Judicial Preview dan Konsistensi Konsepsi Negara Hukum di Indonesia

2. Judicial Preview dan Konsistensi Konsepsi Negara Hukum di Indonesia

Judicial preview atau pratinjau yudisial sebagaimana telah dijelaskan desain dan peluangnya pada pembahasan sebelumnya merupakan salah satu cara menuju konsistensi konsepsi

negara hukum di Indonesia. Keberadaan pratinjau yudisial sebelum pengesahan UU memberikan jaminan bahwa norma UU sebagai penjabaran lebih lanjut dari konstitusi tetap sejalan dengan semangat konstitusi. Analisis yuridis konstitusional telah diulas secara lengkap pada bagian sebelumnya, sehingga untuk semakin menasbihkan kesesuaian pratinjau yudisial dengan sistem ketatanegaraan Indonesia diperlukan analisis secara yuridis teoritis terkait konsepsi negara hukum sebagai asas dasar bernegara sebagaimana

tertuan g dalam konstitu i. s

Secara yuridis teoritis, dalam dianalisis dengan membandingkan kesesuaian pratinjau yudisial dengan konsepsi negara hukum di Indonesia. Secara sederhana ciri‐ciri konsepsi negara hukum baik dari rechtsstaat maupun rule of law dapat disimpulkan adanya

3 (tiga) hal pokok sebagai jantung dari konsepsi negara hukum. Pertama, perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dengan kriteria perlindungan hak asasi manusia keberadaan pratinjau yudisial tentu merupakan mekanisme yang sejalan dengan semangat untuk melindungi hak‐hak asasi manusia yang dituangkan dalam konstitusi. Keberadaan pratinjau yudisial yang memprevensi adanya norma UU yang bertentangan dengan UUD sejatinya hanya merupakan upaya untuk melindungi hak‐hak konstitusional warga negara. Dengan demikian, mekanisme pratinjau yudisial sejalan prinsip perlindungan hak asasi manusia sebagai bagian dari perwujudan konsepsi negara hukum.

Kedua , pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia. Kriteria kedua terkait pemisahan kekuasaan sejatinya merupakan upaya preventif untuk

mencegah muncul penyelenggara kekuasaan negara yang otoritarian dan berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara. Dalam konteks ini, pratinjau yudisial memang dinilai sebagai mekanisme yang mencampuradukkan kekuasaan negara yudikatif dan legislatif. Namun, harus disadari bahwa Indonesia tidak menerapkan pemisahan kekuasaan secara penuh. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya 50:50 formula dalam pembentukan UU di Indonesia. Keterlibatan Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif dalam mengajukan RUU dan pembahasan RUU tentu merupakan perwujudan bahwa Indonesia mencegah muncul penyelenggara kekuasaan negara yang otoritarian dan berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara. Dalam konteks ini, pratinjau yudisial memang dinilai sebagai mekanisme yang mencampuradukkan kekuasaan negara yudikatif dan legislatif. Namun, harus disadari bahwa Indonesia tidak menerapkan pemisahan kekuasaan secara penuh. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya 50:50 formula dalam pembentukan UU di Indonesia. Keterlibatan Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif dalam mengajukan RUU dan pembahasan RUU tentu merupakan perwujudan bahwa Indonesia

Ketiga , pemerintah berdasarkan peraturan‐peraturan (wetmatigheid van bestuur) atau keterikatan semua organ negara pada undang‐undang dasar. Dalam perspektif rule of

law , prinsip tersebut dimaknai dengan konstitusi merupakan hasil dari the ordinary law of the land, sehingga hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak‐hak individu. Prinsip ini sekali lagi merupakan refleksi dari adanya perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara yang diatur dalam konstitusi. Prinsip ini mengharuskan ketertundukan seluruh komponen negara terhadap konstitusi, sehingga konstitusi dapat dimaknai sebagai the supreme law of the land. Prinsip inilah yang kemudian dimaknai sebagai konstitusionalisme dalam kehidupan bernegara. Dengan demikian konstitusionalisme merupakan konsekuensi logis dari pilihan untuk bernegara hukum. Dengan pemahaman seperti itu, sangat berpotensi norma‐norma konstitusi dimaknai sempit sebatas pada yang tersurat dalam pasal‐pasal konstitusi. Dikaitkan dengan pratinjau yudisial, maka sudah dapat dipastikan pratinjau yudisial tidak memiliki tempat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia karena mekanisme pratinjau yudisial belum dikenal. Namun demikian, belum tentu pratinjau yudisial tidak dapat dimasukkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal tersebut terbukti pada pembahasan sebelumnya dengan jelas mampu membuat terobosan celah hukum untuk memasukkan pratinjau yudisial melalui legal policy DPR. Dengan mengacu pada ketiga penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa mekanisme pratinjau yudisial merupakan upaya yang memiliki kesesuaian untuk mewujudkan konsistensi negara hukum di Indonesia.