MENUJU KEADILAN SOSIAL DAN EKOLOGIS : MEKANISME TRANSPARANSI

C. MENUJU KEADILAN SOSIAL DAN EKOLOGIS : MEKANISME TRANSPARANSI

Pembangunan berwawasan lingkungan menjadi suatu kebutuhan penting bagi setiap bangsa dan negara yang menginginkan kelestarian sumberdaya alam. Oleh sebab itu, sumberdaya alam perlu dijaga dan dipertahankan untuk kelangsungan hidup manusia kini, maupun

untuk g enerasi yang ak n datang. a

Dalam proses perubahan sosial‐ekologis yang radikal tersebut, arena politik pengurusan publik (sistem hukum dan politik) bukannya menjadi ajang tindakan koreksi untuk mengendalikan perluasan ekonomik atau vektor perubahan yang didorongnya, melainkan menjadi arena “jual‐beli” bagi yang hendak berkuasa. Warga negara adalah alat partai politik dan alat produksi nilai‐uang yang diurus kebutuhan minimumnya, sejauh tidak mengga nggu irkulasi kapital. s

Oleh karena itu berpedoman pada Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dimana tercantum pokok‐pokok pikiran sebagai berikut : Pertama, Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; Kedua, negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat; Ketiga, Negara berkedaulatan rakyat berdasarkan kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan; Keempat, negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pernyataan tersebut merupakan ejawantah dari cita hukum yang menguasai hukum dasar negara baik hukum tertulis maupun yang tidak tertulis. Yaitu “negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Sehingga hal ini pun tertuang dalam salah satu tujuan penyelenggaraan kegiatan usaha migas sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 Undang‐Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Migas adalah ‘Untuk menjamin efektifitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan Usaha Eksplorasi dan Eksploitasi (Hulu Migas) secara berdaya guna, berhasil guna, serta berdaya saing tinggi dan berkelanjutan atas Minyak dan Gas Bumi milik negara yang strategis dan tidak terbarukan melalui mekanisme yang terbuka dan transparan.

Mekanisme transparansi ini meliputi 3 (tiga) hal yaitu : Pertama, Pendapatan (revenue) yang meliputi pendapatan‐pendapatan dari sektor Hulu Migas yang diterima,

meliputi Dana Bagi Hasil (DBH) melalui skema dana perimbangan, Bagi Hasil Investasi melalui skema penyertaan modal daerah (participating interest/PI), maupun Penerimaan Pajak dan Pungutan lainnya‐melalui skema Bagi Hasil Pajak maupun pembayaran‐ pembayaran lainnya.

Kedua, Dampak Lingkungan dan Sosial. Transparansi dalam ruang lingkup ini meliputi dampak/resiko lingkungan dan sosial, penerapan standar pengelolaan lingkungan,

maupun standar penanganan keadaan darurat dalam kegiatan industri ekstraktif Migas. Transparansi dampak lingkungan dan sosial ini meliputi baik pada tahap prakonstruksi, konstruksi dan pengeboran, tahap operasi produksi maupun tahap pasca operasi. Secara

umum titik kritis permasalahan lingkungan hidup dalam pengelola n M gas ini terdiri a as : a i t

1. Proses sosialisasi yang minim terkait dampak lingkungan dan resiko/bahaya yang mungkin timbul dari kegiatan industri ekstraktif Migas kepada masyarakat, terutama masyarakat sekitar akan berakibat pada ketidaktahuan masyarakat akan dampak perubahan lingkungan yang akan terjadi dan ketidaksiapan masyarakat menghadapi resiko/bahaya yang mungkin timbul dari kegiatan tersebut. Persoalan ini juga menuntut adanya sosialiasi standar penanganan bahaya (contingenty plan) dan pengkondisian skill masyarakat dalam mengambil tindakan darurat jika terjadi keadaan bahaya di luar kendali.

2. Penerapan Standar HSE (Health, Safety & Environment) dari kegiatan operasional Migas harus dijalankan secara ketat oleh perusahaan, hal ini dilakukan untuk meminimalisir terjadinya resiko kebocoran atau semburan baik gas, lumpur, maupun minyak yang dapat mengancam keselamatan masyarakat dan berakibat menimbulkan kerusakan lingkungan yang meluas. Penerapan standar HSE ini memerlukan pengawasan secara ketat oleh Badan terkait (Bp Migas), serta diperlukan koordinasi dan pelibatan pemerintah daerah secara proaktif.

3. Persoalan tumpang tindih penggunaaan kawasan kehutanan dalam kegiatan operasional Migas, baik oleh penambang besar seperti perusahaan maupun penambang rakyat pada sumur‐sumur tua. Persoalan seperti peruntukan kawasan hutan untuk hak lintas pipa (ROW) membutuhkan keterlibatan berbagai pihak baik di daerah, maupun tingkat nasional.