Pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental. (Sri Soemantri, 2006: 60).

c. Pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental. (Sri Soemantri, 2006: 60).

Apabila dilihat dari konteks Indonesia maka konstitusi tersebut adalah UUD 1945. Dalam hukum positif Indonesia ketentuan tersebut dituangkan dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011. Penempatan UUD 1945 sebagai norma tertinggi dalam sistem perundang‐undangan Indonesia mengandung konsekuensi berdasarkan asas lex superior derogat legi inferiori. UUD 1945 merupakan dasar pembentukan dan keberlakuan bagi TAP MPR, undang‐undang/Perpu, PP, Perpres, Perda Provinsi, dan Perda Kabupaten/Kota. Selain peraturan tersebut juga meliputi peraturan lain yang dibentuk berdasarkan peraturan yang lebih tinggi atau yang berdasarkan kewenangan. Dengan pengertian lain segala peraturan lain di bawah UUD 1945 tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia.

Untuk menjamin tegaknya supremasi konstitusi maka dibentuklah Mahkamah Konstitusi yang berperan sebagai the guardian of the constitution. Kewen angan MK diatur dalam P asal ayat (1) 24C UUD 1945 menyatakan bahwa:

“Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang‐undang terhadap Undang‐Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang‐Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Melihat kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada MK, maka Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian undang‐undang terhadap UUD 1945.

Ketentuan tersebut tentu tidak menimbulkan masalah jika pengujian dilakukan terhadap undang‐undang yang secara pengertian formal dan material produk tersebut adalah undang‐undang. Namun apabila undang‐undang tersebut tidak memiliki kedua pengertian tersebut atau tidak terdapat salah satu pengertian tersebut maka akan menimbulkan permasalahan. Salah satu dari undang‐undang tersebut adalah undang‐undang yang merupakan hasil ratifikasi perjanjian internasional. Problematika‐problematika yang timbul dalam perjanjian internasional yaitu sebagai berikut:

Pertama, kewenangan pengujian terhadap undang‐undang ratifikasi. apakah MK sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan pengujian undang‐undang terhadap UUD juga memiliki kewenangan pengujian terhadap undang‐undang ratifikasi.

Untuk melihat kewenangan tersebut maka harus dilihat terlebih dahulu dilihat hak menguji tersebut ada atau tidak. Baik didalam kepustakaan, maupun dalam praktek dikenal adanya dua macam hak menguji, yaitu hak menguji formal dan hak menguji material. Menurut Sri Soemantri “yang dimaksud dengan hak menguji formal ini adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang‐undang misalnya terjelma melalui cara‐cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundangan atau tidak.” (Sri Soemantri, 1972: 9).

Jika ditinjau dari hak menguji formal, Menurut Pasal 1 Undang‐undang Nomor

12 Tahun 2011 “Undang‐Undang adalah Peraturan Perundang‐undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.” Secara formal maka undang‐undang ratifikasi merupakan undang‐undang karena dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden. Sehingga MK memiliki hak menguji secara formal.

Selanjutnya harus dilihat apakah MK juga memiliki hak menguji secara material. “Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki kemudian menilai suatu peraturan perundang‐undangan isinya sesuai atau Selanjutnya harus dilihat apakah MK juga memiliki hak menguji secara material. “Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki kemudian menilai suatu peraturan perundang‐undangan isinya sesuai atau

Melihat rumusan tersebut di atas, maka hak menguji material menitikberatkan kepada peraturan atau isi dari suatu peraturan perundang‐ undangan. Dalam undang‐undang ratifikasi, isi undang‐undang tersebut merupakan perjanjian internasional. Dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional (treaty) didefinisikan sebagai:

“Suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrument tunggal atau dua atau lebih instrument yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya. (Boer Mauna, 2005: 84).”