Agung. Dikalahkannya Prita Mulyasari dalam kasus pidana melawan RS Omni menjadi preseden buruk bagi gerakan sosial di dunia maya.

Selain dalam kasus Prita Mulyasari, pasal karet pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan 92 , telah mengancam beberapa warga yang mencoba melakukan kritik sosial terhadap tokoh‐tokoh yang kebetulan memiliki kekuasaan, baik secara politik maupun ekonomi. Bambang Kisminarso misalnya, polisi sempat menahannya berserta anaknya M. Naziri atas tuduhan telah menghina anak presiden dalam pelanggaran ketentuan pencemaran nama baik melalui UU ITE.

Bambang mengajukan pengaduan kepada komisi pengawasan pemilu daerah bahwa para pendukung putra presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah

membagi‐bagikan uang kepada para calon pemilih 93 .

Selain itu ada Yudi Latif, seorang intelektual publik yang pernah terancam terjerat pasal karet UU ITE ini. Pada akhir tahun 2010 lalu, Yudi latif, dilaporkan ke polisi oleh para kader Partai Golkar dengan tuduhan mencemarkan nama baik pimpinan partainya, Aburizal Bakrie. Dalam laporan polisi bernomor TBL/498/XII/2010/Bareskrim itu, Yudi dilaporkan atas dugaan pelanggaran Pasal 310 dan atau Pasal 311 KUHP dan atau Pasal 45 ayat (2) jo

Pasal 28 ayat (1) dan (2) UU ITE 94 .

Sebelumnya pasal pencemaran nama baik selalu digunakan menjadi alat untuk

membungkam gerakan masyarkat sipil 95 .

1. Fifi Tanang, seorang penulis surat pembaca di sebuah surat kabar. Dituduh mencemarkan nama baik PT Duta Pertiwi melalui tulisannya di kolom surat pembaca.

2. Alex Jhoni Polii, warga Minahasa, yang memperjuangkan kepemilikan tanahnya melawan PT. Newmont Minahasa Raya (NMR). Dituduh melakukan tindak pidana pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan.

3. Dr. Rignolda Djamaluddin, ia dinilai telah mencemarkan nama baik perusahaan tambang emas PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) karena pernyataannya tentang gejala penyakit Minamata yang ditemukan pada beberapa warga Buyat Pante.

4. Yani Sagaroa dan Salamuddin, kedua orang itu dituding telah mencemarkan nama baik perusahaan karena pernyataanya bahwa PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) harus bertanggung jawab atas penurunan kualitas kesehatan yang dialami masyarakat Tongo Sejorong sejak perusahaan tersebut membuang limbah tailingnya ke Telu k Senunu.

5. Usman Hamid (Koordiantor Kontras). Tuduhan: pencemaran nama baik .

6. Emerson Yuntho (Koordinator ICW). Tuduhan: pencemaran nama ba ik.

7. Illian Deta Arta Sari (aktivis ICW). Tuduhan: pencemaran nama baik.

8. Gatot (aktivis KSN). Tuduhan: pencemaran nama baik.

9. Suryani (aktivis LSM Glasnot Ponorogo). Tuduhan: pencemaran nama baik.

10. Dadang Iskandar (aktivis Gunung Kidul Corruption Watch). Tuduhan: pencemaran nama baik.

1 1. Itce Julinar (Ketua SP Angkasapura). Tuduhan: pencemaran nama baik.

Kasus Prita Mulyasari yang akhirnya dikalahkan dalam putusan kasasi MA (UU ITE) dan juga penggunaan pasal karet pencemaran nama baik dalam KUHAP untuk menjerat aktivis menjadi preseden buruk bagi gerakan sosial digital ke depannya. Warga masyarakat yang akan melakukan kontrol sosialnya melalui internet akan selalu dibayangi pasal pencem aran nama baik UU ITE.

b. RUU Konverg nsi Telematika dan Pelemahan Perlawanan Publik e Saat laporan ini 96 dibuat pemerintah sedang membahas Rancangan Undang Undang (RUU)

Konvergensi Telematika. RUU itu nantinya akan menggantikan UU 36/1999 tentang telekomunikasi. Terkait dengan hal itulah RUU Konvergensi Telematika ini menjadi penting untuk mendapatkan pengawalan dari masyarakat.

Dalam konteks liberalisasi telekomunikasi, RUU Konvergensi Telematika ini tidak jauh beda dengan UU 36/1999. Dalam penjelasan draft RUU itu disebutkan bahwa Dalam penjelasan RUU Konvergensi Telematika secara gamblang disebutkan, bahwa salah satu hal yang melatarbelakangi munculnya RUU Konvergensi Telematika adalah “Tekanan atau dorongan untuk mewujudkan perubahan paradigma telematika dari vital dan strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan semakin besar melalui forum­forum regional dan internasional dalam bentuk tekanan untuk pembukaan pasar (open market)” . 97

Menurut Margiyono ada sebuah paradigma regulasi di era konvergensi telamatika.

Par adigma tu adala i h 98 :

• Sudah terjadi konvergensi teknologi, kemudian terjadi konvergensi media, dan tantangannya ada konvergens hukum, kemudian konvergensi badan regulas i i

• Karena selama ini di media ada beberapa badan yang bersentuhan dan bergesekan sehingga terjadi pergesekan kewenangan, misalnya antara KPI dengan Dewan Press sempat terjadi ketegangan ketika KPI memberikan sanksi kepada Metro TV yang menanyangkan berita pagi tentang Satpol PP melakukan sweeping internet dan situs pornonya tidak disamarkan, KPI memberian sangsi berita pagi tidak boleh tayang selama

5 hari. Dewan Press menganggap ini sebagai pembredelan. Belum lagi pergesekan dengan pengatur frekuansi dengan BRTI.

• Idenya adalah bagaimana membuat badan regulasi yang terkonvergensi.

Pertanyaannya kemudian adalah, dari sisi masyarkat, apakah RUU ini akan mampu memberikan payung hukum baru yang masyarakat untuk memperkuat perlawanan terhadap dominasi wacana dari konglomerasi media yang telah terkonvergensi itu?

c. Pembagian Penyelenggara Telematika Kendala pertama dari RUU ini muncul terkait dengan pembagian penyelenggara telematika.

"Persoalan pembagian penyelenggara telematika di RUU Konvergensi ini juga menimbulkan pertanyaan," ujar Donny BU dalam wawancaranya dengan SatuDunia, di kantor ICT Watch

Jakarta 99 . Persoalan terkait dengan hal itu menurut Donny berasal dari Pasal 8 ayat 1 draft RUU Konvergensi Telematika.

Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa penyelenggaraan Telematika terdiri atas. Penyelenggaraan Telematika yang bersifat komersial dan Penyelenggaraan Telematika yang bersifat non‐komersial. Semua penyelenggaraan telematika menurut RUU Konvergensi Telematika dianggap komersial, kecuali pertahanan dan keamanan nasional, kewajiban pelayanan universal, dinas khusus dan perseorangan.

Sedangkan menurut penjelasan pasal 8 RUU Konvergensi Telematika menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Penyelenggaraan Telematika yang bersifat komersial” adalah penyelenggaraan telematika yang disediakan untuk publik dengan dipungut biaya guna memperoleh keuntungan (profit oriented). Dan yang dimaksud dengan “Penyelenggaraan Telematika yang bersifat non‐komersial” adalah penyelenggaraan telematika yang disediakan untuk keperluan sendiri atau keperluan publik tanpa dipungut biaya (non­profit oriented ).

Pasal 13 RUU Konvergensi Telematika menyebutkan bahwa penyelenggaraan Telematika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) wajib mendapat izin dari Menteri berupa perizinan individu atau perizinan kelas.

Selain itu dalam pasal 12 juga disebutkan bahwa setiap penyelenggara telematika wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telematika yang diambil dari persentase pendapatan kotor (gross revenue).

Sementara itu menurut RUU Konvergensi Telematika penyelenggaraan Layanan Aplikasi Telematika adalah kegiatan penyediaan layanan aplikasi telematika yang terdiri dari aplikasi pendukung kegiatan bisnis dan aplikasi penyebaran konten dan informasi.

"Nah pertanyaannya adalah bagaimana dengan Media Online, Situs jejaring komunitas seperti suarakomunitas.net, penyelenggara radio streaming (IP‐Based), penyedia forum diskusi yang user generated content atau layanan darurat (emergency) seperti AirPutih/ JalinMerapi?" tanya Donny BU.

Soal penyelenggaraan telematika ini juga pernah diutaran oleh aktivis koalisi Masyarakat Informasi (Maksi) dan juga Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Margi Margiyono 100 . "Jadi yang bisa membuat aplikasi itu hanya komersial," ujar Margiyono, "Lantas, kalau NGO membuat aplikasi bagaimana? Bukankah web termasuk juga aplikasi,"

Dalam RUU Konvergensi Telematika itu disebutkan bahwa baik penyelenggara non komersial dan komersial harus izin ke menteri. "Jadi kalau kita bikin portal/website harus izin ke m enteri dan bayar HP /Biaya Hak Penggunaan," lanjutnya. B

RUU Konvergensi Telematika ini, lanjut Margiyono, jelas berpotensi menghambat gerakan sosial digital atau klik activism dan juga jurnalisme warga. "Bagaimana tidak, untuk menjadi citizen jurnalis dan aktivis sosial digital harus mendapat izin, membayar BHP dan melakukan USO," tambahnya, "UU Pers saja menyatakan bahwa pers tidak perlu ijin, lha kok Citizen Jurnalist harus izin”

“Begitu pula pers, kecuali penyiaran, tak bayar BHP,” tambah Margiyono “Lha kok Citizen jurnalist harus bayar BHP?”

Dampak buruk RUU Konvergensi Telematika bagi organisasi non pemerintah mulai dikeluhkan oleh aktivis Combine Resource Institute. "Organisasi kami menggunakan alat dan perangkat telematika untuk pemberdayaan masyarakat (kebutuhan non komersial)," ujar Ranggoaini Jahja, aktivis Combine Resource Institute kepada SatuDunia 101 , "Sehingga jika penerapan RUU ini akan membatasi ruang kami untuk melakukan kerja pemberdayaan, sementara operator swasta memperlakukan jenis layanan kepada masyarkat secara sama m aka organisasi kami menolak RUU ini,"

d. Ketimpangan Akses Telematika Ketimpangan akses telematika yang menjadi fakta di Indonesia menjadi persoalan serius

dalam konteks perlawanan warga terhadap wacana dominan konvergensi media konglomerasi. Warga yang ada di luar Jawa, utamanya di sebagian kawasan Indonesia tengah dan Timur akan kesulitan mengimbangi atau melawan dominasi wacana media konglomerasi melalui blog, jurnalisme warga jika mereka tidak memiliki akses terhadap telematika.

Akibatnya, tentu saja apa yang dipublikasikan oleh media konglomerasi yang teleh konvergen itu mendominasi wacana publik dan dianggap sebagai sebuah kebenaran tunggal. Perlawanan warga di kawasan Indonesia tengah dan timur terhadap wacana dominan media konglomerasi menjadi penting, utamanya menyangkut persoalan pengelolaan sumberdaya alam. Mengingat kawasan itu sangat kaya dengan sumberdaya alam. Sementara di sisi lain, sebagian konglemerat media selain memiliki bisnis media juga memiliki bisnis yang terkait dengan sumber daya alam semisal, perkebunan sawit dan tambang.

“Jika konsep besarnya adalah hak warga negara (masyarakat luas), mengapa yang diatur dalam RUU Konvergensi Telematika ini lebih kental soal hak konsumen/pengguna?” ujar Donny BU, “Sementara hak warga negara, utamanya yang belum mendapat akses telematika, belum atau tidak diatur,”

Terkait dengan hak warga itu pula, Donny BU mengaku sepakat dengan catatan yang pernah dibuat oleh Yayasan SatuDunia terkait hak warga negara dalam RUU Konvergensi Telematika ini. Dalam Brief Paper SatuDunia 102 tentang RUU Konvergensi Telematika menyebutkan telah terjadi pereduksian hak warga negara menjadi sekedar hak konsumen.

Menurut Brief Paper SatuDunia, meskipun berkali‐kali disebutkan kata masyarakat dalam RUU Konvergensi Telematika, namun di batang tubuh RUU ini justru tidak ada satu pasal pun yang mengatur hak warga negara. Dalam salah satu pasal di RUU ini mengatur perlindungan konsumen tapi bukan warga negara.

Antara konsumen dan warga negara jelas sesuatu yang berbeda. Hak konsumen muncul didasarkan atas hubungan transaksional dengan korporasi. Sementara hak warga negara muncul didasarkan atas kontrak sosial yang dibuat antara negara dan warganya.

Dalam kontrak sosial itu, negara diberikan mandat untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak warganya. Termasuk hak warga atas pembangunan dalam hal ini termasuk pembangunan telematika. Dalam pasal 38 RUU Konvergensi Telematika memang disebutkan bahwa pelaksanaan kewajiban pelayanan universal telematika 103 menjadi tanggung jawab pemerintah.

Sayangnya di RUU Konvergensi Telematika itu tidak disebutkan mengenai hak warga negara jika layanan universal gagal dipenuhi pemerintah. Apakah warga negara berhak komplain atau bahkan mengajukan gugatan jika layanan universal telematika itu gagal disediakan pemerintah? Tidak jelas, karena hak warga negara untuk komplain dan menggugat itu tidak disebutkan dalam RUU.

Di sisi lain dalam RUU Konvergensi Telematika ini hanya mengatur perlindungan mengenai hak konsumen atau pengguna telematika. Artinya, dalam RUU ini hak warga negara telah direduksi menjadi hak konsumen. Hak warga negara untuk komplain bahkan menggugat tidak ada payung hukumnya selama kita belum menjadi konsumen produk telematika. Hak warga negara pelosok Indonesia untuk komplain dan menggugat akibat kegagalan pemerintah menyediakan layanan universal telematika tidak mendapat perlindungan sama sekali dalam RUU ini. Ini sangat sesuai dengan penjelasan umum RUU ini, bahwa “….paradigma telematika dari vital dan strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan….”