Konsep Masyarakat Hukum Adat

B. Konsep Masyarakat Hukum Adat

Pengertian mendalam tentang masyarakat hukum adat perlu dihayati pada dua faktor, yaitu: teritorial dan genealogis yang menjadi dasar pembentukan dan kesinambungan hidup masyarakat hukum adat (Syahmunir, 2005 : 6). Selanjutnya, pengertian tentang masyarakat hukum adat disampaikan oleh Kurniawarman mengutip Ter Haar yan mengemukakan : g

Persekutuan itu dapat diartikan sebagai kelompok manusia yang teratur, bersifat tetap dengan mempunyai kekuasaan tersendiri berupa benda (kekayaan) baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran untuk membubarkan kelompok tersebut. Di situlah terdapat hukum adatsebagai endapan dari kenyataan social yang didukung dan dipelihara oleh dan dalam keputusan pemegang kekuasaan atau penghulu rakyat dan rapat yang dijatuhkan atas sesuatu tindakan hukum atau atas suatu perselisihan (beslisingenleer). Menurutnya, masyarakat hukum itu terbentuk Persekutuan itu dapat diartikan sebagai kelompok manusia yang teratur, bersifat tetap dengan mempunyai kekuasaan tersendiri berupa benda (kekayaan) baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran untuk membubarkan kelompok tersebut. Di situlah terdapat hukum adatsebagai endapan dari kenyataan social yang didukung dan dipelihara oleh dan dalam keputusan pemegang kekuasaan atau penghulu rakyat dan rapat yang dijatuhkan atas sesuatu tindakan hukum atau atas suatu perselisihan (beslisingenleer). Menurutnya, masyarakat hukum itu terbentuk

Masyarakat hukum adat secara territorial adalah persekutuan hukum yang terikat oleh teritorial. Sebagaimana dijelaskan oleh syahmunir, bahwa :

Sarjana hukum adat, baik itu Ter Haar, Soepomo dan lainnya berpendapat Desa di Jawa, Madura dan Bali merupakan contoh dari struktur masyarakat hukum adat yang berdasarkan teritorial, khususnya Dorpsgemeenschap (….). Desa dalam pengetian masyarakat hukum adat secara territorial ini adalah kesatuan hukum sebagai tempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri (Syahmunir, 2005 : 6)—autonom.

Oleh Chairul Anwar diperkuat lagi, bahwa ; ”Masyarakat hukum adat yang merupakan persekutuan hukum yang terikat oleh

daerah (teritorial) sebagai unsur pokok tali pengikat persekutuan hukum tersebut, seperti di Jawa, sedangkan persekutuan hukum yang terikat oleh daerah (teritorial) sekaligus genealogi, seperti di minangkabau (nagari) (….). Dan juga terdapat persekutuan hukum yang hanya terikat oleh geneologis saja yang tentunya sangat sukar untuk menentukan batas‐batas kediamannya” (Chairul Anwar, 1997 : 8).

Sedangkan, persekutuan hukum yang terikat pada teritorial dan genelogis salah satunya terlihat pada contoh masyarakat hukum adat minangkabau (Nagari). Nagari terbentuk dari tatanan masyarakat berdasarkan garis keturunan genelogis matrilineal. Tatanan tersebut dimulai dari paruik yang merupakan keluarga luas yang terdiri dari beberapa keluarga inti, pengembangan paruik‐paruik yang menjadi kaum dan gabungan dari kaum‐kaum akan menjadi suku (Kurniawarman, 2012 : 41). Suku merupakan ikatan pertalian darah (genelogis) yang tidak mesti terikat, dan dibatasi oleh teritorial. Masyarakat hukum adat minangkabau mempunyai empat (4) suku utama, yaitu ; Koto, Piliang, Bodi, dan Caniago (Kurniawarman, 2012 : 41). Himpunan beberapa suku akan membentuk satu nagari dalam bentuk satuan organisasi pemukinan. Pembentukan tersebut menunjukkan adanya ikatan territorial yang mengikat semua anggota dari beberapa suku dan suku hanya menunjukkan adanya ikatan genealogis (Kurniawarman, 2012 : 42).

Selanjutnya, Kurniawarman menyebutkan dengan mengutip Soerjono Soerkanto dan Taneko (1986 : 107108) yang mengemukakan pendapat Hazairin bahwa:

Masyarakat hukum adat, seperti desa di jawa, marga di Sumatera Selatan, nagari di Minangkabau, Kuria di Tapanuli, Wanua di Sulawesi Selatan adalah kesatuan‐ kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan‐kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri. Mereka mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah

d an air bagi semua anggotanya (Kurniawarman, 2006 : 43).

Namun kenyataannya, masyarakat hukum adat tidak sepenuhnya otonom setelah bersinggungan dengan Negara. Reduksi otonomi masyarakat hukum adat tersebut oleh Kurniawarman dinyatakan sebagai :

”Secara faktual kondisi ini membuat setiap persekutuan hukum adat (Rechtsgemeenschappen) menjadi tidak sepenuhnya otonom seperti sebelumnya. Secara teori, menurut Moore, dalam perspektif hukum dan perubahan sosial (Law and Social Change) gambaran ketidakmutlakan autonomi suatu kelompok itu disebut dengan istilah semi­autonomous social field” (Kurniawarman, 2007 : 4).

Kondisi diatas adalah konsekuensi dari peleburan masyarakat hukum adat dalam entitas Negara, sehingga masyarakat hukum adat berada pada kondisi semi‐autonom terhadap negara (Kurniawarman, 2007 : 4). Peleburan yang mengakibatkan berkurangnya autonomi masyarakat hukum adat berlaku bagi entitas yang terikat pokok secara territorial seperti di jawa, terikat secara genelogis dan terikat secara genelogis – territorial seperti di nagari. Proses itu telah dimulai sejak pemerintahan kolonial Belanda sampai dengan zaman kemerd ekaan hari in i.

Selanjutnya, untuk melacak bagaimana persekutuan‐persekutuan masyarakat hukum adat tersebut dalam kerangka negera Indonesia, maka dilihat dalam penyusunan UUD 1945. Dalam penyusunan tersebut, pendiri bangsa mempunyai perhatian khusus terhadap persekutuan‐persekutuan masyarakat hukum adat. Perhatian tersebut kemudian

dicurahkan dalam pasal 18 UUD 1945 yang dijelaskan dengan sebutan susunan asli 10 masyarakat hukum adat sebagai bagian dari Negara dan penyelenggara Negara.

Susunan asli masyarakat hukum adat tersebut adalah desa atau nama lain yang dalam konsep UUD 1945 disebut dengan volksgemeenschappen. Desa atau nama lain merupakan susunan asli masyarakat hukum adat yang terikat secara territorial, genelogis dan territorial genelogis seperti yang dibahas sebelumnya. Untuk melihat kedudukan desa atau ama lain dalam UUD 1945 berikut akan dibahas dibawah ini. n

C. Masyarakat Hukum Adat, Susunan Asli dan Desa dalam UU

D 1945.

Memang, hubungan masyarakat hukum adat dengan Negara menjadi isu sentral kualitas autonomi masyarakat hukum adat terutama terhadap wilayahnya (hak ulayat), yaitu susunan asli yang bernama desa, nagari, marga dan nama‐nama lainnya. Oleh sebab itu, UUD 1945 yang lahir dari buah pikir pendiri bangsa memperhatikan secara serius hubungan Negara dengan susunan‐susunan asli masyarakat hukum adat tersebut. Saldi Isra menulis, bahwa So epom dalam Rapat Besar BPUPK ta gal 14 Juli 1945 menyatakan : o ng

”….Jadi rancangan undang‐undang dasar memberi kemungkinan untuk mengadakan pembagian daerah Indonesia dalam daerah‐daerah yang besar dan untuk membagi daerah‐daerah besar itu atas daerah‐daerah yang kecil. Dengan memandang dan mengingat “dasar permusyawaratan,” artinya bagaimana bentuknya pemerintah daerah, pemerintahan itu harus berdasarkan atas musyawarah, jadi misalnya dengan mengadakan Dewan Perwakilan Daerah. Hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa harus diperhatikan juga. Daerah‐ daerah yang bersifat istimewa itu ialah pertama daerah Kerajaan (Kooti), baik Djawa maupun diluar Djawa, daerah‐daerah yang dalam bahasa Belanda dinamakan Zelfbesturende landschappen. Kedua, daerah‐daerah kecil yang mempunyai susunan asli, ialah dorfgemeinschaften, daerah‐daerah kecil yang ”….Jadi rancangan undang‐undang dasar memberi kemungkinan untuk mengadakan pembagian daerah Indonesia dalam daerah‐daerah yang besar dan untuk membagi daerah‐daerah besar itu atas daerah‐daerah yang kecil. Dengan memandang dan mengingat “dasar permusyawaratan,” artinya bagaimana bentuknya pemerintah daerah, pemerintahan itu harus berdasarkan atas musyawarah, jadi misalnya dengan mengadakan Dewan Perwakilan Daerah. Hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa harus diperhatikan juga. Daerah‐ daerah yang bersifat istimewa itu ialah pertama daerah Kerajaan (Kooti), baik Djawa maupun diluar Djawa, daerah‐daerah yang dalam bahasa Belanda dinamakan Zelfbesturende landschappen. Kedua, daerah‐daerah kecil yang mempunyai susunan asli, ialah dorfgemeinschaften, daerah‐daerah kecil yang

Selanjutnya, pendapat Soepomo tersebut menjadi dasar pembentukan penjelasan pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) yang menyebutkan ;

I. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu een heidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah didalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil.

Didaerah‐daerah yang bersifat autonom (streek dan Locale reschtgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang‐undang. Didaerah‐daerah yang bersifat autonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerahpun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

II. Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”. Seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah – daerah ini mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah‐daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak‐hak asal usul daerah tersebut.

Berdasarkan pasal 18 tersebut. Saldi Isra menjelaskan susunan Negara Republik Indonesia dalam tiga bentuk, yaitu :

1. Daerah yang berstatus daerah otonom, yang t erdiri dari propinsi dan kabupaten/kota.

2. Daerah yang berstatus daerah administratif.

3. Daerah yang berstatus sebagai daerah istimewa, seperti negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, kerajaan seperti di Yogyakarta, dan lain‐lain (Saldi Isra, 2012 : 5).

Daerah istimewa seperti yang disebutkan diatas, melekat hak asal usul, dibagi atas dua bentuk, yaitu : pertama, kerajaan‐kerajan atau Zelfbesturende landschappen dan kedua, Desa / nama lainnya / susunan asli / Volksgemenschappen. Volksgemenschappen atau Desa atau nama lainnya dalam pengertian pasal 18 inilah yang disebut juga dengan susunan asli masyarakat hukum adat, baik yang terikat secara territorial, genelogis dan territorial genelogis dalam pengertian konstitusionalnya.

Sejak amandemen UUD 1945 yang juga merubah pasal 18 berimplikasi pada kedudukan Desa dan atau susunan asli masyarakat hukum adat. Susunan asli masyarakat hukum adat tidak lagi diakui secara jelas pada pasal 18 hasil perubahan tersebut. Saldi Isra menyebutkan bahwa perubahan pasal 18 UUD 1945 berakibat pada :

1. Ketentuan pasal 18 B ayat (2) UUD dihubungkan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dapat dipahami bahwa keberadaan masyarakat adat diakui secara konstitusional, namun eksistensi daerah‐daerah yang mempunyai susunan asli yang dihuni masyarakat hukum adat tidak mendapatkan jaminan. Atau dengan kata lain : subjeknya diakui, namun daerah tempat tinggalnya tidak mendapatkan pengakuan.

2. Pengaturan tentang masyarakat hukum adat masuk dalam rezim pemerintahan daerah, namun kedudukan masyarakat hukum adat dengan susunan asli yang mempunyai hak asal usul dalam penyelenggaran Negara tidak lagi diakui.

3. Pengakuan konstitusi terhadap masyarakat hukum adat sebagai subjek bersyarat pada pasal 18B ayat 2, yaitu “sepanjang masih hidup,” “sesuai dengan perkembangan masyarakat,” dan “prinsip Negara kesatuan.”