Tanggapan pemerintah Indonesia atas skema REDD

II. Tanggapan pemerintah Indonesia atas skema REDD

Di tengah belum pasti terlaksananya skema REDD+, respon pemerintah Indonesia terhadap skema ini yang bisa dikatakan sangat tanggap ini sebenarnya cukup mengejutkan. Respon itu tidak hanya dalam bentuk pernyataan, tetapi juga sudah terlihat di lapangan, terutama dalam usaha pengintegrasiannya ke dalam kebijakan sehari‐hari pemerintah. Pengintegrasian ini bukanlah pekerjaan yang mudah, murah dan cepat, tetapi menjadi hal fundamental yang harus dilakukan oleh pemerintah. Karena itu di lapangan terjadi berbagai percobaan, inovasi, penyesuaian, yang kadang tidak sesuai dengan diharapkan. Hasil riset Muhajir (2010) memperlihatkan pola pengintegrasian itu dilakukan dengan cara: menciptakan kebijakan baru tentang penanggulangan dampak perubahan iklim/REDD, Di tengah belum pasti terlaksananya skema REDD+, respon pemerintah Indonesia terhadap skema ini yang bisa dikatakan sangat tanggap ini sebenarnya cukup mengejutkan. Respon itu tidak hanya dalam bentuk pernyataan, tetapi juga sudah terlihat di lapangan, terutama dalam usaha pengintegrasiannya ke dalam kebijakan sehari‐hari pemerintah. Pengintegrasian ini bukanlah pekerjaan yang mudah, murah dan cepat, tetapi menjadi hal fundamental yang harus dilakukan oleh pemerintah. Karena itu di lapangan terjadi berbagai percobaan, inovasi, penyesuaian, yang kadang tidak sesuai dengan diharapkan. Hasil riset Muhajir (2010) memperlihatkan pola pengintegrasian itu dilakukan dengan cara: menciptakan kebijakan baru tentang penanggulangan dampak perubahan iklim/REDD,

Selepas COP 13 tahun 2007 di Bali, Pemerintah Indonesia seperti berlari kencang dan ingin yang terdepan dalam menjalankan usulan skema REDD tersebut. Bahkan dalam usaha untuk meyakinkan negara‐negara lain soal komitmen Indonesia untuk lebih terlibat dalam usaha penanggulangan dampak perubahan iklim, Pemerintah Indonesia secara sukarela hendak menurunkan emisinya sebesar 26% dengan usaha sendiri atau 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2020 dengan referensi emisi pada tahun 2005. Komitmen ini diucapkan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada saat menghadiri pertemuan G20 September 2009 di Pittsburg Amerika Serikat, dua bulan sebelum dilakukan COP 15 di Kopenhagen yang salah satu isu besarnya adalah soal kelanjutan skema REDD.

Mengapa komitmen penurunan emisi itu penting dihubungkan dengan skema REDD+? Pertama, dilihat dari emisi. Sektor kehutanan berperan besar dalam proses mencapai penurunan emisi karena sektor kehutanan (dan konversi lahan gambut) merupakan sektor penyumbang terbesar emisi Indonesia. Data tahun 2005 menyebutkan dari 2,8 miliar ton setara CO2 emisi, 2,4 miliar ton‐nya (85%‐nya) berasal dari dua sektor itu. Dari target 26% target itu, lebih dari separuh target penurunan emisi itu berasal dari kontribusi sektor kehutanan. Bisa dikatakan, ketika berbicara soal penurunan emisi di Indonesia sebenarnya lebih banyak merujuk pada skema REDD+ ini. Usaha penurunan emisi lain hampir tidak terdengar kiprahnya dan berada di wilayah “pinggiran” kebijakan pemerintah.

Kedua, dilihat dari sisi perubahan kelembagaan. Sebelum ada pernyataan komitmen ini, REDD dipersepsikan sebagai ‘miliknya” Kementerian Kehutanan yang dalam pelaksanaannya kurang begitu melibatkan instansi pemerintah lain. Kementerian kehutanan juga melihat bahwa kegiatan dalam REDD merupakan pekerjaan yang biasa mereka lakukan sehari‐hari, tanpa harus ada perubahan dan inovasi dalam pekerjaan mereka. REDD hanya berfungsi memberikan penyempurnaan saja pada apa yang mereka lakukan. Kondisi yang tidak sesuai dengan kenyataan ini membuat pelaksanaan REDD di bawah Kementerian Kehutanan ini berjalan pelan (LTS International, Indufor Oy, Ecometrica and Christian Michelsen Institute, 2011).

Komitmen Presiden RI di Pittsburg itu menyaratkan dalam proses penurunan emisi dilakukan secara lintas sektor, termasuk dalam pelaksanaan REDD. Hal ini membuat instansi pemerintah lain diberikan ruang berkiprah lebih luas dalam menyukseskan REDD+. Bappenas menyusun Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap atau ICCSR, Departemen Keuangan membuat Ministry of Finance Green Paper: Economic and Fiscal Policy Strategies for Climate Change Mitigation in Indonesia (Ministry of finance 2009). Di dalam kedua dokumen perencanaan itu tentu saja disinggung komponen penurunan emisi dari sektor kehutanan dan diperlihatkan keterkaitannya dengan sektor‐sektor lainnya. Kebijakan yang lebih umum sebagai basis untuk menurunkan emisi juga direncanakan secara lintas sektor,

misalnya pada penginventarisasian gas rumah kaca 29 ; dan tampak nyata dalam rencana aksi

pengura ngan emisi gas rumah kaca. 3 0

Usaha pengintegrasian ke dalam kebijakan pembangunan dilakukan dengan memberikan warna “perubahan iklim” atau “REDD” ke dalam kebijakan perencanaan pembangunan. Hal itu sangat terlihat dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) tahun 2010‐2014. Ancaman dampak perubahan iklim dilihat secara Usaha pengintegrasian ke dalam kebijakan pembangunan dilakukan dengan memberikan warna “perubahan iklim” atau “REDD” ke dalam kebijakan perencanaan pembangunan. Hal itu sangat terlihat dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) tahun 2010‐2014. Ancaman dampak perubahan iklim dilihat secara

Dari sisi kelembagaan, Pemerintah Indonesia membentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) pada tahun 2008. 31 Ia merupakan lembaga yang diharapkan menjadi semacam “hub” yang mengorkestrasikan penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan terkait perubahan iklim, termasuk REDD+ di dalamnya. Namun dalam kenyataannya, keterbatasan kewenangan lembaga serta pendanaan, membuat kinerja DNPI tidak terlalu menggembirakan. Alokasi dana dari pemerintah baru dialokasikan pada APBN tahun 2010. Dalam Perpres 46/2008 disebutkan bahwa sumber pembiayaan DNPI, hanya berasal dari APBN dari DIPA KemenLH, tidak ada penyebutan boleh mendapatkan dana dari pihak ketiga yang tidak mengikat.

Begitu juga dalam soal REDD, walaupun diberikan tugas, salah satunya, merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme dan tata cara perdagangan karbon, kiprah DNPI semakin mengecil. Lembaga yang banyak berperan dalam soal REDD ini adalah Kementerian Kehutanan dan Satgas REDD+.

Sebelum kehadiran Satgas REDD+, Kementerian Kehutanan seolah menjadi satu‐satu lembaga otoritatif berbicara soal REDD+ di Indonesia. Pada tahun 2007, Kementerian Kehutanan ini membentuk IFCA atau Indonesia Forest Climate Alliance, yang semua anggotanya berasal donor, LSM internasional dan tenaga teknis asing, tanpa ada perwakilan dari lembaga LSM nasional. IFCA ini menelurkan dokumen pertama strategi REDD di Indonesia. Setelah itu, Kementerian Kehutanan rajin mengeluarkan aturan‐aturan teknis

terkait dengan REDD+ 32 , mengenalkan istilah DA atau Demonstration Activities REDD+ 33 , membentuk berbagai kelompok kerja di internal Kementerian Kehutanan 34 serta terlibat dalam negosisasi di perundingan internasional dan melakukan sosialisasi tentang REDD ke pihak lain.

LoI antara Pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Norwegia pada Mei 2010 yang mendukung pelaksanaan REDD+ di Indonesia kembali merubah konstelasi kelembagaan REDD dan bahkan memberikan dampak yang sangat besar dan mendasar pada perbincangan soal REDD di Indonesia. LoI ini menjanjikan pencairan dana sebesar 1 milyar dollar Amerika Serikat buat Indonesia jika berhasil melaksanakan tahapan yang disepakati. Tahapan itu terbagi dalam tiga: persiapan, transformasi dan kontribusi pada penurunan emisi yang terverifikasi. Dilihat dari output yang harus dikerjakan seturut dengan tahapan dalam L oI itu, Indonesia berada di tahapan ers apan dan transformasi. pi

Agar pelaksanaan tahapan dalam LoI itu bisa berjalan dengan baik, dibentuklah Satgas persiapan pembentukan kelembagaan REDD+ atau disingkat Satgas REDD+. Satgas REDD+ ini sudah menjalani dua masa kerja. Masa kerja pertama Satgas REDD ini

berlangsung dari 20 September 2010 sampai dengan 30 Juni 2011. 35 Sementara masa kerja kedua berlangsung antara 8 September 2011 sampai dengan 31 Desember 2012. 36 Masing‐ berlangsung dari 20 September 2010 sampai dengan 30 Juni 2011. 35 Sementara masa kerja kedua berlangsung antara 8 September 2011 sampai dengan 31 Desember 2012. 36 Masing‐

Tugas Satgas REDD + Keppres 19/2010

Keppres 25/2011

a. Menyiapkan pembentukan keIembagaan REDD+ dan Rencana Aksi Nasional

a. Memastikan penyusunan strategi nasional

REDD+;

Pengurangan Gas Rumah Kaca (RAN‐G RK);

b. Mengkoordinasikan penyusunan strategi

b. Mempersiapkan pendirian lembaga

nasional REDD+;

REDD+;

c. Menyiapkan instrumen dan mekanisme

c. Menyiapkan instrumen dan mekanisme

pendanaan REDD+;

pendanaan;

d. Menyiapkan pembentukan lembaga MR)/

d. Mempersiapkan pembentukan lembaga (measurable, reportable and verifiable, atau MRV (monitorable, reportable and

terukur, terlaporkan dan tei‐verifikasi) verifiable, atau termonitor, terlaporkan dan

REDD+

terverifikasi) REDD+ yang independen dan yang independen dan terpercaya;

terpercaya;

e. Melaksanakan. kegiatan REDD+ di provinsi

e. Menyusun kriteria pemilihan provinsi percontohan pertama dan menyusun kriteria

percontohan dan memastikan persiapan pemilihan provinsi percontohan kedua;

provinsi terpilih; d

f. Melaksanakan pemantauan pelaksanaan

f. Melaksanakan kegiatan lain yang terkait Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011

dengan persiapan implementasi Surat Niat tentang Penundaan Pemberian izin Baru dan

dengan Pemerintah Norwegia. Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer

dan Lahan Gambut.

Selain keistimewaan dapat menerima dan memanfaatkan dana pihak selain APBN asal tidak mengikat atau sah sesuai dengan peraturan perundang‐undangan (sesuatu yang tidak dimiliki oleh DNPI), Satgas REDD+ ini tengah mempersiapkan lahirnya lembaga baru yang akan membentuk dan melaksanakan skema REDD di Indonesia. Dengan demikian, kelembagaan REDD akan terlepas dari kementerian yang ada dan posisinya akan sejajar dengannya kementerian dan lembaga lain.

Kebijakan lain yang penting dilihat sebagai tanggapan pemerintah yang juga didorong oleh LoI dengan Kerajaan Norwegia adalah moratorium pemberian ijin konsesi di kawasan gambut dan huta alam selama dua tahun. 37 Output ini ada dalam tahap transformasi dalam LoI. Instruksi moratorium selama dua tahun ini tentu saja keputusan yang keras dan menimbulkan pro kontra di publik. Bagi kalangan swasta, pelaksanaan moratorium ini mempersempit ruang mereka memperluas pembangunan berbasis lahan. Keberatan juga dikemukakan oleh berbagai kalangan pro lingkungan yang merasa bahwa lingkup moratorium terlalu sempit yang tidak bisa melindungi wilayah‐wilayah penting secara ekologis lainnya serta adanya pengecualian (misalnya tidak berlaku bagi ijin yang sudah berjalan) yang semakin melemahkan tujuan dari moratorium ini. Di sisi lain, banyak pihak juga yang mengkawatirkan terancamnya wilayah‐wilayah di luar kawasan yang Kebijakan lain yang penting dilihat sebagai tanggapan pemerintah yang juga didorong oleh LoI dengan Kerajaan Norwegia adalah moratorium pemberian ijin konsesi di kawasan gambut dan huta alam selama dua tahun. 37 Output ini ada dalam tahap transformasi dalam LoI. Instruksi moratorium selama dua tahun ini tentu saja keputusan yang keras dan menimbulkan pro kontra di publik. Bagi kalangan swasta, pelaksanaan moratorium ini mempersempit ruang mereka memperluas pembangunan berbasis lahan. Keberatan juga dikemukakan oleh berbagai kalangan pro lingkungan yang merasa bahwa lingkup moratorium terlalu sempit yang tidak bisa melindungi wilayah‐wilayah penting secara ekologis lainnya serta adanya pengecualian (misalnya tidak berlaku bagi ijin yang sudah berjalan) yang semakin melemahkan tujuan dari moratorium ini. Di sisi lain, banyak pihak juga yang mengkawatirkan terancamnya wilayah‐wilayah di luar kawasan yang

Tanggapan kebijakan atas skema mitigasi perubahan iklim/REDD juga terjadi di daerah. Beberapa provinsi bahkan beraksi seiring dengan naiknya isu REDD di pemerintah pusat, terutama provinsi‐provinsi yang masuk kriteria dan sudah ditunjuk sebagai provinsi pilot REDD, antara lain, Kalimantan Timur atau Kalimantan Tengah. Kalimantan Timur, walau belum menyusun peraturan terkait langsung dengan perubahan iklim atau REDD,

tetapi sudah membentuk Kelompok Kerja REDD serta Dewan Daerah Perubahan Iklim. 38 Kaltim juga sudah menyusun “Program Kaltim Hijau”, yang berisi prioritas penurunan emisi dan prioritas pembangunan rendah karbon (DNPI, Pemprov Kaltim, tanpa tahun). Visi kaltim hijau ini sedang dicoba dicampurkan ke dalam Perda RTRW Kalimantan Timur yang mempunyai visi kaltim sebagai pusat keunggulan agroindustri dan energi.

Selain itu, para Pemerintah daerah, terutama daerah yang memiliki hutan luas, tidak tinggal diam, menunggu perkembangan di pusat. 5 provinsi di Indonesia (Aceh, Kalbar, Kalteng, Kaltim serta Papua) bergabung dengan berbagai provinsi atau negara bagian dari belahan dunia lain, dalam wadah bernama GCF atau Governor Climate Forest. Mereka sedang mengusahakan skema REDD lewat penurunan emisi dengan referense provinsi (“sub‐national”; dimungkin pelaksanaannya oleh Copenhagen Accord). Group ini cukup solid dalam menggalang dukungan pendanaan dan membuka diri pada berbagai investor yang mau berinvestasi hijau di daerah mereka.

Respon pemerintah kabupaten/kota atas isu perubahan iklim/REDD juga tampak baik. Di Provinsi Kalimantan Timur, sudah ada dua kabupaten yang dipersiapkan untuk menjadi pilot DA‐REDD: Berau dan Malinau. Berau ini bahkan sudah memiliki Pokja REDD – dibentuk Juni 2008 – serta sudah memiliki rencana proyek Program Karbon Hutan Berau (PKHB) dan Program FORCLIME. Kedua program ini menjalin kerja sama dengan donor atau lembaga asing. Bahkan hampir semua kegiatan Pokja REDD Berau dibiayai oleh lembaga konservasi besar dari Amerika Serikat. Kuatnya pendanaan dari Lembaga konservasi ini, membuat Pokja REDD tergantung. Ketika lembaga konservasi ini menghadapi krisis keuang an di negaranya, kerja Pokja REDD p n melambat. u

Kabupaten Berau mengandalkan PKHB sebagai andalan dalam proyek REDD. Dokumen ini berisi informasi soal hutan dan karbon, arahan ke depan pembangunan Berau agar bisa menunjang keberhasilan program ini. Agar PKHB ini bisa berjalan, sudah dibentuk Dewan Pengarah Program Karbon Hutan yang dipimpin oleh Wakil Bupati Berau. Anggota dalam Dewan Pengarah ini tidak hanya berasal dari kalangan kabupaten Berau, tetapi juga berasal dari Provinsi dan bahkan pusat. Semua kegiatan pertemuan – yang dipastikan mahal ini – masih mengandalkan bantuan dana dari lembaga konservasi yang juga membiayai P okja REDD.