Peran Ingatan (Wacana) Sejarah dalam Impunitas

B. Peran Ingatan (Wacana) Sejarah dalam Impunitas

Pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi, seperti KKP HAM atau CAVR, yang memiliki mandat untuk penyelesaian pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan bekas rezim (militer) Orde Baru ternyata bukan menjadi penjamin untuk segera menuntaskan berbagai efek negatif yang terjadi pada masa lalu. Kebenaran yang bisa diungkap hanyalah titik awal untuk proses panjang perjuangan untuk mencapai keadilan. Itu pun jika konsep keadilan itu masih ada dalam struktur bahasa hukum di Indonesia. Rachel Sieder mengungkapkan mengapa kebenaran untuk mengungkap tindakan jahat dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim otoriter‐militeristik seringkali tidak diikuti oleh keadilan. Sieder menuliskan demikian:

“Governmental and nongovernmental perspectives on how to address the problem of past violations of human rights have often conflicted: while most transitional regimes have broadly endorsed the view that some kind of truth telling constitutes a valuable contribution to national reconciliation, they have rejected putting those responsible for human rights violations on trial, claiming that this would prejudice the democratic transition. By contrast, many human rights activists have argued that while uncovering the truth constitutes an important form of sanction in itself, alone it is insufficient. From this latter perspective, investigations without at least some measure of legal accountability and punishment of those responsible in effect means the institutionalization of impunity, with detrimental consequences for strengthening the rule of law.” (dalam Biggar (Ed.), 2001: 184).

Dari penjelasan Sieder dimengerti bahwa betapa sulitnya data, bukti dan fakta yang sudah terungkap baik lewat laporan berbagai komisi, seperti KKP HAM dan CAVR, langsung menjawab keadilan formal‐legal sebagai bentuk penegakan hukum. Laporan akhir berbagai Komisi tersebut sebenarnya sudah memberikan gambaran tentang siapa sebenarnya pelaku sebagai pelanggar HAM dan kejahatan masa lalu di Timor‐Leste, namun hukum(an) tidak pernah berhasil menyeret mereka untuk bertanggungjawab atas perbuatan mereka. Bahkan saat laporan Chega! akan disebarkan ke hadapan publik, Juwono Sudarsono yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan Indonesia menuduh CAVR telah mengisahkan kembali cerita‐cerita lama yang telah digunakan pada masa lalu yang tujuannya adalah menjelek‐jelekkan Indonesia. (CAVR, Chega!, Buku Panduan, 2010: 10)

Ungkapan Juwono Sudarsono menggambarkan secara tepat sikap para pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan di Timor‐Leste. Tidak ada penyesalan, justru sikapnya adalah sebaliknya, mempersalahkan pihak‐pihak yang berpihak pada ko rban. Sieder mengatakan sikap demikian sebagai “legacy of vi olence.”

Senada dengan hal itu, Judith Herman menyatakan demikian: “Untuk menghindari pertanggungjawaban atas kejahatannya, pelaku

melakukan apa saja yang bisa dilakukan untuk melupakan. Kerahasiaan dan kebungkaman adalah garis pertahanan pertama pelaku. Kalau kerahasiaan gagal, pelaku menyerang nama baik korbannya. Kalau tidak bisa membungkamnya, ia berusaha memastikan bahwa tidak ada orang yang mendengarkan suara korbannya. Untuk tujuan ini, ia mengumpulkan banyak argumen, dari pengingkaran terang­terangan sampai rasionalisasi yang paling canggih dan indah[...]” (Nevins, 2008: 182).

Kembali ke masa lalu yang dibebani oleh persoalan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan kolosal menjadi sangat problematis karena selalu diwarnai oleh pertarungan akan ingatan. Pihak penguasa atau siapa saja yang mewakili kekuasaan negara akan terus berupaya untuk melupakan atau membungkam segala kejahatan dan kekerasan massal yang sudah dilakukan pada masa lalu. Sedangkan pihak korban dan orang‐orang yang peduli kepada korban akan terus mengoyak kebungkaman itu. Tindakan ini merupakan bentuk tuntutan atas pertanggungjawaban para penguasa dan pelaku atas tindakannya yang sudah menghancurkan hak‐hak hidup para korban. Dalam pertarungan wacana akan ingatan masa lalu tersebut, pelaku dan korban selalu bertahan pada perspektif kepentingan mereka masing‐masing.

Mereka seringkali terjebak pada sistematika bahasa yang sebenarnya tidak pernah bisa dipertemukan dalam ruang ingatan yang sama.Tarik menarik kepentingan politis dan hasrat untuk mempertahankan diri sebagai kelompok yang paling benar dalam sebuah tragedi kejahatan kemanusiaan kolosal membuat wacana ingatan masa lalu tidak mampu terkomunikasikan dengan jujur. Para pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan pada masa lalu lebih suka untuk melupakan dan membiarkan apa yang terjadi pada masa lalu sebagai artefak yang harus disimpan dalam gudang kerahasiaan. Sedangkan para korban menginginkan agar masa lalu diungkap secara terbuka dan akuntabel. Karenanya, wacana pembentukan berbagai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM dan kejahat an kemanusiaan masa lalu sebenarnya tidak bisa menganut logika linear.

Logika linear tidak bisa diterapkan karena jaringan para aktor yang terlibat dalam persoalan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan massal masa lalu sangat beragam dan kompleks. Kompleksitas peran dan kepentingan para aktor bisa mencakup wilayah dan kepentingan politik yang sangat luas, mulai dari lingkup nasional sampai dengan internasional. Aktor‐aktor yang berkepentingan pun sangat Logika linear tidak bisa diterapkan karena jaringan para aktor yang terlibat dalam persoalan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan massal masa lalu sangat beragam dan kompleks. Kompleksitas peran dan kepentingan para aktor bisa mencakup wilayah dan kepentingan politik yang sangat luas, mulai dari lingkup nasional sampai dengan internasional. Aktor‐aktor yang berkepentingan pun sangat

dan tentu saja seluruh komponen masyarakat sipil. Karenanya, penyelesaian pelanggaran HAM berat dan kejahatan kemanusiaan masa lalu, tidak bisa parsial, namun harus lintas sektoral dan komprehensif. Hanya saja, seringkali hambatan datang dari hegemoni sejarah resmi negara yang masih sangat dominan dalam mengintervensi ruang publik selama proses transisi kekuasaan. Maka, ingatan menjadi kunci yang sangat penting dalam dekonstruksi dan rekonstruksi sejarah untuk membantu restrukrisasi logika hukum dalam proses peradilan dan ruang pengadilan.

Dalam konteks Timor‐Leste pasca Jajak Pendapat tahun 1999, interpretasi sejarah yang dominan dan keliru sangat berpengaruh pada proses pengadilan ad hoc dan pembentukan KKP HAM. Dominasi sejarah resmi versi aparat (militer) negara Indonesia masih berpengaruh secara kuat di kalangan para pemimpin politik dalam menginterpretasikan dan merepresentasikan sejarah Timor‐Leste. Mereka tidak pernah menyebutkan TNI atau tentara Indonesia sebagai pihak yang bersalah dan bertangungjawab dalam setiap jengkal kekerasan dan kejahatan yang terjadi di Timor‐Leste dari tahun 1975‐1999. Dan juga tidak ada satu pun yang secara eksplisit menyebutkan bagaimana aparatur (militer) negara Indonesia harus bertanggungjawab terhadap tragedi kemanusiaan yang begitu kejam di Timor‐Leste. Penderitaan rakyat Timor‐Leste sepertinya tidak ada artinya dalam wacana dan komoditas politik tingkat tinggi, baik dalam lingkup domestik dan internasional.

Jebakan dominasi interpretasi tersebut juga sangat berpengaruh dalam penyusunan bahasa hukum di ruang‐ruang pengadilan untuk kasus Timor‐Leste. Maka manipulasi sejarah yang dilakukan oleh aparatur (militer) negara Indonesia sangat berperan pada proses penyusunan landasan pembentukan Pengadilan ad hoc dan KKP HAM. Kita sendiri bisa melihat bahwa para pemimpin kedua negara pun akhirnya mencoba untuk berkelit dan menghindar dari tuntutan tanggung jawab moral terhadap semua peristiwa pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan yang telah melumat hak hidup sebagian besar warga Timor‐Leste. Rumitnya, media massa membantu membangun wacana yang sesat dalam ruang publik. Ingatan media massa tentang penderitaan rakyat Timor‐Leste tidak lebih upaya pelanggengan mitos‐ mitos. Dan mitos itu mengalami reifikasi sedemikian rupa sehingga sangat mudah dan enak untuk menjadi santapan komoditas politik. Demikian tulis Joseph Nevins,

““Ingatan sejarah”, tulis wartawan Chris Hedges, “dibajak oleh pihak­pihak yang melakukan perang. Mereka berusaha, ketika ingatan bertentangan dengan mitos,menghapuskan atau menyembunyikan bukti yang mengungkapkan mitos sebagai kebohongan. Penghancuran ini meluas, dibantu oleh pihak yang berkuasa, termasuk media, yang menirukan slogan ­slogan dan eufemisme­eufemisme yang diulang­ulang oleh pihak yang kuat.” Pengamatan ini tidak hanya berlaku untuk pihak­pihak yang secara langsung melakukan perang tetapi juga relevan untuk praktik ““Ingatan sejarah”, tulis wartawan Chris Hedges, “dibajak oleh pihak­pihak yang melakukan perang. Mereka berusaha, ketika ingatan bertentangan dengan mitos,menghapuskan atau menyembunyikan bukti yang mengungkapkan mitos sebagai kebohongan. Penghancuran ini meluas, dibantu oleh pihak yang berkuasa, termasuk media, yang menirukan slogan ­slogan dan eufemisme­eufemisme yang diulang­ulang oleh pihak yang kuat.” Pengamatan ini tidak hanya berlaku untuk pihak­pihak yang secara langsung melakukan perang tetapi juga relevan untuk praktik

Pelanggaran HAM dan kejahatan massal yang terjadi di Timor‐Leste jelas akan menyeret pertanggungjawaban banyak pemimpin politik di dunia. Mengapa? Karena tidak bisa dipungkiri bahwa rakyat Timor‐Leste sudah menjadi komoditas politik dan bisnis militer yang dilakukan oleh negara‐negara adi kuasa seperti, Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Australia dan lain sebagainya. Sedangkan untuk Indonesia, Timor‐Leste sudah dijadikan sebagai alat transaksi kekuasaan lewat bisnis kekerasan yang sangat masif. Ironisnya tertuduh utama, yaitu militer atau tentara Indonesia, meleset dan bahkan luput dari ingatan yang dilakukan oleh para penguasa dalam wacana nasional dan internasional yang dituliskan oleh para wartawan dalam media massa.

Persoalannya, siapa yang akan menerima kalau pelaku utama dalam kekerasan dan kejahatan kemanusiaan kolosal yang terjadi di Timor‐Leste adalah aparatur (militer) negara Indonesia? Bukti sudah sangat kuat mengarah pada peran aparatur (militer) Indonesia dalam pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap warga sipil Timor‐Leste. Namun, mengapa mereka masih bisa keluar dari tuntutan pertanggungajawaban sebagai pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan? Bahkan kenyataan yang terjadi justru sebaliknya, banyak di antara mereka masih diberi ruang dan kesempatan untuk mulai berperan lagi dalam ruang publik. Sederet partai politik di masa reformasi justru mengusung tokoh‐tokoh dari kalangan militer yang terlibat dalam pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan di Timo r‐Leste unt dicalon n dan dipercaya sebagai pejabat publik. uk ka

Munculnya kembali kalangan militer yang diduga kuat melakukan pelanggaran HAM masa lalu ke panggung politik, sebenarnya menjadi salah satu indikator bahwa masa transisi kekuasaan masih dominan dikuasai oleh kekuatan‐ kekuatan lama. Selain itu bisa dibaca, betapa pendeknya ingatan masyarakat sendiri akan sebuah tragedi kemanusiaan yang sangat kejam yang sudah dilakukan oleh aparatu (militer) Indonesia terhadap rakyat Timor‐Leste. Oleh karena itu, ingatan dalam konteks masa transisi kekuasaan memiliki peran yang sangat politis dan sekaligus sosial. Ingatan tidak saja menjadi bagian untuk mendobrak kebisuan yang terlalu lama bagi persoalan‐persoalan masa lalu yang penuh dengan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan. Lebih dari itu, ingatan menjadi faktor penentu dari konstruksi kesadaran baru yang terjadi dalam ruang‐ruang sosial dan terutama ruang pengadilan.

Sikap untuk segera menguburkan dan melupakan masa lalu tanpa legitimasi hukum dan moral yang jelas merupakan pilihan yang banyak diambil oleh para mantan pejabat dan pimimpin aparatur (militer) politik yang masih terkait dan terikat oleh rezim lama. Keputusan dan sikap kompromis semacam itu menandakan bahwa perilaku pejabat dan pemimpin politik sebenarnya tidak pernah peduli dengan penderitaan kolosal rakyat Timor‐Leste. Situasi ini diperparah saat bahasa hukum sama sekali gagal dalam mengungkap sisi paling traumatis dari penderitaan tersebut. Mengapa hal ini selalu terjadi? Karena bahasa hukum ada kecenderungan besar untuk mereduksi penderitaan kolosal manusia ke dalam logika prosedural dan linear. Seperti dikatakan oleh Cole demikian,

“In addition, the principle of evidence and truth operative in the court are often woefully inadequate to grapple with the psychological complexity of trauma, especially trauma perpetrated on a massive scale. The role of the victim in prosecuting crime against humanity is vexing.” (Cole, 2007: 171).

Dengan demikian, palanggengan mitos terus berlangsung dan yang paling mengerikan adalah tidak ada satu pun orang yang bersalah dalam pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan yang begitu masif yang telah menghancurkan prinsip‐ prinsip dasar hak asasi manusia tersebut. Semua orang, terutama para elit politik, tampak ingin lekas mencuci tangannya dan tidak lagi mau mengatakan yang sejujurnya tentang kebenaran yang terjadi di Timor‐Leste. Mengatakan dengan jujur tentang kejahatan keji yang terjadi di Timor‐Leste sama saja dengan menyatakan identitas diri mereka ikut sebagai bagian dari kelompok manusia yang bertindak dan berperilaku jahat. Dan bagi para aparatur (militer) negara Indonesia, mereka selalu beranggapan bahwa diri mereka tidaklah jahat, meskipun ribuan dan bahkan jutaan hidup rakyat Timor‐Leste sudah mereka siksa dan bantai dari tangan‐tangan kekuas aan yang selalu mereka cit akan sebagai pembela harkat hidup orang banyak. r

Pilihan untuk mengubur dan melupakan masalah pelanggaran HAM dan kejahatan massal yang terjadi di Timor‐Leste menjadi sikap paling populer yang diambil oleh para politisi dan pejabat (militer) Indonesia yang terlibat dalam masalah masa lalu di Timor‐Leste. Pilihan‐pilihan pragmatis‐politis itu bisa dipahami sebagai tindakan paling kotor tetapi aman bagi semua pihak yang seharusnya bertanggungjawab terhadap persoalan masa lalu di Timor‐Leste. Akan tetapi pilihan sikap tersebut sama sekali tidak menyelesaikan akar terdalam dari persoalan masa lalu. Sikap itu sekedar menyimpannya dalam dunia bawah sadar yang masih terus aktif menggerogoti kesadaran pada masa kini yang menimbulkan efek negatif dan destruk tif.