PEMBAH AN AS

II. PEMBAH AN AS

Pembahasan Model otonomi desa sebagai satuan pemerintahan lokal dalam NKRI harus dihubungkan dengan sistim pemerintahan daerah (lokal) yang di atur oleh UUD 1945. Hal ini terkait dengan pembentukan satuan pemerintahan sub nasional di bawah pemerintah pusat, yang dalam kepustakaan terkait dengan dianut dan dilaksanakannya asas desentralisasi dan asas dek onsentrasi dalam negara kesatuan.

Secara teoritik dalam negara kesatuan, pelaksanaan desentralisasi akan membentuk satuan pemerintahan lokal dengan status sebagai daerah otonom. Daerah otonom ini memiliki hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan kata lain satuan

pemerin tahan loka dengan status sebagai daerah otono akan memiliki otonomi. l m Sedangkan pelaksanaan dekonsentrasi akan membentuk wilayah administrasi.

Wilayah administrasi ini merupakan wilayah kerja pejabat pusat di daerah. Wilayah administrasi ini tidak memiliki otonomi.

Dengan cara demikian akan diketahui bagaimana kedudukan desa sebenarnya dalam konstelasi pemerintahan daerah (lokal) di Indonesia. Apakah berkedudukan sebagai daerah otonom atau berkedudukan sebagai wilayah administrasi. Atau ada corak lain di luar kedudukan sebagai daerah otonom atau sebagai wilayah administrasi. Untuk itu dalam melihat model ke depan harus berangkat dari aturan konstitusional dalam UUD 1945 pasca amandemen, yang mengatur model pemerintahan daerah di Indonesia.

Ada beberapa ketentuan konstitusi yang berkaitan dengan kedudukan desa yaitu Pasal 1 UUD 1945 setelah diamandemen yang berbunyi :

(1) Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik (2) Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang­Undang Dasar. (3) Negara Indonesia adalah negara hukum.

Selanjutnya, dalam Pasal 18 ayat (1) disebutkan : (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah­daerah provinsi dan daerah

provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap­tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang­undang.

(2) Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan yang anggota­anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

Dalam pandangan Bhenyamin Hoessein, rumusan Pasal 18 ayat (1) tersebut dapat dicerna secara sesat. Hal ini dikarenakan pembagian negara dapat ditafsirkan melahirkan negara majemuk seperti halnya dalam negara federal.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam penyelenggaran pemerintahan daerah (lokal) dikenal asas desentralisasi –atau juga disebut asas otonomi 2 dan asas dekonsentrasi. Yang pertama menghasilkan satuan pemerintahan lokal (daerah) yang disebut daerah otonom. Sedangankan asas dekonsentrasi menhasilkan satuan pemerintahan lokal (daerah) yang merupakan wilayah kerja pejabat pemerintah pusat pada tingkat lokal, dan menghasilkan wilayah administrasi.

Terkait dengan hal tersebut, ternyata UUD 1945 pasca amandemen IV tersebut tidak merumuskan asas desentralisasi dalam ketentuan Pasal 18 tersebut. Yang disebut hanya asas otonomi (desentralisasi) dan tugas pembantuan. Dalam kepustakan tata negara asas pembantuan terkait dengan desentralisasi atau otonomi. Sedangkan asas dekonsentrasi tidak disebutkan.

Asas dekonsentrasi dijumpai dalam undang‐undang yang mengatur pemerintahan daerah yang pernah berlaku (UU 5/1974, UU 22/1999, UU 32/2004). Sehubungan dengan itu, Ateng Syafrudin (2006:67) mengungkapkan bahwa secara umum, sumber yuridis pelaksanaan dekonsentrasi dalam UUD 1945 merupakan penafsiran bahwa dekonsentrasi merupakan konsekwensi logis dianutnya konsep negara kesatuan dalam Pasal 1 ayat 1 UUD 1945.

Dari beberapa ketentuan dalam UUD 1945 pasca amandemen ke IV tersebut dapat ditarik kesimpulan pertama, bahwa sebagai pelaksanaan asas otonomi (asas desentralisasi) dibentuk daerah provinsi, kabupaten atau kota yang mempunyai pemerintahan daerah. Oleh karena itu tidak akan ada pemerintahan daerah otonom di luar provinsi, kabupaten atau kota tersebut. Dan kesemuanya itu diatur dengan undang‐undang.

Kedua, dengan mendasarkan pada pendapat Ateng Syafrudin tersebut walaupun asas dekonsentrasi tidak disebutkan dalam rumusan Pasal 18 di atas, sebagai negara kesatuan,

maka asas tersebut dianggap melekat dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Oleh karena itu dalam NKRI dimungkinkan untuk dibentuk wilayah administrasi dengan beberap a model, antar lain model fungsional,

Model fungsional, luas wilayah administrasi tidak harus sama dengan luas teritorial daerah otonom. Wilayah administrasi dalam model ini hanya merupakan wilayah kerja pejabat instansi pusat atau vertikal di daerah, yang antara satu dengan yang lainnya terpisah. Dalam model ini tidak ada kepala wilayah administrasi.

Kedua model perfectoral system. Dalam model ini dapat dibentuk wilayah administrasi yang dipimpin kepala wilayah, yang merupakan wakil atau pejabat pemerintah di daerah. Luas wilayah administrasi ini sama dengan luas daerah otonom. Jika wilayah administrasi dan daerah otonom masing‐masing berdiri sendiri dengan Kepala pemerintahannya masing‐masing disebut dengan model unintegrated perfectoral system.

Jika antara wilayah administrasi dan daerah otonom masing‐masing berhimpit, dan kepala pemerintahannya merupakan kepala pemerintah daerah otonom sekaligus juga kepala wilayah administrasi, sebagai pejabat pemerintah pusat di daerah, maka disebut dengan integrated perfecetoral system. Disamping itu dapat juga dibentuk wilayah administrasi murni seperti kecamatan pada era UU 5/1974.

Oleh karena itu berdasarkan ketentuan UUD 1945 pasca amandemen tersebut di atas dapat disimpulkan jumlah atau jenis daerah otonom dibatasi hanya provinsi, kabupaten dan kota. Sedangkan jumlah atau jenis satuan pemerintahan wilayah administrasi tidak ada batasan.

Selanjutnya dalam Pasal 18 B menyatakan : (1) Negara mengakui dan menghormati satuan­satuan pemerintahan daerah yang bersifat

khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang­undang. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan­kesatuan masyarakat hukum adat beserta

hak ­hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang­ undang.

Ketentuan Pasal 18 B ayat (1) tersebut menandaskan bahwa negara Indonesia “mengakui dan menghormati satuan­satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa”. Untuk memahami ketentuan harus dihubungkan dengan ketentuan Pasal

18 di atas. Oleh karena itu dapat ditafsirkan bahwa maksud dari ketentuan tersebut adalah, bahwa berdasar UU dapat diakui satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa, hanya saja satuan pemerintah tersebut berbentuk dan setingkat dengan daerah provinsi, kabupaten atau kota. Sebagai konsekwensinya maka pemerintah daerah istimewa

tersebu t harus memiliki PRD ju D ga. S agai contoh adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. eb Disamping itu negara juga mengakui dan menghormati kesatuan­kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak­hak tradisionalnya sepanjang masih hidup. Yang menjadi permas alahan dalah bagaimana bentuk pengakuan dan penghormata tersebut. a n

Dalam konteks ini, desa sering dikaitkan dengan ketentuan tersebut. Desa sering dipandang sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Bintarto (2007: 2) memandang desa sebagai :

“suatu hasil perwujudan antara kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya. Hasil dari perpaduan itu ialah suatu ujud atau penampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur­unsur fisiografi, sosial ekonomis, politis dan kultural yang saling berinteraksi antar unsur tersebut dan juga dalam hubungannya dengan daerah lain”

Sedangkan Bouman mendefinisikan desa sebagai : Salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama sebanyak beberapa ribu orang,

hampir semuanya saling mengenal, kebanyakan yang termasuk di dalamnya hidup dari pertanian, perikanan, dan sebagainya......dan dalam tempat tinggal terdapat banyak ikatan­ikatan keluarga yang rapat, ketaatan tradisi dan kaidah­ kaidah sosial

Sebagai kesatuan masyarakat hukum desa dapat dikatagorikan menjadi tiga : (i) tipe kesatuan masyarakat hukum berdasar teritorial, wilayah sebagai dasar utama, (ii) tipe kesatuan masyarakat hukum berdasar keturunan (suku, warga atau calon) sebagai dasar utama, (iii) tipe kesatuan masyarakat hukum berdasar campuran.

Selanjutnya Unang Sunardjo (2007:10) , menjelaskan bahwa desa, merupakan suatu masyarakat hukum berdasarkan adat dan hukum adat yang menetap dalam suatu wilayah

tertentu batas­batasnya; memiliki ikatan lahir batin yang sangat kuat, baik karena seketurunan maupun karena kepentingan politis, ekonomi, sosial dan kemanan ; memiliki susunan pengurus yang dipilih bersama; memiliki kaekayaan dalam jumlah tertentu, berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.

Dalam pandangan Sutoro Eko Yunanto (2006: ), secara teoritis posisi desa ada tiga yaitu Pertama, Self Governing Community. Istilah resminya adalah kesatuan masyarakat hukum adat, yang sering disebut otonomi asli. Ada 3 (tiga) aliran: 1) aliran romantis, otonomi asli, ini sering sulit ditemukan karena semua sudah diambil oleh Negara, 2) aliran normatif, rambu‐rambunya Pasal 18‐b UUD 45, dan 3) aliran yang liberal, kembalikan urusan rakyat ke rakyat, negara tidak usah ngurusi rakyat, negara peranannya minimal saja. Selanjutnya, bagi Sutoro Eko Yunanto, tiga aliran itu problematik, otonom asli itu sebenarnya hanya untuk urusan kemasyarakatan yang tidak ada hubungan dengan pemerintahan.

Kedua, Local State Government. Ini pernah diterapkan dalam masa orde baru, desa sebagai kepanjangan tangan negara, tukang mengawasi rakyat. UU 5/74, bunyinya undang‐

undang pokok‐pokok pemerintahan di daerah, artinya pemerintahan yang punya pusat tetapi dilaksanakan di daerah. Intinya bukan penyeragaman, tetapi negara mengontrol desa/rakyat. Kelurahan kepanjangan tangan negara, dalam konteks desa ini bukan pilihan yang tepat.

Ketiga local self government. Pemerintahan lokal yang otonom seperti UU Nomor 22 Tahun 1999 –menurut penulis juga termasuk UU Nomor 32 Tahun 2004‐,. Ibnu Tricahyo

termasuk dalam kelompok yang mengkampanyekan model ini. Sebelum diuraikan kewenangan desa –atau otonomi bagi desa, terlebih dahulu dibicarakan dulu kedudukan desa.

Terkait UU Nomor 22 Tahun 1999, Sutoro Eko Yunanto mengungkapkan bahwa Ibnu Tricahyo selalu mengkritik UU Nomor 22 Tahun 1999 dengan menyatakan bahwa undang‐ undang ini –bagi penulis juga termasuk UU Nomor 32 Tahun 2004‐ mengarah ke otonomi, namun ada kekeliruan besar karena memberikan cek kosong kepada bupati untuk mengatur desa. Karena yang memberikan desentralisasi itu adalah Negara, bukan Kabupaten.

Selanjutnya menurut Sutoro Eko Yunanto, Selo Soemardjan pernah mengusulkan daerah Tingkat III, namun untuk sekarang, menurut Sutoro Eko Yunanto hal tersebut tidak relevan lagi. Pilihan tentang desa otonom perlu kajian komperehensif, tetapi tidak bisa diterapkan di seluruh desa di Indonesia.

Dari ketiga tipe posisi desa tersebut, demikian Sutoro Eko Yunanto, pilihan harus didasarkan pada dua faktor yaitu: 1) pengaruh adat, kalau masih kuat maka menjadi self governing community, 2) kalau pengaruh modern, maka bisa didorong ke local self government , ini yang siap adalah desa‐desa di Jawa. Kalau pengaruh adat dan modernitas itu sama‐sa ma kuat m a bisa dikompromikan menjadi local self government. ak

Baik adat maupun modernitas ini sama‐sama kuat, pengaruhnya dapat dipilah menjadi 5 (lima) pilihan yaitu:

1. Ada adat tetapi tidak ada desa. Seperti di Papua, meskipun ada desa tetapi pemerintah desanya tidak berfungsi, justru adat ini sangat berperan, ini disarankan ke self governing community .

2. Tidak ada adat tetapi ada desa. Pengaruh adat sangat kecil, ini terutama di Jawa, sebagian besar Sulawesi, Kalimantan Timur dan Sumatra, ini bisa didorong menjadi desa yang lebih otonom, local self government.

3. Integrasi antara desa dan adat. Ini satu‐satunya yang terjadi di Sumatra Barat, dimana antara adat dan modern itu digabungkan, dikompromikan, ini bisa didorong ke local self government .

4. Dualisme antara adat dengan desa. Masing‐masing tumbuh, kedua‐duanya terjadi perbedaan, ini terjadi di Bali, Kalimantan Barat, Aceh, NTT dan Maluku. Ini lebih baik pemerintah desanya dihapus saja, jadi nggak perlu ada pemerintah desa, lebih dikembangkan ke self governing community seperti di Pap ua.

5. Kelurahan. Ini sama sekali tidak ada adat, tidak ada desa.

Kewenangan desa hanya relevan terhadap desa sebagai local self government. Pada intinya hampir sama dengan pemerintahan daerah bahwa ada 4 kewenangan yang bisa diserahkan kepada desa dalam rangka desa sebagai desa sebagai desa otonom bukan desa sebagai self governing community yaitu:

1. Kewenangan yang generik, atau kewenangan asal‐usul, mulai dari pemerintah sampai dengan mengelola tanah, SDA dan seterusnya, termasuk kewenangan di bidang yudikatif.

2. Kewenangan yang sifatnya devolutif. Kewenangan yang melekat yang harus ada pada desa karena desa sebagai daerah yang otonom, misalnya kewenangan membentuk susunan organisasi pemerintahan desa, pencalonan, pemilihan, penetapan kepala desa, termasuk menyusun SOT (Susunan Organisasi dan Tugas).

3. Kewenangan yang distribusi. Kalau dalam UU 32/2004 adalah kewenangan yang dibagi, di PMD sudah ada daftarnya, dan di Solok itu sudah ada 105 kew enangan.

4. Menolak tugas pembantuan apabila tidak disertai pembiayaan.

Dengan mendasarkan ketentuan Pasal 18 dan 18 B UUD 1945 pasca amandemen tersebut terdapat beberapa kemungkinan, pertama, desa dengan mendasarkan Pasal 18B ayat (2) dijadikan sebagai local self governing community. Hal ini sama dengan cara pandang negara‐negara eropa yang memandang commune atau Inggris yang memandang parish sebagai sebagai organisasi komunitas lokal (Sutoro Eko, 2007: 3).

Konsekwensi pandangan tersebut desa harus dilepaskan dari birokrasi negara atau sistem pemerintahan nasional. Sejalan dengan hal tersebut adalah pandangan Jimly Asshiddiqie (2007:223) terhadap ketentuan yang mengatur desa dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, yang menyatakan :

“...Dalam UU No.22 Tahun 1999 tersebut, yang dapat dianggap sebagai wilayah daya jangkau kekuasaan negara (state) hanya sampai di tingkat kecamatan. Secara akademis, organ yang berada di bawah struktur organisasi kecamatan dapat dianggap sebagai organ masyarakat, dan masyarakat desa dapat disebut sebagai self governing communities yang otonom sifatnya. Oleh karena itu, susunan organisasi desa dapat diatur sendiri berdasarkan norma norma hukum adat yang hidup dan berkembang dalam kesadaran hukum dan kesadaran politik masyarakat desa itu sendiri”

Selanjutnya menurut Jimly Asshiddiqie (2000: ), bahwa secara ideal, wilayah kekuasaan pemerintahan negara tidak dapat menjangkau atau turut campur dalam urusan pemerintahan desa. Masyarakat desa harus dibiarkan mengatur sendiri tata pemerintahan desa mereka serta mengatur peri kehidupan bersama mereka di desa sesuai dengan kebutuhan setempat. Tidak perlu diadakan penyeragaman pengaturan untuk seluruh wilayah nusantara seperti yang dipraktekkan selama ini. Prinsip ‘self governing community’ ini sejalan pula dengan perkembangan pemikiran modern dalam hubungan antara ‘state and civil soc iety ’ yang te lah dikem ban kan dalam gagasan masyarakat madani. g

Cara yang kedua desa dipandang sebagai sebagai desa administratif seperti kelurahan di perkotaan. Konsekwensi pandangan ini akan menghilangkan model‐model pemerintahan yang mendasarkan pada hukum adat untuk disesuaikan dengan birokrasi modern.

Sedangkan bentuk desa otonom menurut UUD 1945 pasca amandemen tidak dimungkinkan. Karena dua hal, pertama berdasarkan Pasal 18 ayat (1), sudah dijelaskan bahwa daerah otonom hanya terdiri dari provinsi, kabupaten atau kota. Oleh karena itu – alasan kedua, maka untuk memberikan status otonom bagi desa, desa harus berkedudukan sederajat dengan Provinsi – contoh Provinsi DIY dengan status otonom dengan hak istimewa berdasar asal usul atau hak autochtoon, atau sederajat dengan Kabupaten. Hal ini secara konstitusional tidak mungkin.

Berbeda dengan ketentuan Pasal 18 UUD 1945 asli – sebelum amandemen, yang menyatakan, “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang­undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara , dan hak asal­usul dalam daerah­daerah yang bersifat istimewa”. Dalam rumusan konstitusional ini memungkinkan membentuk desa otonom. Dengan kata lain memungkinkan desa sebagai daerah otonom.

Negara yang menempatkan desa sebagai desa otonom adalah Filipina. Filipina menempatkan barangay sebagai local self government.

Dengan tidak disebutkannya jenis atau tingkatan daerah otonom secara jelas dalam Pasal 18 UUD 1945 sebelum diamandemen tersebut, maka terbuka peluang untuk mengatur dalam undang‐undang tentang kedudukan desa sebagai daerah otonom. Akan tetapi berbeda dengan ketentuan Pasal 18 UUD 1945 setelah diamandemen, yang tidak memungkinkan membentuk desa sebagai daerah otonom.

Oleh karena itu jika ingin menempatkan desa dalam konstelasi pemerintahan lokal dalam lingkup di lingkungan NKRI sebagai daerah otonom atau desa otonom dalam pengertian desa sebagai local self government bukan desa sebagai local self governing community , terlebih dahulu harus diamandemen ketentuan Pasal 18 ayat (1) tersebut. Sedangkan desa sebagai local self governing community, mempunyai otonomi asli atau otonom i kebudayaan saja .

Namun menurut Riswanda Imawan (2001: 10) ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan jika ingin menurunkan prinsip otonomi sebagaimana otonomi yang dimiliki daerah otonom ke desa. Menurutnya ada empat hal yang harus diwaspadai yaitu sebagai berikut yaitu.

Pertama , potensi konflik yang berdasarkan etnisitas. Salah satu kesalahan memandang desa adalah mengasumsikan penduduk desa homogen. Temuan‐temuan para

sosiolog maupun antropolog justeru mengindikasikan adanya keragaman etnis pada tingkat desa. Dengan kata lain, desa merupakan entitas yang heterogen, bukan homogen. Di daerah Sumatera Barat misalnya, satu desa dihuni lebih dari dua ethnis, sekalipun salah satunya mendominasi kehidupan disana. Bila otonomi (dan demokratisasi) diterapkan seperti yang dikenal pada tataran daerah (atau bahkan nasional), bukan mustahil konflik horizontal merebak ditingkat desa.

Kedua , sumber daya manusia yang tersedia di desa, bukan sekedar diragukan kualitasnya, namun jumlah mereka juga semakin menurun. Ini merupakan akibat logis dari

mobilisasi sosial yang merupakan produk dari modernisasi. Warga desa yang terdidik, karena berbagai macam alasan, bekerja di daerah urban. Fasilitas untuk bekerja yang minim, yang tidak sesuai dengan pendidikan yang ditempuh, upah yang tidak menarik terutama bila dikaitkan dengan biaya yang dikeluarkan selama masa pendidikan, membuat warga desa yang terdidik tersedot ke lapangan kerja yang ada di daerah urban. Kondisi seperti ini jelas

akan sangat m n e yulitkan bagi desa untuk eroton mi. b o

Ketiga , adanya kecenderungan untuk memaksimalkan hak dibawah payung kewenangan yang dikenal dalam konsep otonomi. Sebagaimana dalam UU Nomor 22 Tahun

1999 dan –menurut penulis juga termasuk UU Nomor 32 Tahun 2004‐, menekankan kewenangan. Kewenangan‐kewenangan itu bisa diwujudkan kedalam ribuan hak. Semangat untuk mandiri, bisa memicu desa untuk mewujudkan kewenangan itu kedalam serangkaian hak yang ‐ bila tidak terkontrol ‐ justru kontra produktif terhadap upaya mewujudkan tujuan pemerintahan. Demi meningkatkan keuangan desa misalnya, pemerintah desa melakukan ekspansi sumber‐sumber pajak. Sangat mungkin ekspansi semcam ini justeru menyulitkan kehidupan rakyat, yang akhirnya dapat bermuara pada enggannya masyarakat berpartisipasi dalam pemerintahan.

Keempat , kenyataan yang belum pudar bahwa desa tetap diposisikan (atau diimajinasikan) sebagai basis pembangunan dan tujuan dari pembangunan yang selama

Republik Indonesia terbentuk dirancang oleh pemerintah pusat. Posisi ini menyebabkan desa memiliki demikian banyak "bos" dengan kepentingan yang berbeda. Tragisnya "para bos" menggunakan desa sebagai alasan pembenar untuk meminta sumbangan, atau memperbesar "tagihan" ke pemerintah pusat seperti dalam kasus dana‐dana Inpres, sekalipun bantuan itu tidak pernah sampai atau sekalipun sampai ke tangan masyarakat desa jumlahnya sudah jauh berkurang. Otonomi desa menghilang. Masyarakat desa yang secara historis terbentuk secara independen, yang menjadi cikal‐bakal terbentuknya masyarakat yang lebih besar lagi mulai dari kecamatan, kabupaten, propinsi, bahkan negara, lambat laut kehilangan independensinya, kehilangan otonominya. Desa menjadi obyek pengaturan melalui unifikasi peraturan yang ditetapkan atas nama konsep negara kesatuan.

Sebagaimana telah dipaparkan di muka tampak bahwa terkait dengan posisi desa dalam ketatanegaraan Indonesia masih dalam proses pencarian bentuk yang sesuai dengan kondisi yang ada. Mulai dengan IGO dan IGOB, yang berdasarkan ketentuan peralihan terus berlaku –secara faktual bukan yuiridis, karena secara yuridis sampai dengan terbitnya UU 5/1979 sudah dicabut UU Desapraja‐ sampai saat ini, di bawah UU 32 Tahun 2004 tampak jelas pe ncarian bent uk it u.

Berikut ini merupakan ringkasan wacana‐wacana beserta pendukungnya yang terkait dengan kedudukan desa sepanjang sejarah perkembangan pemerintahan desa di Indonesia sampai saat ini yang dihimpun Sutoro Eko dan AA GN Ari Dwipayana (2007: 4‐5) sebagai berikut :