Mencari titik seimbang Negara Vs Masyarakat Ada t

3. Mencari titik seimbang Negara Vs Masyarakat Ada t

Lewat serangkaian putusannya, MK telah menciptakan makna baru tentang penguasaan negara atas tanah dan sumber daya alam dan hubungannya dengan hak masyarakat adat atas tanah. Hubungan penguasaan negara dan hak masyarakat adat atas tanah telah menjadi perdebatan lebih dari satu abad karena telah menjadi objek perdebatan sejak masa kolonial. Bagian ini menguraikan terlebih dahulu secara singkat konsepsi domein verklaring pada masa kolonial dan hak menguasai negara pada masa pemerintah republik untuk menggantikan konsepsi kolonial tersebut. Baik domein verklaring maupun hak menguasai negara adalah pokok persoalan bagaimana relasi antara negara dengan masyarakat adat dalam hal penguasaan atas tanah dan sumber daya alam lainnya.

Konsepsi Domein Ve rklaring Domein verklaring atau yang sering disebut dengan istilah seperti Prinsip Domein, Asas

Domein, Doktrin Domein, Teori Domein, Konsep Domein atau Deklarasi Domein merupakan prinsip pemilikan tanah yang berkembang pada masa kolonial. Domein Verklaring yang

termuat dalam Agrarische Wet 1870 17 menyatakan bahwa semua tanah di mana tidak dapat termuat dalam Agrarische Wet 1870 17 menyatakan bahwa semua tanah di mana tidak dapat

Rentang kendali kekuasaan negara dengan dan melalui Prinsip Domein menjadi sangat luas. Domein Verklaring Hindia‐Belanda biasanya ditafsirkan sedemikian rupa sehingga ketentuan Pasal 576 BW Belanda (Pasal 520 KUHPerdata) harus dibaca sebagai penegasan bahwa tanah‐tanah yang tidak dikelola dan tidak ada pemiliknya, akan dianggap

kepunyaan (milik) negara. 18 Pemberlakuan ketentuan Pasal 520 KUHPerdata pada dasarnya menghendaki negara yang harus membuktikan bahwa suatu bidang tanah memang tidak dikelola dan tidak dimiliki seseorang. Hanya dalam hal itulah negara boleh mengklaim dirinya sebagai pemilik. Namun dalam kenyataannya, Domein Verklaring versi Hindia‐ Belanda membalikkan beban pembuktian: bukan negara yang harus membuktikan, tetapi orang yang mengklaim hak atas tanah yang harus membuktikan dirinya sebagai pemilik atau penguasa tanah yang sah. Setidak‐tidaknya, inilah yang merupakan penafsiran yang umum berlaku sesudah tahun 1870 terhadap penerapan hukum dan perundang‐undangan sepanja ng menyangkut Domein Verklaring (Termorshuizen‐Arts, 2010).

Tidak dapat dipungkiri bahwa Agrarische Wet 1870 adalah produk politik yang didorong oleh kepentingan‐kepentingan tertentu, dalam hal ini terutama kepentingan para kapitalis, pengusaha asing. Pemberlakuan secara eksplisit dalam Wet dibutuhkan para kapitalis untuk menjamin kepastian hukum yang memudahkan mereka dalam memperoleh lahan yang luas demi pendirian dan pengembangan usaha mereka di Hindia Belanda. Prinsip Domein Verklaring ini memberi kewenangan yang luas kepada negara sebagai pemilik untuk memanfaatkan berdasar kepentingannya. Begitu juga ketika desakan kapitalis mendorong negara untuk menggunakan kewenangannya demi kepentingan mereka. Dengan beralihnya kewenangan negara atas tanah yang luas kepada kaum kapitalis menimbulkan “negara dalam negara.” Inilah yang kemudian menjadi permasalahan besar sejak awal kemerdekaan bangsa Indonesia .

Konsepsi Domein Verklaring inilah yang oleh banyak pejuang republik dan dalam pembentukan UUPA dianggap sebagai ‘biang keladi’ penindasan terhadap rakyat dan tanah pribumi. Sebab dengan prinsip itu, pemerintah kolonial dapat dengan mudah mengklaim pemilikan atas tanah dan menyerahkan pengusahaan tanah tersebut kepada perusahaan‐ perusahaan asing untuk melakukan aktivitas yang pada akhirnya memperparah kehidupan rakyat di Hindia Belanda. Keberadaan prinsip itu telah menjadikannya sasaran kritik berbagai pihak yang melawan kapitalisme agraria penguasa kolonial Belanda baik oleh penstudi berkebangsaan Belanda maupun oleh pejuang kemerdekaan Indonesia.

Walaupun ada perbedaan pendapat, namun dalam praktiknya yang sering diterapkan adalah penafsiran yang dibuat oleh pemerintah hindia belanda. sehingga tanah‐ tanah yang dipunyai rakyat Indonesia asli dengan hak milik dan tanah‐tanah yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat dengan hak ulayat, adalah tanah domein Negara. Tanah yang dipunyai orang indonesia asli dengan hak milik hanya dihargai sebagai hak pakai turun‐ temurun, namun demikian hak‐hak adat tersebut tetap dilindungi dan dihormati sehingga tidak boleh diambil oleh Gubernur Jenderal untuk diberikan kepada pengusaha dengan hak erfpacth . Dari asas domeinverklaring yang termuat dalam pasal 1 Agrarische Besluit (AB) tersebut dapat disimpulkan bahwa, hubungan hukum antara tanah dan Negara adalah hubungan kepemilikan, artinya Negara memiliki semua tanah yang bukan hak eigendom dan hak agrarische eigendom.

Dalam praktek fungsi domeinverklaring dalam perundang‐undangan pertanahan pemerintah kolonial Belanda digunakan sebagai landasan hukum bagi pemerintah yang mewakili Negara sebagai pemilik tanah, untuk memberikan tanah dengan hak‐hak barat yang diatur dalam KUHPdt, seperti hak erfacht, hak postal dan lain‐lainnya. Dalam rangka domeinverklaring, pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik Negara kepada penerima tanah. Selain itu juga digunakan sebagai bidang pembuktian pemilikan (Harsono, 1999).

Hak Menguasai Negara UUPA menerjemahkan prinsip dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi Hak Mengusai

Negara (HMN). Di dalam UUPA memang tidak disebut secara persis Hak Menguasai Negara, melainkan dengan frasa “Hak Menguasai dari Negara.” Pasal 2 ayat (1) UUPA menyebutkan: “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Selanjutnya hak menguasai dari negara sebagaimana dimaksud tersebut memberikan wewenang kepada negara untuk

me akukan tig al y l ah aitu: (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan mi, air dan ruang angkasa tersebut; bu (b) menentukan dan mengatur hubungan‐hubungan hukum antara orang‐orang dengan

bumi, air dan ruang angkasa; dan (c) menentukan dan mengatur hubungan‐hubungan hukum antara orang‐orang dan

perbuatan‐perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Adapun ruang lingkup HMN adalah berlaku atas semua tanah yang ada di Indonesia, baik itu tanah yang belum dihaki, juga tanah yang telah dihaki oleh perseorangan. Itulah beda antara HMN dengan Prinsip Domein Verklaring. Prinsip Domein Verklaring meskipun menganut konsepsi pemilikan tanah oleh negara, tapi hanya berlaku untuk tanah‐tanah yang tidak dapat dibuktikan hak pemilikannya. Artinya, Prinsip Domein Verklaring menjadi tidak berlaku di tanah‐tanah milik individu rakyat pribumi dan terhadap tanah‐tanah ulayat. Tidak berarti domein verklaring itu lebih baik sebab konsepsi itu mengandaikan konsep pemilikan atas tanah oleh negara yang sebenarnya bertujuan untuk memberi legalisasi dan legitimasi bagi perusahaan perkebunan swasta dalam perolehan lahan yang luas di Hindia Belanda (Wiradi, 2002). Apalagi beban untuk membuktikan apakah sesuatu itu merupakan tanah milik perorangan atau tanah ulayat dibebankan kepada masyarakat, bukan negara

yang ha rus membuktik n apakah suatu tanah merupakan tanah negara be s. a ba Konsepsi Hak Menguasai Negara dipengaruhi paham Negara integralistik yang

berkembang saat itu dan didukung terutama oleh Soekarno dan Supomo. Kesatuan antara masyarakat dan Negara dimana kepentingan individu dan kelompok larut dalam kepentingan Negara (mirip dengan konsep Rousseau tentang masyarakat organis) sehingga tidak terjadi pertentangan hak dan kepentingan warga masyarakat dan Negara. Individu ditempatkan di bawah nilai masyarakat sebagai keseluruhan (Suseno, 1993:94‐96).

Dalam mengadakan hubungan langsung antara negara dengan tanah, dapat dipilih tiga kemungkinan:

1. Negara sebagai subyek, yang kita persamakan dengan perseorangan, sehingga dengan demikian hubungan antara negara dan tanah itu mempunyai sifat privaat rechtelijk, negara sebagai pemilik. Hak negara adalah hak dominium.

2. Negara sebagai subyek, diberi kedudukan tidak sebagai perseorangan, tetapi sebagai negara, jadi sebagai badan kenegaraan, sebagai badan yang publiek rechtelijk. Hak negara adalah hak dominium juga dan disamping itu dapat juga digunakan istilah hak publique.

3. Negara sebagai subyek, dalam arti tidak sebagai perseorangan dan tidak sebagai badan kenegaraan, akan tetapi negara sebagai personafikasi rakyat seluruhnya, sehingga dalam konsepsi ini negara tidak lepas dari rakyat, negara hanya menjadi pendiri, menjadi pendukung daripada kesatuan‐kesatuan rakyat.

Hubungan yang tersebut pada no. 3, negara sebagai personafikasi rakyat bersama, kiranya yang paling tepat karena kalau ditinjau dari sudut perikemanusiaan, sesuai dengan sifat makhluk sosial juga dengan sifat perseorangan yang merupakan kesatuan daripada individu‐individunya (Soetiknjo, 1987:37‐8). Konsep yang tersebut pada angka 2 di atas menjadi prinsip dari politik hukum UUPA. Jika ditelaah lebih mendalam, konsepsi negara menguasai ini, mengasumsikan “negara berdiri di atas kepentingan semua golongan” atau dalam istilah Kuntowijoyo “Negara Budiman”. Padahal, pada kenyataannya tidak demikian, karena negara merupakan organisasi kekuasaan yang sarat dengan sejumlah kepentingan kelompok atau individu yang mengatasnamakan kepentingan rakyat atau kepentingan negara. Paham ini sangat dipengaruhi oleh teori integralistik, yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller, Hegel dan lain‐lain yang berpendapat bahwa negara bukan dimaksudkan untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai satu kesatuan. Lebih lanjut: “Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan

e rat sat u sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Atas dasar integralisme itulah kemudian hak‐hak rakyat atas tanah, terutama hak

ulayat dianggap melebur dalam tubuh negara. Bahkan Budi Harsono mengatakan bahwa penguasaan negara, yang disebutnya sebagai hak bangsa, merupakan hak ulayat yang ditinggikan kedudukannya pada tingkat supra masyarakat adat. Perbedaan mendasar dari Hak Menguasai Negara dengan Domein Verklaring berkaitan dengan perlakuannya terhadap tanah ulayat. Bila Domein Verklaring dalam konsepsinya terbatas keberlakuannya pada tanah‐tanah yang telah dimiliki oleh penduduk pribumi, konsepsi Hak Menguasai Negara malah membatasi keberadaan tanah ulayat dengan memberikan sejumlah persyaratan. UUPA dalam Pasal 2 ayat (4) menyebutkan bahwa: Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah‐daerah Swatantra dan masyarakat‐ masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasiona l, menurut ketentuan‐ketentuan Peraturan Pemerintah.”

Termorshuizen‐Arts menyebutkan bahwa pada praktiknya HMN sama dengan domein verklaring karena adanya interpretasi sempit mengenai hak ulayat masyarakat

hukum adat (beschikkingsrecht) yang sebaliknya memunculkan tafsiran sangat luas atas lingkup Hak Menguasai Negara atas tanah. Bilamana klaim negara (Doktrin Domein de facto hukum adat (beschikkingsrecht) yang sebaliknya memunculkan tafsiran sangat luas atas lingkup Hak Menguasai Negara atas tanah. Bilamana klaim negara (Doktrin Domein de facto

Konsepsi Konstitusional Penguasaan Negara Terbentuknya Mahkamah Konstitusi sejah tahun 2003 dengan kewenangan yang dimilikinya

untuk menguji undang‐undang telah menjadikannya sebagai salah satu sumber kajian hukum yang baru. Dalam berbagai putusannya Mahkamah Konstitusi menguji undang‐ undang di bidang agraria terhadap Pasal 33 UUD 1945 yang menjadi dasar penguasaan negara atas tanah dan sumber daya alam lainnya.

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa seluruh ketentuan (lima ayat) dalam Pasal 33 UUD 1945 harus dipahami sebagai kesatuan yang bulat dan dengan semangat untuk senantiasa menjadikan UUD 1945 sebagai konstitusi yang hidup (living constitution). Pasal

33 UUD 1945 bertujuan mewujudkan perekonomian nasional yang memberikan kemakmuran yang sebesar‐besarnya kepada rakyat. Perekonomian nasional, yang berupa usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan itu, tidak dapat diartikan lain selain sebagai bagian dari tugas Pemerintah Negara Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum. Dalam kerangka pikir itu pula makna “sebesar‐besar kemakmuran rakyat” dalam Pasal 33 UUD 1945 itu harus dipahami, bukan semata‐mata pada bentuk. Hanya dengan pemahaman demikian pula dapat diterima jalan pikiran pembentuk undang‐undang bahwa terhadap bidang‐bidang dan/atau cabang‐cabang produksi tertentu memang diperlukan penguasaan oleh negara. Dengan penegasan tersebut di atas maka tiga hal berikut menjadi jelas:

1. Hak menguasai yang diberikan oleh UUD 1945 kepada negara bukanlah demi negara itu sendiri. Melainkan dipergunakan bagi sebesar‐besar kemakmuran rakyat.

2. Bagi orang perorangan pemegang hak atas tanah, termasuk badan hukum, penegasan tersebut memberi kepastian bahwa dalam hak atas tanah yang dipunyainya itu melekat pula pembatasan‐pembatasan yang lahir dari a anya hak penguasaan oleh negara. d

3. Bagi pihak‐pihak lain yang bukan pemegang hak atas tanah juga diperoleh kepastian bahwa mereka tidak serta‐merta dapat meminta negara untuk melakukan tindakan penguasaan atas tanah yang terhadap tanah itu sudah melekat suatu hak tertentu.

Penguasaan negara sebagai mandate rakyat secara kolektif dalam Pasal 33 UUD 1945 diwujudkan dalam lima bentuk atau fungsi, yaitu kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat. Mahkamah Konstitusi juga merumuskan empat tolak ukur untuk menentukan apakah suatu bentuk hukum atau tindakan hukum bertujuan untuk memberikan sebesar‐besar kemakmuran rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Empat tolak ukur tersebut antara lain: (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, (ii) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, (iii) tingkat partisipasi rakyat dalam Penguasaan negara sebagai mandate rakyat secara kolektif dalam Pasal 33 UUD 1945 diwujudkan dalam lima bentuk atau fungsi, yaitu kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat. Mahkamah Konstitusi juga merumuskan empat tolak ukur untuk menentukan apakah suatu bentuk hukum atau tindakan hukum bertujuan untuk memberikan sebesar‐besar kemakmuran rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Empat tolak ukur tersebut antara lain: (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, (ii) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, (iii) tingkat partisipasi rakyat dalam

Bagan . Konsepsi Konstitusional Penguasaan Negara atas Tanah dan Sumber Daya Alam lainnya dalam Pasal 33 UUD 1945

Bentuk Penguasaan

Tujuan Penguasaan

Pengaturan

Kemanfaatan bagi rakyat

Kebijakan Pemerataan manfaat bagi

rakyat

PASAL 33 UUD

Pengelolaan

Partisipasi rakyat Pengurusan

Penghormatan hak Pengawasan mas yarakat adat

Dikuasai oleh negara

Dipergunakan untuk sebesar-

besar kemakmuran rakyat

Bagan di atas menggambarkan bagaimana konstruksi penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD 1945. Penguasaan negara dilakukan dalam bentuk fungsi, sedangkan tujuan penguasaan negara tersebut diukur dari empat tolak ukur. Jadi rumusan untuk memahami makna penguasaan negara di dalam Pasal 33 UUD 1945 dari putusan Mahkamah Konstitusi dapat dirumuskan dengan 4 X 5. Putusan Mahkamah Konstitusi merumuskan makna Pasal

33 UUD 1945, sepanjang berkaitan dengan penguasaan negara atas cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dipergunakan untuk sebesar‐besar kemakmuran rakyat, diwujudkan dalam lima fungsi negara dan empat tolak ukurnya.

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar‐besar kemakmuran rakyat. Dengan adanya anak kalimat “dipergunakan untuk sebesar­besar kemakmuran rakyat” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka sebesar‐besar kemakmuran rakyat‐lah yang menjadi ukuran utama bagi negara dalam menentukan pengurusan, pengaturan atau pengelolaan atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Di samping itu, penguasaan oleh negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus juga memperhatikan hak‐hak yang telah ada, baik hak individu maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum adat (hak ulayat), hak masyarakat adat serta hak‐hak konstitusional lainnya yang dimiliki oleh masyarakat dan dijamin oleh konstitusi, misalnya hak akses untuk melintas, hak atas lingkungan yang sehat dan lain‐lain.

Perlindungan terhadap hak masyarakat adat dalam putusan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dalam putusan pengujian UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau‐pulau Kecil. Dalam putusan yang membatalkan keberadaan HP‐3 tersebut Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pemberian HP‐3 mengancam keberadaan hak‐hak masyarakat tradisional dan kearifan masyarakat lokal atas wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil, karena menurut konsepsi undang‐undang tersebut, masyarakat tradisional yang secara turun temurun memiliki hak atas pemanfaatan perairan pesisir dan pulau‐pulau kecil akan diberikan HP‐3, dan dapat menerima ganti rugi atas pemberian HP‐3 kepada swasta berdasarkan kesepakatan musyawarah. Menurut Mahkamah konsep demikian, akan membatasi hak‐hak tradisional masyarakat dalam batasan waktu tertentu menurut ketentu an pemberian HP‐3 yaitu 20 tahun dan dapat diperpa jang. n

Konsep ini bertentangan dengan konsep hak ulayat dan hak‐hak tradisional rakyat yang tidak bisa dibatasi karena dapat dinikmati secara turun temurun. Demikian juga mengenai konsep ganti kerugian terhadap masyarakat yang memiliki hak‐hak tradisional atas wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil, akan menghilangkan hak‐hak tradisional rakyat yang seharusnya dinikmati secara turun temurun (just saving principle), karena dengan pemberian ganti kerugian maka hak tersebut hanya dinikmati oleh masyarakat penerima ganti kerugian pada saat itu. Hal itu juga bertentangan dengan prinsip hak‐hak tradisional yang berlaku secara turun temurun, yang menurut Mahkamah bertentangan dengan jiwa Pasal 18B UUD 1945 yang mengakui dan menghormati kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum dat beserta hak‐hak tradisionalnya. a