Pendekatan elementer dalam kajian negara hukum

II. Pendekatan elementer dalam kajian negara hukum

Pendekatan elementer terhadap negara hukum merupakan pendekatan yang diperkenalkan oleh Adriaan Bedner dalam rangka pengembangan studi terhadap negara hukum (Bedner, 2010). Pendekatan ini membagi elemen negara hukum dalam tiga komponen utama, yaitu elemen procedural, elemen substansi dan elemen mekanisme kontrol. Bender menyebutkan bahwa pendekatan elementer yang diperkenalkannya merupakan kelanjutan dari berbagai pendekatan yang telah ada dalam kajian negara hukum.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pendekatan yang diperkenalkan itu merupakan pendekatan baru dalam literatur negara hukum berbahasa Indonesia. Selama ini, ketika berbicara tentang negara hukum, maka yang akan dirujuk adalah konsepsi the rule of law dari A.V. Dicey dan konsepsi Rechtsstaat dari Julius Stahl. Dikatakan pula bahwa antara the rule of law dan Rechtsstaat itu berbeda karena berakar dari tradisi hukum yang berbeda. A.V. Dicey mengembangkan gagasan tentang the rule of law berdasarkan refleksinya terhadap tradisi berhukum orang di Inggris yang berbeda dengan tradisi hukum dibanyak negara lainnya. Ia memuji‐muji tradisi hukum Inggris sebagai tradisi hukum terbaik dimana orang diatur oleh hukum dan ada kepatuhan serta partisipasi luas masyarakat dalam menentukan hukum. Padahal di negara itu tidak pernah ada konstitusi tertulis. A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri dalam konsep“The Rule of Law”, yaitu supremacy of law, equality before the law dan due Process of l aw.

Sementara itu, Rechsstaat merupakan konsep negara hukum yang berkembang di Eropa Kontinental termasuk Jerman, Belanda, dan juga Perancis. Pemikir dari Jerman yang memiliki kontribusi terhadap gagasan rechtsstaat ini antara lain Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte dan Otto Von Gierke (1841‐1921). Gierke juga dikenal sebagai seorang sejarawan dan pemikir politik Jerman. Rechtsstaat yang merupakan istilah dalam bahasa Jerman untuk mengartikan negara hukum, menurut Julius Stahl (1802‐1861) memiliki empat elemen utama, yaitu perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan undang‐undang, dan adanya peradilan tata usaha negara.

Penjelasan tentang konsep the rule of law dari Dicey maupun Rechsstaat dari Julius Stahl belum sampai pada tataran metodologis bagaimana melakukan penelitian terhadapnya. Dalam kaitannya untuk melakukan penelitian, beberapa ahli membedakan negara hukum secara kategoris misalkan membedakan negara hukum formal dan negara hukum substantif ( Peerenboom, 2004: 1‐13). Pembedaan antara negara hukum formal dan substantif mengacu kembali pada tradisi Yunani dan versi substantif pada pendekatan hak‐ hak fundamental manusia yang dikembangkan oleh John Locke. Versi formal memberi perhatian pada hukum sebagai suatu instrumen dan dasar bagi pemerintah, namun bungkam pada apa yang harus diatur oleh hukum. Versi substantif, di sisi lain, menyusun standar‐standar untuk muatan‐muatan suatu norma, yang harus terjustifikasi secara moral (Bedner, 2011:149).

Kemudian ada pula pembedaan negara hukum tipis (thin) ke tebal (thick) dari Brian Tamanaha sebagai pengembangan dari pembedaan negara hukum formal dan substantf dari Peerenboom (Tamanaha, 2004). Tamanaha membagi kategori negara hukum dari yang tipis (thin) dimana pemerintahan dilakukan berdasarkan hukum sampai dengan negara hukum yang tebal (thick) dimana kesejahteraan sosial sudah tercermin dalam di dalamnya.

Ada pula pendekatan yang dipromosikan oleh Kleinfeld dengan membedakan antara cara dan tujuan dari negara hukum. Menurut Kleinfeld ada lima tujuan dari negara hukum

adalah pemerintah yang dibatasi hukum, kesetaraan di hadapan hukum, ketertiban, keadilan yang terprediksi dan efisien, dan ketiadaan pelanggaran hak asasi manusia oleh negara (Kleinfeld, 2006:34‐46). Selain itu ada pula pendekatan yang dikembangkan oleh World Justice Project dengan membuat indeks negara hukum (the rule of law index) yang diterapkan dengan metode penelitian kuantitatif untuk menilai kadar negara hukum negara‐

negara di duni . a 13 Dapat dipahami bahwa pendekatan elementer negara hukum yang dibuat oleh

Adriaan bukanlah satu‐satunya pendekatan dalam kajian tentang negara hukum, lalu mengapa pendekatan ini yang akan digunakan dalam penelitian ini? Pendekatan elementer terhadap negara hukum ini digunakan karena, sebagaimana diakui oleh Adriaan, bahwa pendekatan elementer merupakan polesan dari pendekatan formal‐substantif dan tipis‐tebal sebagai titik mula pembahasannya. Jadi ia punya keterpautan dengan pendekatan yang telah ada sebelumnya. Selain itu, pendekatan ini lebih spesifik dan dapat dijadikan mudah Adriaan bukanlah satu‐satunya pendekatan dalam kajian tentang negara hukum, lalu mengapa pendekatan ini yang akan digunakan dalam penelitian ini? Pendekatan elementer terhadap negara hukum ini digunakan karena, sebagaimana diakui oleh Adriaan, bahwa pendekatan elementer merupakan polesan dari pendekatan formal‐substantif dan tipis‐tebal sebagai titik mula pembahasannya. Jadi ia punya keterpautan dengan pendekatan yang telah ada sebelumnya. Selain itu, pendekatan ini lebih spesifik dan dapat dijadikan mudah

Pendekatan elementer negara hukum pada dasarnya didesain untuk penelitian interdisipliner dengan memperhatikan baik elemen‐elemen dari perspektif legal maupun empiris. Namun dalam penelitian ini yang lebih ditekankan pada elemen legal untuk memahami bagaimana negara memperlakukan masyarakat adat. Meskipun demikian, sejumlah hasil‐hasil penelitian empiris juga akan dirujuk untuk memperluas cakupan dan analisa yang digunakan.

Bila dijumlahkan, ada sepuluh komponen dari pendekatan elementer negara hukum yang dibagi dalam tiga kelompok besar oleh Adriaan. Sebagai kajian awal, penelitian ini belum sampai pada analisis yang detail untuk memerika kesepuluh komponen yang ada pada pendekatan ini. Secara ringkas penjabaran terhadap tiga elemen pokok dari pendekatan elementer negara hukum akan dijelaskan pada bagian berikut ini.

Kategori pertama: Elemen prosedural ‐ Pemerintahan dengan hukum (rule by law)

‐ ndakan negara harus tunduk pada hukum Ti ‐ Legalitas formal (hukum harus jelas dan pasti muatannya, mudah diakses dan bisa d iprediksi pokok

perkaranya, serta diterapkan pada semua orang) ‐ Demokrasi (persetujuan menentukan atau mempengaruhi muatan dan tindakan hukum)

Kategori elemen procedural terdiri dari empat pokok antara lain: Pertama, Pemerintahan dengan hukum (rule by law); ‘Pemerintahan dengan hukum’ (rule by law) umumnya dilawankan dengan ‘pemerintahan oleh orang‐orang’ (rule by men), yang mengandung konotasi kesewenang‐wenangan. Sesungguhnya, ‘pemerintahan dengan hukum’ menyiratkan bahwa negara mempunyai hukum sebagai senjata yang ampuh untuk melaksanakan peranannya secara sah tanpa pembatasan yang secara inheren terkandung di dalamnya (Tamanaha, 2004:92). Tindakan negara yang mendayagunakan preman atau organisasi‐organisasi sosial untuk melakukan kekerasan atau mengusir warga dari tanahnya adalah bentuk dari pemerintahan yang tidak dilaksanakan dengan hukum sebagai instrumen.

Kedua, Tindakan negara harus tunduk pada hukum. Persyaratan tentang tiap tindakan negara memiliki landasan hukum dapat tak bermakna jika landasan hukum ini

kurang spesifik. Tindakan negara harus berdasarkan dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Kekuasaan diskresi (discretionary power) atau ‘freies ermessen’ dalam bahasa Jerman perlu diperkecil agar tidak terjadi penyelewengan hukum. Freies ermessen melekat pada lingkup pemerintahan yang secara leluasa menentukan kebijakannya tanpa harus mempertanggungjawabkannya secara hukum. Sama halnya dengan isu ketertundukan pada hukum, masalah ini telah diselesaikan oleh ahli hukum dengan persyaratan kualitas hukum yang inheren dalam elemen berikutnya di kategori ini, serta konsep hukum administrasi sebagai prinsip pemerintahan yang baik.

Ketiga, Legalitas formal (hukum harus jelas dan pasti muatannya, mudah diakses dan bisa diprediksi pokok perkaranya, serta diterapkan pada semua orang). Hukum harus

mengikuti persyaratan tertentu jika ingin efektif dalam membatasi penyelenggaraan mengikuti persyaratan tertentu jika ingin efektif dalam membatasi penyelenggaraan

Keempat, Demokrasi (persetujuan menentukan atau mempengaruhi muatan dan tindakan hukum). Demokrasi dan negara hukum secara dekat terhubung satu sama lain –

misalnya, dalam banyak negara adalah suatu hal yang umum untuk berbicara mengenai ‘negara hukum yang demokratis’ dan bukan mengenai negara hukum saja. Demokrasi dalam hal ini berarti memperhatikan pembentukan hukum dan pembuatan keputusan oleh pemerintah pada tingkat lokal dan pengaruh yang dapat dimiliki oleh warga negara terhadap hukum‐hukum yang secara langsung dapat mempengaruhi mereka. Suatu contoh tentang penggunaan konsep itu adalah prosedur‐prosedur untuk berpartisipasi dalam perancangan suatu rencana tata ruang atau prinsip bahwa seorang warga negara akan didengar sebelum keputusan hukum yang akan mempengaruhinya diambil oleh pemerintah atau ketersediaan aturan hukum yang mengatur bahwa tindakan negara harus memperhatikan, bahkan baru dapat dilaksanakan berdasarkan persetujuan dari kelompok rentan yang terkena dampak dari pembangunan.

Kategori kedua: Elemen­elemen substantif ‐ Subordinasi semua hukum dan interpretasinya terh adap prinsip‐prinsip fundamental dari keadilan

‐ Perlindungan hak asasi dan k ebebasan perorangan ‐ Pemajuan hak asasi sosial ‐ Perlindungan hak kelompok

Elemen substantif terdiri dari empat pokok antara lain: Pertama, Subordinasi semua hukum dan interpretasinya terhadap prinsip­prinsip fundamental dari keadilan. Elemen

paling ‘relatif’ dari elemen‐elemen tersebut terdiri dari prinsip‐prinsip keadilan, moralitas, dan proses peradilan yang baik (due process). Prinsip‐prinsip tersebut beragam dari satu tempat ke tempat lainnya dan dalam kurun waktu tertentu sehingga memungkinkan adanya interpretasi secara kontekstual. Dapat juga ditambahkan bahwa elemen ini menjadi sangat penting bagi legitimasi sistem hukum di hadapan warga negara. Bagaimanapun baiknya elemen‐elemen prosedural telah diikuti, elemen‐elemen tersebut tidak dapat menjamin hasil penerapan hukum secara substantif. Dan apabila banyak yang menganggap hasil hukum sebagai ketidakadilan, maka keseluruhan sistem tersebut bisa jadi dalam b ahaya.

Kedua, Perlindungan hak asasi dan kebebasan perorangan. Dalam definisinya tentang negara hukum banyak pihak memasukkan hak asasi manusia. Berkembangnya

literatur antropologi tentang hak asasi manusia mengungkapkan pentingnya untuk meletakkan hak asasi manusia dalam konteks ketika menggunakannya sebagai batasan‐ batasan terukur untuk perilaku negara dan argumen ini dapat secara sebanding diterapkan untuk penggunaan hak asasi manusia dalam kerangka negara hukum. Adriaan menyebutkan bahwa ideologi neoliberal yang mendasari sebagian besar dari kegiatan‐kegiatan organisasi seperti Bank Dunia cenderung mengikuti definisi yang sangat terbatas tentang negara hukum, yaitu yang menekankan pada hak atas kepemilikan, kebebasan untuk berkontrak dan mekanisme‐mekanisme hukum untuk menegakkan hak‐hak tersebut.

Ketiga, Pemajuan hak­hak asasi sosial. Sementara hak asasi manusia dapat ditemukan dalam definisi‐definisi negara hukum yang terkini, tidak demikian halnya dengan

yang disebut sebagai hak‐hak asasi ‘sosial’. Hal ini tidak mengejutkan, karena hak‐hak sosial tersebut tidak secara langsung berhubungan dengan pencegahan penyalahgunaan kekuasaan dengan cara yang sama sebagaimana elemen‐elemen yang telah dibahas sebelumnya: hak‐hak sosial ini menimbulkan kewajiban negara secara lebih jauh untuk menggunakan kekuasaannya bagi kepentingan warga negaranya, yang memberikan hak atas makanan, perlindungan, pendidikan, dan sebagainya. Apakah kebutuhan‐kebutuhan tersebut harus dirumuskan dalam bentuk hak, adalah suatu pertanyaan yang sering diperdebatkan.

Keempat, Perlindungan terhadap hak kelompok. Argumen yang menentang tercakupnya hak‐hak asasi sosial dalam suatu definisi negara hukum terdapat lebih kuat

terhadap hak kelompok. Tidak banyak yang mendefinisikan negara hukum memasukkan hak kelompok ke dalam konsep mereka, karena hak kelompok kontroversial untuk dikualifikasikan sebagai hak asasi manusia. Alasan paling meyakinkan untuk memasukkan hak kelompok ke dalam konsep negara hukum adalah bahwa hak‐hak tersebut dapat menjadi senjata yang ampuh dalam melawan pelanggaran negara atas hak‐hak warga negara atau pelanggaran oleh warga negara lainnya, yang biasanya terjadi dalam bentuk perusahaan‐perusahaan besar. Ketidakadilan yang dilakukan dengan cara tersebut terhadap masyarakat asli atau kelompok lainnya memberikan alasan kuat untuk memperhatikan hak kelompok dalam usaha untuk mewujudkan fungsi‐fungsi yang diusahakan oleh negara hukum.

Kategori ketiga: Mekanisme kontrol (lembaga­lembag a pengawal negara hukum) ‐ embaga peradilan yang independen (t L erk adang diperluas menjadi trias politica)

‐ Lembaga‐lembaga lain yang memiliki tanggung jawab dalam menjaga dan melindungi elemen‐elemen

negara hukum

Elemen mekanisme kontrol terdiri dari dua pokok, yaitu: Pertama, Lembaga peradilan yang independen (terkadang diperluas menjadi trias politica). Independensi peradilan pada umumnya dikenal sebagai elemen formal dari negara hukum, namun berdasarkan hakikat kelembagaannya, Bedner menjadikannya lebih cocok untuk dibicarakan di bawah kategori yang terpisah. Dapat juga ditambahkan bahwa peradilan tidak hanya berurusan dengan penjagaan dan perlindungan elemen‐elemen formal dalam negara hukum. Peradilan tidak hanya membatasi dirinya dalam mengendalikan apakah pemerintah telah mempertimbangkan elemen‐elemen formal dari negara hukum. Lebih jauh lagi, tidak seperti elemen‐elemen formal dan substantif yang telah dibahas sebelumnya, peradilan adalah seorang aktor, yang memiliki tugas untuk menjamin pemerintah dan warga negaranya mematuhi batasan‐batasan yang ditentukan untuk menjalankan kekuasaannya. Dengan demikian, masuk akal untuk menempatkannya dalam kategori ‘aktor’ yang terpisah dan yang terdiri dari mekanisme‐mekanisme kontrol.

Kedua , Lembaga­lembaga pengawal negara hukum lainnya. Contoh yang baik tentang hal ini adalah lembaga‐lembaga nasional untuk hak asasi manusia dan Ombudsman,

yang telah berhasil memasuki banyak sistem, namun banyak juga institusi lain yang mengawasi tindakan‐tindakan negara. Alasan untuk memasukkan lembaga‐lembaga yang telah berhasil memasuki banyak sistem, namun banyak juga institusi lain yang mengawasi tindakan‐tindakan negara. Alasan untuk memasukkan lembaga‐lembaga

Aspek menarik lainnya dari lembaga‐lembaga tersebut adalah bahwa terkadang mereka diperkenalkan untuk menggantikan lembaga peradilan yang tidak berfungsi. Meskipun tidak ada keraguan bahwa suatu lembaga peradilan yang independen tetap merupakan inti dalam mengontrol eksekutif, pada beberapa situasi dan ranah peran mereka telah diambil alih sebagian setidaknya oleh Ombudsman, Komite Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dan sebagainya, – baik sebagai langkah sementara atau sebagai langkah permanen.