Kesimpulan dan Saran

E. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

1. Dalam internalisasi pemenuhan hak asasi budaya masyarakat adat, perlindungan terhadap pengetahuan tradisional sebagai bagian kearifan lokal dari masyarakat adat, merupakan bagian integ ral dari pe menuhan atas hak komunal masyarakat adat;

2. Perlindungan terhadap pengetahuan tradisional dilakukan dalam kerangka organisasi negara kesejahteraan, dengan menekankan pentingan peran aktif negara untuk menyusun tindakan legislasi, administrasi, dan kebijakan dalam rangka perlindungan terhadap pengetahuan tradisional yang berorientasi pada pembagian keuntungan yang adil dan berimbang;

3. Kerangka perlindungan terhadap pengetahuan tradisional dilakukan dengan: inventarisasi dan dokumentasi pengetahuan tradisional sebagai bentuk perlindungan defensif untuk melawan pendaftaran hak kekayaan intelektual yang didasarkan pada penyelahgunaan pengetahuan tradisional; penyusunan pengaturan sui generis yang mengakomodasi mekanisme perlindungan pengetahuan tradisional secara spesifik dan komprehensif; pembentukan lembaga yang berwenang dalam berfungsi sebagai otoritas nasional untuk melaksakan kebijakan perlindungan pengetahuan tradisional.

Saran

1. Pemerintah segera meratifikasi Protokol Nagoya untuk menjamin kepastian hukum dalam perlindungan terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang terkait dengan sumber daya genetik;

2. Pemerintah, bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat dan Masyarakat adat, melakukan inventarisasi dan dokumentasi terhadap pengetahuan tradisional ke dalam suatu sistem data terpadu dengan metode partisip tif; a

3. Agar pengaturan tidak saling tumpang tinding, Pemerintah perlu meninjau kembali substansi dalam RUU tentang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional, RUU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Gentik, dan RUU tentang Keankeragaman Hayati, sebagai sistem sui generis perlindungan pengetahuan tradisonal;

4. Untuk menciptakan sistem perlindungan yang efektif, perlu dilakukan perubahan terhadap Undang‐undang Nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, dengan mengakomodasi klausul tentang persyaratan pengungkapan asal‐usul (Disclosure of Origin) dalam aplikasi paten;

5. Dalam pembentukan lembaga, pemerintah perlu menginisiasi langkah koordinasi melalui kementerian yang terkait agar perlindungan terhadap pengetahuan tradisional dilakukan secara lintas sektoral dengan melibatkan instansi pusat dan daerah.

1 Kesatuan Masyarakat Hukum Adat oleh dunia internasional diterjemahkan dengan istilah Indigenous Peoples (IPs) dan merupakan konsep yang sudah berkembang sejak abad Ke‐XIV. Perkembangan berikutnya melalui Konvensi ILO

107 Tahun 1957 tentang Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat, menyatakan bahwa Masyarakat Hukum Adat adalah masyarakat tertinggal (uncivilized society) yang harus dikembangkan menjadi masyarakat modern, pada waktu itu pemikiran dunia internasional masih berpegang pada doktrin klasik Terra Nullius. Dengan berkembangnya masalah perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), Indigenous Peoples menjadi fokus penegakan HAM Internasional. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa Indigenous Peoples adalah pihak yang sering mengalami tindakan pelanggaran HAM. Di dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan rekomendasi yang dibuat Komisi PBB untuk Eliminasi Diskriminasi Rasial dan Rekomendasi tentang Penduduk Asli, mewajibkan kepada seluruh pihak untuk mengakui dan melindungi Masyarakat Hukum Adat dengan segala hak‐hak dan wilayah tradisionalnya dan larangan perampasan hak‐hak dan wilayah Masyarakat Hukum Adat dengan alasan apapun kecuali disetujui oleh Masyarakat Hukum Adat tersebut dan disertai kompensasi yang pantas, adil dan tepat. Wacana penegakan HAM inilah yang kemudian menghasilkan Konvensi ILO 169 Tahun 1989 Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent States yang menetapkan bahwa setiap pemerintah harus menghormati kebudayaan dan nilai‐nilai spiritual masyarakat asli yang dijunjung tinggi dalam hubungan mereka dengan lahan yang mereka tempati atau gunakan, dengan kata lain Indigenous Peoples adalah suatu entitas yang harus diakui dan dilindungi dengan pengakuan terhadap hak‐hak asasi Indigenous Peoples seperti hak untuk menentukan nasib sendiri, hak atas pembangunan, hak atas milik, hak hidup, hak atas kesehatan, dan sejumlah hak lain yang diatur dalam konvensi tersebut. Dengan pengaturan Konvensi ILO 169 Tahun 1989 berarti telah meralat pengaturan Konvensi ILO 107 Tahun 1957 dengan menyatakan bahwa Indigenous Peoples memiliki hak untuk hidup sesuai dengan sistem hukum dan politik yang mereka miliki.

2 Bagi Bagir Manan otonomi adalah asas sedangkan desentralisasi adalah proses atau cara. Tapi dalam literatur lain desentralisasi disebut asas. Seperti Solly Lubis menyebut “asas desentralisasi”. Tapi yang jelas keduanya, baik

desentralisasi atau otonomi saling berkaitan erat 3 Secara etimologis Subak berasal dari kata kasuwakan, suwak. Kata suwak berasal dari kata wak, artinya bak atau saluran air mendapat preposisi su yang berarti baik. sehingga kata suwak atau subak secara harafiah berarti saluran air yang baik. Dalam perkembangannya Subak adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosioagraris ‐religius, yang diketuai pekaseh merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah. Nilai tradisional Subak terlihat dari penerapan falsafat Tri Hita Karana berupa hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (parhyangan), hubungan antara manusia dengan manusia (pawongan atau bhuana alit), dan hubungan manusia dengan alam (palemahan atau bhuana agung). Perkembangan terbaru menurut harian Kompas tanggal 3 Juli 2012, subak ditetapkan sebagai situs warisan budaya dunia oleh Perserikatan Bangsa‐Bangsa (PBB) melalui Unesco pada akhir bulan Juni 2012.

4 Kearifan lokal adalah tata nilai yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat lokal (indigenous people atau adat community) sebagaimana tercermin dalam sistem pengetahuan, teknologi, institusi, tradisi‐tradisi termasuk

sistem norma hukum lokal, yang secara nyata dioperasikan untuk menjaga keteraturan hubungan masyarakat dengan penciptanya, hubungan antar warga masyarakat dan masyarakat dengan lingkungannya.

5 Ketentuan ini dalam UUD 1945 diatur dalam Pasal 18 B ayat (2). Berikut kutipan lengkap pasal tersebut : Negara mengakui dan menghormati kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak‐hak tradisionalnya sepanjang

masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang‐undang.

6 Dalam sistem kelembagaan HIPPA terdiri atas unsur: Ketua, Wakil Ketua, sekretaris, Bendahara, Pelaksana Teknis (ulu‐ ulu P3A), Ketua petak (blok). 7 1 blek setara dengan 15 kg. gabah atau kalau diuangkan sekitar Rp. 100.000 8 Bila disimak secara mendalam sebenarnya sejak abad ke IX sudah terjadi imigrasi secara besar‐besaran dari Jawa ke Bali sampai abad ke XVI yang sangat terkait dengan kedatangan Islam pada masa Kerajaan Majapahit. (Robequqin,

1959: 240‐241). Pada saat inilah diperkirakan terjadi perkembangan pertanian sawah yang dikelola oleh lembaga Subak yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari sawah kering atau tegalan yang sebelumnya dimungkinkan pernah dilaksanakan di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Timur sehingga teknologi ini kemudian berkembang di Bali melalui organisasi Subak.

9 Pandalungan merujuk kepada suatu kawasan di wilayah pantai utara dan bagian timur Provinsi Jawa Timur (Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo dan Bondowoso) yang mayoritas penduduknya berlatar

belakang budaya Madura dan Jawa sebagai komunitas hibrida. 10 Dalam terminologi Pasal 18 UUD 1945 (sebelum Amandemen), susunan asli terdiri dari dua bentuk : (1) Zelfbesturende landschappen yaitu kerajaan‐kerajaan, dan (2) volksgemeenschappen, yaitu : desa atau nama lain seperti nagari, marga, dusun dan lain‐lain. Susunan asli dalam makalah ini memfokuskan pada konteks desa atau nama lain dalam konsep UUD 1945 (selanjutnya lihat, Yando Zakaria, (2012) makalah : Menggagas Arah Kebijakan dan Regulasi tentang Desa yang Menyembuhkan Indonesia, Disampaikan pada Simposium Konsolidasi Jaringan Advokasi RUU Desa yang diselenggarakan oleh Pengembangan Pembaruan Desa.

11 Badan hukum dalam ilmu hukum adalah entitas pembawa hak dan yang tak berjiwa dapat melakukan sebagai pembawa hak manusia, misalnya : dapat melakukan persetujuan‐persetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali

terlepas dari kekayaan anggotanya, (Kansil, 2002 : 86). Selanjutnya, Kansil juga menyebutkan jenis‐jenis Badan hukum, yaitu Badan Hukum Publik seperti Negara sampai dengan Desa dan Badan Hukum Privat yang Badan Hukum Privat Eropa dan Badan Hukum Privat Indonesia (Kansil, 2002 : 86).

12 Dalam tulisan ini istilah masyarakat adat, masyarakat hukum adat dan kesatuan masyarakat hukum adat digunakan secara bergantian 13 Selengkapnya tentang Indeks Negara Hukum (rule of law index) dapat dilihat di http://worldjusticeproject.org/rule ‐ of ‐law‐index/ 14 Peraturan tentang Kode Etik Hakim Konstitusi diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 9/PMK/206 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Sedangkan untuk Hakim Agung dan Hakim diatur

dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia No. 047/KMA/SKB/IV/2009 ‐2 SKB/P.KY/IV/2009.

15 Kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk

menguji undang‐undang terhadap Undang‐Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang‐Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang‐Undang Dasar

16 Sebenarnya Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 hanyalah salah satu ketentuan di dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan keberadaan dan hak‐hak masyarakat adat. Selain itu terdapat Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: Identitas

budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. 17 Dalam tulisan ini Domein verklaring, deklarasi domein, teori domein, prinsip domein, teori domein digunakan secara bergantian untuk menunjuk kepada satu hal yang sama, yaitu konsepsi pemilikan tanah oleh penguasa pada masa Hindia Belanda.

18 Pasal 520 BW Hindia Belanda Timur yang sekarang menjadi Kitab Undang‐undang Hukum Perdata (KUHPerdata) berbunyi: Pekarangan dan barang tak bergerak lainnya yang tidak dipelihara dan tidak ada pemiliknya, seperti halnya

barang seseorang yang meninggal dunia tanpa ahli waris atau yang warisannya ditinggalkan, adalah milik negara

(Termorshuizen ‐Arts, 2010).

19 Makalah yang disampaikan pada Konferensi dan Dialog Nasional dalam rangka Satu Dasawarsa Amandemen UUD 1945 dengan tema “NEGARA HUKUM INDONESIA KE MANA AKAN MELANGKAH?”. Diselenggarakan di Jakarta, tanggal

9 ‐10 Oktober 2012. Khususnya pada Panel 6 yang bertajuk “Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Adat/Lokal di Indonesia”, yang dikelola oleh Perhimpunan untuk Hukum dan Masuarakat (HuMA). Kehadiran saya pada konferensi dimaksud dimungkinkan oleh dukungan biaya dari Yayasan PUSAKA, Jakarta.

20 Dikutip dari Indrayana, 2007. Hal. 14. 21 Lihat Kurnia Warman, Idris Sardi, Andiko, dan Gamma Galudra, Studi Kebijakan Penguatan Tenurial Masyarakat

Dalam Penguasaan Hutan. World Agroforestry Centre ‐ ICRAF, SEA Regional Office and Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum yang Berbasiskan Masyarakat dan Ekologis (HuMa), 2012. Dapat diunduh melalui http://www.worldagroforestry.org/sea/publication?do=view_pub_detail&pub_no=BK0153 ‐12 22 Lihat Warman, 2010; Safitri, 2011; dan Arizona, 2011.

23 Frasa ‘hak‐hak masyarakat adat’ dalam kalimat ini dengan sengaja saya beri tanda petik mengingat masih adanya perdebatan di sejumlah kalangan yang menyangkut keberadaan, berikut persamaan dan perbedaan antara terma‐

terma ‘masyarakat adat’, ‘masyarakat hukum adat’, ‘kesatuan masyarakat hukum adat’, dan juga ’persekutuan masyarakat hukum adat’. Soal ini akan saya bahas dalam bagian lain tulisan ini. Dalam tulisan ini, untuk menunjukkan sikap saya atas keberadaan terma yang berbeda itu, akan menggunakannya secara bergantian, atau ‘gabungan’ dari padanya.

24 Zakaria, 2010. 25 Pada pasal dimaksud disebutkan bahwa “Hak Menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat

dikuasakan kepada daerah‐daerah Swatantra dan masyarakat‐masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan‐ketentuan Peraturan Pemerintah” (cetak tebal saya tambahkan).

26 Soal ini sebenarnya dapat menjadi kajiaan yang menarik, dan setahu saya, belum ada yang melakukannya.

27 Mengawali penyampaian makalahnya pada “Simposium Keberadaan Masyarakat Adat sebagai Subyek Hukum” yang diselenggarakan oleh HuMa dan Epistema Institute, di Jakarta, 27 – 28 Juni 2012, Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata

Negara pada Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, mengatakan bahwa, dibandingkan dengan 7 Tujuh) proses amandemen konstitusi yang pernah dipelajarinya, termasuk proses amandemen konstitusi Thailand, yang dianggap banyak pihak sebagai proses amandemen yang sempurna, agak sulit mencari alasan‐alasan yang menjadi dasar (orginal intended) dari beberapa perubahan pada pasal‐pasal UUD 1945 yang telah berlangsung sebanyak 4 (empat) kali itu (terhitung semenjak Dekrit Presiden 1959 yang memerintahkan untuk kembali pada UUD 1945 seperti sedia kala). Akibatnya, agak sulit untuk memastikan makna ataupun tujuan sesungguhnya yang dimaksudkan oleh masing‐ masing perubahan. Boleh jadi pendapat Prof. Saldi Isra ini benar adanya. Namun, hemat saya, itu bukan berarti tertutup kemungkinan para pihak untuk menggali orginal intent dari perubahan yang terjadi itu. Untuk itu, kekurangan informasi yang terdapat dalam proses‐proses formal dari proses‐proses amandemen yang dilalui, seperti yang telah tertuang ke dalam berbagai risalah sidang ataupun masukan tertulis dalam berbagai tahapan amandemen, seperti kegiatan rapat dengar pendapat umum (RDPU), catatan kunjungan ke daerah, dan seterusnya, perlu atau bisa dilengkapi dengan wacana yang berkembang di luar proses‐proses formal amandemen itu. Wacana yang berkembang di luar ruang formal ini, menurut saya, bisa menjadi pengganti. Saya percaya, perubahan‐perubahan yang terjadi itu tidak saja muncul sekonyong‐konyong dalam proses‐proses formal amandemen dimaksud, melainkan sudah berakumulasi dari masa‐masa sebelumnya, seiring pengalaman yang dialamai oleh berbagai pelaku, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam proses‐proses formal. Dengan pandangan yang demikianlah makalah ini disusun.

28 Sengketa di sini dimaknai sebagai "hubungan antara dua pihak atau lebih (baik individu maupun kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki sasaran‐sasaran yang tidak sejalan" (Chris Mitchel dalam Simon Fisher, 2000).

Lihat juga Gamal Pasya dan Martua T. Sirait, 2011. Analisa Gaya Bersengketa. Panduan Ringkas untuk Membantu Memilih Bentuk Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bogor, Indonesia The Samdhana Institute, hal.

5. 29 Misalnya, lihat Fakih, 1995.

30 Dalam Penjelasan untuk Pasal 18 (asli), khususnya pada Angka II, disebutkan bahwa “Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan“Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa

dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah‐daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah‐daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak‐hak asal‐usul daerah tersebut”. Oleh sebab itulah, dalam tulisan ini, disamping penggunaan terma (kesatuan) masyarakat (hukum) adat’ sebagaimana telah dijelaskan apda Catatan Kaki No. … terdahulu, berdasarkan lasan yang akan saya kemukakan dalam kesempatan lain dalam tulisan ini, saya juga menggunakan frasa ‘desa atau disebut dengan nama lain’ sebagai pengganti terma‐terma yang berhubungan dengan (kesatuan) masyarakat (hukum) adat itu. Seperti yang juga akan saya jelaskan lebih lanjut, bagi saya unit sosial dari (kesatuan) masyarakat (hukum) adat itu HANYALAH menyangkut unit sosial ‘desa atau disebut dengan nama lain’ berikut unit‐unit sosial yang berada dalam lingkup ‘desa atau disebut dengan nama lain’ itu. Seperti famili, keluarga, dan seterusnya. Tidak termasuk unit‐unit sosial yang berada di supra‐desa atau disebut dengan nama lain itu. Seperti ‘kerajaan‐ kerajaan nusantara’, misalnya.

31 Lihat juga seluruh makalah yang disampaikan pada, antara lain, pada “Simposium Keberadaan Masyarakat Adat sebagai Subyek Hukum” yang diselenggarakan oleh HuMA dan Epsitema, di Jakarta, tanggal 17 – 28 Juni 2012 lalu. 32 Lili Romli, 2007, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 8, sebagaimana dikutip Isra, 2012: 4. 33 Dua UU lahir pada masa pasca‐reformasi 1998, yakni UU No. 22 Tahun 1999 dan UU no. 32 Tahun 2004. Tujuh lainnya berlaku sebelum masa reformasi 1998. Lihat Zakaria (2000), Bab 2, catatan kaki No. 41. 34 Lihat Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah: Pengaturan Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam

Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Cermati pula kembali kutipan dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1999 tentang Pokok‐pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara terdahulu.

35 Risalah resmi tentang proses amandemen Pasal 18 ini dapat ditemukan dalam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010. Khususnya Bab 5, hal. 1107 – dst. 36 Mahkamah Konstitusi, 2010: 1158 – 1159. 37 Mahkamah Konstitusi, 2010: 1244.

38 Kecuali saya sebutkan lain. 39 Sebuah saran yang coba diterapkan dalam tulisan ini.

40 Philipus M. Hadjon, “Kedudukan Undang‐Undang Pemerintahan Daerah dalam Sistem Pemerintahan”, makalah disampaikan dalam Seminar Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, diselenggarakan oleh

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Azazi Manusia Republik Indonesia, bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Azazi Manusia Provinsi Jawa Timur, Surabaya, 9 – 10 Juni 2004, hal. 1, sebagaimana dikutip oleh Pietersz, 2010: 10.

41 Sebagaimana dikutip oleh Pietersz, 2010. 42 Terma ‘masyarakat adat’ ini dipromosikan oleh kalangan masyarakat sipil yang peduli tepat 20 tahun lalu. Secara

lebih sistimatis terma ini dirumuskan dalam sebuah sarasehan yang diselenggarakan oleh sejumlah ORNOP dan individu yang concern yang tergabung dalam Jaringan Pembelaan Hak‐hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) di Tana Toraja, pada tahun 1993. Tentang peristiwa ini lihat Zakaria 2000 dan 2004.

43 Sebagaimana dikutip oleh Pietersz, 2010. 44 Lihat Mahkamah Konstitusi, 2010. Naskah Komprehensif Amandemen UUD 1945, Buku 4, Jilid 2, hal. 1356 ‐ 1357. 45 Sebagaimana dikutip oleh Pietersz, 2010. 46 Lihat Risalah Lengkap Keputasan JR tentang HP3. 47 Sebagaimana dikutip oleh Pietersz, 2010.

48 Satjipto Rahardjo, Hukum Adat dalam Negara Kesatuan RI,” Makalah Bahan Bacaan Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semarang, 2006: 12, sebagaimana dikutip dalam Syamsudin, 2008. 49 Uraian lengkap rumusan Assiddiqqie yang coba mengkombinasikan soal kenyataan Masyarakat (M), Tradisi (T), dan Catatan atas tradisi dimaksud (C), dalam rangka mengkaji apakah masyarakat adat itu ada atau sudah punah, lebih

lanjut lihat Assiddiqqi, 2006: 75 – 85. 50 Sebagaimana dikutip dalam Syamsudin, 2008.

51 Sebagaimana dikutip dalam Syamsudin, 2008. 52 Sebagaimana dikutip dalam Syamsudin, 2008.

53 Lihat Pasal 1 butir o pada UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah. 54 Sebagaimana dikutip oleh Pietersz, 2010. 55 Pandangan KARSA ini tentunya berbeda dengan pandangan pihak Pemerintah, sebagaimana yang dapat dilihat

dalam proses penyusunan dan proses legislasi RUU Desa yang tengah berlangsung saat ini (lihat Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen (sekarang Kementerian) Dalam Negeri, 2007). Hal ini, sebagaimana yang akan dibahas lebih lanjut dalam bagian lain, keragaman tafsir soal ini terus berlanjut pada masa pasca amandemen. Bagaimana bentuk akhir dari pertarungan makna ini layak untuk ditunggu, baik melalui rumusan UU Desa yang kemudian diundangkan maupun, mungkin, hasil judicial review pasca ‐pengundangan UU Desa itu sendiri. Atau jug ahasil JR– mungkin saja – atas sejumlah UU yang berkaitan dengan sumberdaya alam dan agrarian.

56 Uraian lebih lengkap silahkan lihat KARSA, 2012. Sebagai catatan tambahan, saya adalah alah satu anggota tim yang merumuskan ‘kertas kerja’ dimaksud. 57 Versi terakhir tertanggal Mei 2012 menjadi bahan/dokuen resmi yahg dibahas dalam sidang‐sidang Rapat Dengar Pendapat Umum/RDPU yang diselenggarakan oleh Panitia Khusus RUU Desa DPR RI. Baik dokumen Naskah Akademik

maupun batang tubuh RUU Desa versi Pemerintah ini telah berproses semenjak tahun 2007 lalu. 58 Perlu dicatat bahwa RUU Desa versi IRE 2008 ini adalah respons atas ‘kekecewaan’ IRE, dan juga Forum Pengembangan dan Pemberdayaan Desa (FPPD), sebuah jaringan kerja multipihak yang peduli dengan masalah desa atas RUU Desa versi Pemerintah yang muncul pada tahun 2007. Sebagaimana diketahui, dalam rangka revisi UU No. 32/2004, dengan bantuan beberapa lembaga donor, IRE cq FPPD diminta untuk turut terlibat dalam proses penyusunan NA dan RUU Desa, baik dalam bentuk melakukan sejumlah studi, lokakarya, maupun ‘dengar pendapat’ diberbagai daerah. Hasil‐hasil kerja IRE cq. FPPD ini menjadi masukan bagi Tim yang resmi bekerja untuk Kemendagri. Draf RUU Desa versi Pemerintah tahun 2007 dianggap tidak sesuai dengan fakta dan masukan yang terjadi dalam proses/kegiatan ‐kegiatan yang dilakukan IRE cq. FPPD. Sebagai pertangungjawaban secara publik atas keterlibatan IRE cq. FPPD dalam proses dimaksud, IRE cq. FPPD menerbitkan RUU Desa versi IRE tahun 2008 dimaksud.

59 Sebagaimana yang ditetapkan melalui Persetujuan Sidang Paripurna Ke‐14 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Masa Sidang IV Tahun Sidang 2010‐2011, Tanggal 15 Juli 2011, yang kemudian dituangkan ke dalam Surat

Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 /DPD RI/IV/2010‐2011 TENTANG RANCANGAN UNDANG ‐UNDANG TENTANG DESA, tertanggal 15 Juli 2011.

60 RUU PPHMA versi Bale 2012 ini adalah hasil tindaklanjut – atau respons – atas tuntutan AMAN kepada DPR RI agar tersedia kebijakan yang ‘mengakui dan melindungi hak‐hak masyarakat adat’, sebagaimana yang AMAN rumuskan

dalam naskah akademik dan RUU yang telah disusunnya. Dokumen‐dokumen yang disampaikan AMAN itu, yang secara seremonial diserahkan Sekretarus Jenderal AMAN kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyar RI, Marzuki Alie, pada kesempatan Kongres Mansyarakat Adat Nusantara IV, di Tobela, Maluku Utara, April 2012 lalu.

61 Rincian kritik saya tentang kelemahan RUU Desa versi Pemerintah, khususnya atas versi tahun 2010, dapat dilihat dalam Zakaria, 2010. 62 Sayang sekali, catatan yang disiapkan secara khusus dalam suasana yang ‘tergopoh‐gopoh’, di tengah kongres yang tengah berlangsung itu, ‘tidak dizinkan’ beredar oleh Sekretaris Jenderal AMAN dan Ketua Pelaksanan KMAN IV,

dengan alasan yang disampaikan beberapa hari setelah KMAN IV berakhir, yang ‘dirangkum dalam kalimat‐kalimat yang saling bertentangan/kontradiktif, ataupun kalimat berkelit yang sulit untuk dipahami”. Tentang hal ini silahkan periksa ‘diskusi’ di mailinglist adatlist@yahoogroups.com , utamanya pada periodeakhir April hingga tanggal 7 Juli 2012, hari berpulangnya Hedar Laudjeng di tengah suatu kegiatan yang tengah diikutinya. RIP, Bung!

63 Komunikasi pribadi, Yogyakarta, 15 Februari 2012. 64 Komunikasi pribadi. Terakhir terjadi pada 21 April 2012, di Tobelo, Halmahera Utara, Maluku Utara. 65 Silahkan ikuti diskusi pada adatlist@yahoogroups.com , mailing list resmi yang dikelola oleh Aliansi Masyarakat Adat

Nusantara, AMAN. 66 Dikutip dari Naskah Akademik ‘Rancangan Undang‐Undang Tentang Desa’, 2007, yang diedarkan oleh Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen (sekarang Kementerian) Dalam Negeri. Lihat juga Kolopaking, 2011.

67 Tinjauan mendalam atas latar belakang dan makna putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat dilihat pada Damanik, tanpa tahun. 68 Dalam komunikasi pribadi dengan Abdon Nababan terkait proses sidang‐sidang judicial review atas Undang‐Undang Nomor

27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau‐pulau Kecil, Abdon mengatakan kepada saya bahwa kehadirannya dalam sidang‐sidang itu adalah dalam kapasitasnya sebagai pribadi dan sebagai ahli dari pihak Pemerintah. Namun, yang tercatat dalam dokumen putusan sidang dimaksud, Abadon tetap dicatat sebagai Sekretaris Jenderal AMAN, lengkap dengan alamat yang sama dengan Kantor Sekretariat Jenderal AMAN, dengan status sebagai hali dari pihak Pemerintah.

69 Hal ini telah saya sampaikan dalam posting saya pada mailinglist adatlist@yahoogroups.com tertanggal 12 Juli 2012. 70 Tentang hal ini lihat Zakaria, 2012b. 71 Usul ini tentu dengan catatan bahwa defenisi tentang apa yang dimasudkan dengan ‘masyarakat adat’ oleh AMAN

perlu dipikirkan ulang secara lebih sungguh‐sungguh. Dalam sebuah draf yang pernah dihasilkan AMAN pada tahun 2011 lalu, dan setahu kami draf RUU PPMA tersebut belum lagi mengalami perubahan, ‘masyarakat adat’ didefenisikan “kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah adatnya, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum yang berbeda, baik sebagian maupun seluruhnya dari masyarakat pada umumnya.” Pada suatu kesempatan, defenisi ini pernah kami kritisi sebagai defenisi yang bisa merujuk pada satu persekutuan suku‐bangsa yang SEJATINYA tidak terorganisir ke dalam satu system pengorganisasian berdasarkan adat tertentu! Tentu masih banyak pertanyaan kritis yang bisa diajukan, namun tidak akan dilakukan dalam kesempatan ini.

72 Dalam pemanfaatan pengetahuan tradisional, hak‐hak moral dapat didefinisikan sebagai hak dari pemilik pengetahuan tradisional untuk memperoleh pengakuan yang tepat atas pengetahuan tradisional mereka. Antara lain,

hak agar pengetahuan tradisional mereka tidak diubah tanpa izin dari komunitas lokal dan agar pengetahuan tradisional tersebut tidak digunakan dengan cara‐cara yang merugikan komunitas lokal.

Panel 7

Judul pane l : Peran Hukum dalam Mewujudkan Keadilan Lingk ungan P engelola

: Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)