Tanggung gugat negara tengah kepung dana dan proyek asing di an

III. Tanggung gugat negara tengah kepung dana dan proyek asing di an

Pola berupa ketiadaan dana dari negara yang kemudian diisi oleh “pihak ketiga” dengan embel‐embel asal ‘sah sesuai dengan peraturan perundang‐undangan yang berlaku” atau “tidak mengikat” ditemukan hampir di semua pengaturan kelembagaan REDD. Hampir juga Pola berupa ketiadaan dana dari negara yang kemudian diisi oleh “pihak ketiga” dengan embel‐embel asal ‘sah sesuai dengan peraturan perundang‐undangan yang berlaku” atau “tidak mengikat” ditemukan hampir di semua pengaturan kelembagaan REDD. Hampir juga

Kondisi di atas tidak hanya tampak pada pendanaan kegiatan sebuah lembaga terkait langsung dengan perubahan iklim/REDD, tetapi juga sudah terjadi pada awal pada saat penyusunan rencana kebijakan. Dokumen Program Kaltim Hijau disusun oleh lembaga‐ lembaga konservasi, konsultan dan akademisi. Dokumen ini kemudian diterima dan dijadikan dokumen resmi pemerintah yang diharapkan nantinya menjadi basis bagi lahirnya berbagai kebijakan lainnya. Bahkan IFCA, pada awalnya hanya diisi oleh Donor, LSM Internasional dan tenaga ahli asing tanpa ada kehadiran perwakilan LSM lokal. Lembaga ini berhasil membuat strategy REDD+ yang dalam banyak hal membuka jalan bagi lahirnya kebijakan atau peraturan dan kelembagaan setelahnya. Contoh yang lain, Pokja REDD di Kabupaten Berau hampir tidak mendapatkan pendanaan dari Pemerintah, biarpun dipimpin dan diisi oleh banyak staf pemerintah. Semua pendanaan kegiatannya dibiayai oleh LSM Konservasi asing. Padahal hasil dari Pokja ini cukup penting dalam perubahan arah pembangunan di Kabupaten Berau.

Keadaan ini bisa dianggap wajar ketika pada awal‐awal program perubahan iklim/REDD ini seperti mengintervensi di tengah jalannya rencana pembangunan. Kendala dari pengaturan keuangan negara bisa membuat lembaga yang dibentuk tidak disediakan alokasi anggarannya, sehingga mengandalkan alokasi anggaran milik lembaga negara lain atau bantuan dari donor. Tapi menjadi pertanyaan penting ketika Pemerintah Indonesia sendiri sudah memeluk erat kebijakan ini dan memasukkannnya ke dalam kebijakan pembangunannya – misalnya pasca 2010 – namun masalah pengalokasian dana dari APBN atau APBD tidak kunjung datang atau seret turun. Kondisi ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara gegap gempita respon pada isu dan kemauan membiayai kegiatannya.

Sejatinya, tulisan ini tidak akan mengarah pada persoalan kehadiran bantuan pihak asing itu pada dirinya sendiri berdampak buruk pada kegiatan penanggulangan dampak perubahan iklim atau pelaksanaan REDD. Apalagi mengarah pada xenophobia. Bantuan asing tentu sangat membantu di tengah ketiadaan dana (walaupun terdengar klise) di pemerintahan Indonesia. Bantuan itu (baik hutang maupun hibah) memperlihatkan solidaritas dan perhatian masyarakat di negara lain atas kondisi masyarakat di negara berbeda. Yang menjadi persoalan adalah ketika bantuan itu, keterlibatan dalam pembuatan kebijakan itu memperngaruhi kebijakan publik yang berdampak besar pada keberlangsungan penghidupan masyarakat tanpa masyarakat itu sendiri terlibat dalam proses pembentukannya. Apalagi jika proses pembentukan kebijakan itu dilakukan secara tertutup, elitis (dengan alasan isu perubahan iklim baru dan kompleks), dan menghasilkan kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat terkena dampak.

Penulis ingin melaporkan dua hal yang bisa dikatakan paradoks: pertama, respon pemerintah untuk mengantisipasi isu perubahan iklim/REDD (dalam bentuk lahirnya kebijakan baru, peraturan dan lembaga baru, penambahan tupoksi, penyesuaian kebijakan, alokasi anggaran, dst) tersebut sangat tanggap; dan kedua, terlihat minimnya suara soal perubahan iklim/REDD pada tingkat masyarakat biasa yang terkena dampak langsung, apalagi masyarakat lokal/adat yang termarginalkan. Suara ini lebih banyak dibunyikan dari tingkat “mediator” (LSM, pengamat, intelektual). Masyarakat terkena dampak jarang diberi ruang memberikan opininya.

Pertanyaan yang mengemuka adalah bagaimana kebijakan pemerintah terkait perubahan iklim dan atau REDD dapat dipertanggung gugatkan di tengah‐tengah suasana sedikitnya, kalau tidak mau dikatakan tidak ada, (real) konstituen (baca: masyarakat) yang menyuarakan dua isu tersebut. Apakah kebijakan yang dikeluarkan itu memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat terdampak atau melindungi dan menghormati hak‐hak (asasi) masyarakat? Pertanyaan‐pertanyaan itu bisa saja hadir dari konteks di luar isu perubahan iklim atau REDD, dan mungkin ini pertanyaan klasik dalam khazanah kebijakan publik di Indonesia. Tentang tidak adanya ruang partsipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan sudah banyak yang membahasnya. Tapi mengaitkan hal itu dengan tata kelola lingkungan hidup (“environmental governance”) di Indonesia masih cukup relevan.

Untuk kebutuhan memberikan jawaban atas pertanyaan itu, penulis akan paparkan terlebih dahulu hubungan antara penyuaraan ‘aspirasi” atau pelibatan masyarakat dengan tanggung gugat negara. Kemudian, REDD dengan pilot REDDnya akan diajukan sebagai salah satu contoh untuk melihat hubungan antara respon negara atas isu, pihak yang terlibat, yang mempengaruhi kebijakan yang lahir dan dampaknya bagi masyarakat terdampak k egiatan/proyek.

IV. Menghadapkan muka emeri tah k warga p n e ne gara 3 9

Untuk melihat hubungan antara aktor negara dengan aktor non‐negara dala proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan perlu diperhatikan tiga bidang: Voices/Suara, Responsiveness/Ketanggapan, dan Accountability/Tanggung Gugat. Ketiga hal ini berkaitan

d engan berbagai sisi‐sisi yang akan dijelaskan satu persatu seturut dengan bidang.

CHANNEL Insentif/disi nsentif

VOICES RESPONSIVENESS

ACCOUNTABILITY

Awareness Instrument

Transparancy Control ‐ ability

Demand

• Institutional Reform Articulation • Policy making

• Budget allocation

Suara . Komponen ini berada di wilayah konstituen atau berada di wilayah non‐ negara. Aktor yang dimaksud di sini adalah dapat masyarakat terkena dampak, kalangan

mediator, baik asing maupun domestik, kalangan swasta. Ketiga pihak ini saling berkompetisi atau berkolaborasi untuk menyuarakan kepentingannya ke pihak negara. Dominasi kuasa pengetahuan terjadi di area ini dengan membisukan pihak yang jauh dari sumbu diskursus pengetahuan. Pada titik itu melahirkan konsep “perwalian”, dimana pihak yang (dipaksa) bisu sering diwakilkan apa yang ingin diomongkannya oleh pihak mediator (biasanya kalangan LSM atau akademisi atau kalangan swasta). Kalangan mediator ini bisa bersuara karena isi pesannya dapat disesuaikan dengan diskursus yang sedang berkembang.

Dalam isu lingkungan hidup, masyarakat diposisikan kadang sebagai perusak atau malah sebagai penjaga lingkungan. Posisi mana yang akan disuarakan digantungkan pada diskursus apa dan aktor apa yang akan dihadapinya. Dari dua posisi itu melahirkan adanya apa yang Foucault bilang sebagai ‘governmentality”: keinginan untuk mengatur agar sesuai dengan kuasa pengetahuan yang dominan (Foucault 1991). Posisinya sebagai perusak membutuhkan intervensi peningkatan kapasitas agar sama dengan pengetahuan dominan itu atau malah penyingkiran. Posisi sebagai penjaga lingkungan akan melahirkan kuasa untuk mempertahankan posisi masyarakat dalam kondisi demikian. Kedua pandangan atas dua posisi ini tidak lagi memperhatikan problem sehari‐hari masyarakat.

Komponen Suara ini digantungkan pada tiga hal: kesadaran, permintaan, serta penyuaraan. Ketiga hal tersebut berkaitan erat terutama soal Kesadaran serta Penyuaraan. Pada ke tiga titik itu lembaga‐lemb ga mediasi mel ukan anyak intervensi. a ak b

Kesadaran merupakan bahan bakar yang mendorong masyarakat untuk menyuarakan kepentingannya atau permintaannya. Pandangan arus utamanya adalah kesadaran masyarakat dalam soal perubahan iklim/REDD atau dalam soal yang lebih umum, lingkungan hidup, bisa dikatakan masih dalam tataran minimal. Sehingga penyuaran masyarakat langsung dalam soal perubahan iklim juga minimal. Tanpa membaca adanya pertarungan kuasa pengetahuan padangan itu muncul. Mungkin saja masyarakat selama ini sudah menyuarakan kepentingan/permintaannya, hanya saja karena “bahasa’ yang dipakai tidak sama dengan “bahasa” yang lazim dipakai di perundingan UNFCCC atau di lembaga‐ lembaga konservasi internasional, maka masyarakat dianggap tidak mengetahui.

Articulation atau penyuaraan merupakan aspek lain yang penting dalam soal Suara ini. Ia berhubungan erat dengan soal Permintaan apa yang akan disuarakan. Soal artikulasi ini berhubungan dengan apa dan kepada siapa Permintaan itu hendak disuarakan oleh masyarakat. Dalam hubungannya dengan negara, kerap kali masalah artikulasi ini menjadi batu sandungan penting. Bisa jadi masyarakat telah sadar dan telah menyuarakan kepentingannya dengan berbagai cara. Namun, artikulasi yang dilakukan oleh masyarakat ternyata direspon oleh unit dalam pemerintahan yang sebenarnya bukan unit yang diinginkan oleh masyarakat untuk meresponnya atau artikulasi diberikan kepada unit pemerintahan yang salah.

Responsiveness/tanggapan . Ini merupakan bagian tanggapan pemerintah dalam menerima Suara dari masyarakat. Pemerintah tidak dibayangkan sebagai satu kesatuan

utuh, namun berisi berbagai fragmen yang kadang saling bersinggungan dan masing‐masing kadang otonom. Pemerintah melakukan respon berdasarkan instrument yang dimilikinya dan biasanya dilakukan dalam bentuk institutional reform (membuat/menyederhanakan utuh, namun berisi berbagai fragmen yang kadang saling bersinggungan dan masing‐masing kadang otonom. Pemerintah melakukan respon berdasarkan instrument yang dimilikinya dan biasanya dilakukan dalam bentuk institutional reform (membuat/menyederhanakan

Dalam dunia ideal, respon pemerintah merupakan tanggapan dari suara yang diinginkan oleh masyarakat. Ada koherensi antara apa yang diinginkan masyarakat dengan apa yang dijawab oleh pemerintah. Namun kenyataannya, respon itu tidak sejalan dengan yang diinginkan, bahkan bertentangan. Di sini terlihat otonominya pemerintah, sehingga respon apa yang dilakukan oleh pemerintah menjadi penting untuk dilihat. Karena dapat memprlihatkan tanggung gugatnya pemerintah atas lahirnya keputusan/kebijakan yang tidak berdasar pada Suara masyarakat.

Selain penting untuk memperhatikan respon apa yang dilakukan oleh pemerintah, bagaimana respon itu dilakukan juga penting dilihat. Dalam hal ini adalah soal unit (‐unit) mana di pemerintah yang melakukan respon, bagaimana unit antar pemerintah itu saling berkoordinasi serta apakah respon itu memadai. Untuk mengukur sejauh mana respon itu memadai dapat dilakukan perbandingan dengan standar‐standar di tingkat internasional, respon yang dilakukan oleh negara‐negara lain atau diukur dari masalah domestik yang seharusnya direspon.

Dalam hubungannya dengan Suara, harusnya ada channel/space yang dibuat sebagai jembatannya. Channel ini menjadi arena pertemuan antara Voice yang di bawa oleh masyarakat dan Respon yang dilakukan oleh pemerintah. Bisa berupa kelembagaan formal maupun informal. Institusi formal misalnya timbul dalam bentuk musrenbang atau saluran‐ saluran resmi yang dibuat oleh pemerintah/Negara untuk mendengarkan dan merespon keinginan masyarakat (pemilu, Pilkadal, Hearing di lembaga perwakilan, dll). Channel Informal lahir dalam banyak ragam, baik dengan mempergunakan pendekatan kultural maupun lobi di luar ekanisme resmi. m

Channel ini penting dilihat dalam isu perubahan iklim/REDD karena kerap kali masyarakat diberikan hak untuk menyuarakan kepentingannya namun alpa memberikan salurannya. Dalam peraturan teknis soal REDD atau jasa karbon ada kewajiban penggagas untuk memberitahukan kegiatannya kepada masyarakat dan ada hak yang dimiliki masyarakat untuk mengetahui, tapi pertanyaannya pada saat apa dan kapan hal itu dilakukan? Apa yang terjadi jika masyarakat tidak sepakat, apakah disediakan mekanismenya? Seiring dengan menguatnya gagasan perluasan keterlibatan masyarakat berkontribusi pada lahirnya banyak pengatuan soal peran serta masyarakat. Tetapi kebanyakan hanya memberikan hak (mengadu, menginformasikan/mendapat informasi, dst) tetapi sangat sedikit yang memberikan Channel agar hak itu dapat dimaksimalkan penggu naan ya. n

Apa sebenarnya yang menggerakkan respon pemerintah? Mesin itu adalah insentif/disinsentif. Insentif ini tidak harus dibaca sebagai bantuan keuangan, tapi juga bentuk‐bentuk lainnya: bantuan teknis, peningkatan image, dst. Dalam persoalan perubahan iklim dan REDD, ketika Suara hampir tidak ada sementara respon pemerintah demikian tanggap, maka pertanyaannya adalah apa yang menggerakkan respon itu? Motif mungkin terlalu jauh untuk dijawab, tapi indikasi tawaran insentif yang menggerakkan respon pemerin tah perlu dilihat dengan cermat.

Insentif ini layak untuk diperhatikan untuk, misalnya, melihat mengapa pemerintah tetap bergerak dengan suatu kebijakan, sementara dukungan Voice dari masyarakat hampir nihil? Jangan‐jangan pemerintah bergerak karena insentif itu berada atau berasal dari luar Insentif ini layak untuk diperhatikan untuk, misalnya, melihat mengapa pemerintah tetap bergerak dengan suatu kebijakan, sementara dukungan Voice dari masyarakat hampir nihil? Jangan‐jangan pemerintah bergerak karena insentif itu berada atau berasal dari luar

Tanggung Gugat . Pertanyaan tentang tanggung gugat sebenarnya tidak akan hadir ketika perhatian hanya ditujukan kepada Voice yang disuarakan masyarakat atau respon

yang dikerjakan oleh pemerintah. Respon pemerintah boleh tanggap atas suatu isu dan mungkin perlu dilakukan. Tapi ia kehilangan legitimasi/akuntabiltasnya ketika tidak ada Suara yang mendukungnya. Tanggung gugat muncul ketika suara dan respon diperbandingkan.

Bagaimanapun baiknya tanggapan yang dilakukan oleh pemerintah tetapi jika hal itu tidak menyentuh apa yang diinginkan oleh masyarakat maka tanggapan itu bisa dipertanyakan ke‐akuntabilitas‐annya. Tidak adanya transparansi serta kontrol dari masyarakat sebagai pemilik sah kekuasaan negara akan membuat sebuah kebijakan tidak akuntabel.

Akuntabilitas menjadi poin penting ketika ternyata kebijakan pemerintah didorong oleh sebuah insentif yang berasal dari luar negeri dan tidak berasal dari dalam negeri. Nilai‐ nilai akuntabilitas akan menjaga kebijakan itu tetap transparan, dapat dikontrol oleh serta mengikutsertakan konstituennya (dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring), walaupun

pemerin tah, misalnya, tidak kan men a dapatka n ins entif ya ng signifikan dari konstitu enn ya. Namun, kondisinya menjadi rawan jika negara c.q. pemerintah seolah otonom

terhadap konstituennya yang bisa dibaca dari hampir minimnya konstituen yang menyuarakan pentingnya antisipasi perubahan iklim dan atau REDD dalam kehidupan mereka sehari‐hari dan pada saat yang sama betapa tanggapnya Negara c.q. pemerintah dalam merespon dua isu itu. Kondisi ini memungkinkan hal yang buruk terjadi. Ketika kebijakan yang lahir hanya memberikan ruang lebih lebar pada kalangan swasta besar, lembaga konservasi internasional atau nasional tanpa memberikan ruang lebih bagi masyarakat terkena dampak maka masyarakat akan menjadi bulan‐bulanan kebijakan itu. Ketika dia dianggap sebagai perusak, maka ia akan diberikan pelatihan untuk hidup yang memungkinkannya tidak merusak wilayah yang dilindungi. Ketika dia dianggap sebagai penjaga lingkungan pun, tetap akan ada dilakukan penyesuaian pada pola hidupnya agar sesuai dengan diskursus konservasi yang ada di instansi pemerintah atau lembaga konserv si tersebut. a