Pemberlakuan Peradilan Adat dalam Konflik Sumber Daya Alam dan Renspon

C. Pemberlakuan Peradilan Adat dalam Konflik Sumber Daya Alam dan Renspon

Negara Penghapusan keberadaan peradilan adat dan peradilan desa oleh hukum negara berdampak

akan pengingkaran terhadapnya. Khususnya apabila kemudian perkara yang dihadapi cukup besar dan terkait dengan pengelolaan dan atau penguasaan sumber daya alam oleh masyarakat adat, maka akan nampak respon hukum negara melalui sistem peradilannya untuk mengingkari keberadaan peradilan adat. Sementara itu dalam berbagai proses yang sifatnya individual dan tidak mengganggu kepentingan pemerintah, seperti apa yang dapat dilihat dari hasil penelitian World Bank akan dibiarkan, bahkan mungkin digunakan untuk pencapaian kepentingan‐kepentingan pemerintah.

Di bawah ini disampaikan 3 buah kasus di Kalimantan Barat terkait pemberlakuan pe radilan adat di sektor sumber daya alam dan bagaimana respon negara terhadapnya:

1. Kasus Dayak Limbai Katemenggungan Siyai vs Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya1 : Persepsi Batas Wilayah Menurut Hukum Adat vs Hukum Negara 63

Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBR) adalah taman nasional seluas 181.090 hektar dan ditunjuk oleh Menteri Kehutanan pada tahun 1992. Sejak zaman Belanda sampai tahun1990‐an wilayah ini menjadi tempat be‐umo, ritual adat, meramu, berburu, dan menanam karet, buah‐buahan, dan sumber air bersih bagi suku Dayak Limbai. Pada tahun 2007, dua orang warga dari ketemenggungan ini dipidana karena membuka ladang di wilayah adat mereka.

Kawasan TNBBBR ini terletak di jantung pulau Kalimantan, khususnya di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Secara administrative TNBBBR berada di dua wilayah propinsi yaitu Propinsi Kalimantan Barat yang meliputi kabupaten Sintang dan Kabupaten Melawi; dan Propinsi Kalimantan Tengah yang meliputi Kabupaten Kota Waringin Timur. Kawasan TNBBBR yang memiliki luas ± 181.590 hektar merupakan gabungan dari cagar alam Bukit Raya di Kalimantan Tengah dan Bukit Baka di Kalimantan Barat, sehingga kemudian disebut TNBBBR.

Sejarah penetapan dan pembentukan kawasan TNBBBR didasarkan pada beberapa kebijakan/aturan Pemerintah yang berkaitan dengan kawasan konservasi, terjadi dalam enam tahap perkembangan kebijakan pemerintah pusat, sejak tahun 1978 sampai 2000 64 . Masalah mulai terjadi sejak pemerintah secara sepihak menetapkan hutan adat Ketemenggungan Siyai menjadi wilayah Taman Nasional. Menurut Abdias, masyarakat sekitar yang tidak terlalu paham dengan Taman Nasional, pada awalnya mengira Taman Nasional tidak akan merampas hak adat mereka. Sehingga mereka tidak membuat reaksi apapun.Apalagi informasi dari pihak Taman Nasional juga mengatakan bahwa Taman Nasional tidak membatasi akses masyarakat terhadaphutannya. Namun setelah berlangsung beberapa tahun, apalagi setelah adanya larangan dan pembatasan akses warga terhadap hutan, baru warga sadar bahwa ternyata Taman Nasional telah merampas hutan mereka. Masyarakat dilarang memanfaatkan hutan untuk meramu, berburu dan membuat ladang.Hal ini jelas tidak bisa diterima masyarakat. 65

Terjadinya konflik antara masyarakat adat dan TNBBR kemudian direspon dengan cara membuat dan memperjelas batas antara Taman Nasional dan Hutan Adat masyarakat. Dilakukan pemetaan partisipatif yaitu pemetaan yang melibat masyarakat setempat tahun 1998. Peta partisipatif tahun 1998 merupakan dasar pijakan bagi semua pihak dalam melihat keberadaan Taman Nasional BBBR dan wilayah adat masyarakat. Bagi masyarakat, peta tahun 1998 adalah patokan yang menunjukan batas antara Taman Nasional dan Wilayah Adat. Namun TNBBR secara sepihak kemudian merubah batas‐batas dengan tidak berpatok pada peta partisipatif yang disepakati. TNBBR memasang patok‐patok tanda batas di kilometer 28 yang merupakan areal berladang. Disamping sebagai areal berladang dan

meramu, di kawasan tersebut terdapat “Batu Betanam” 66 yang menunjukan tanda kepemilikan masyarakat atas kawasan tersebut. Dan karena masyarakat adat patuh dengan peta 1998, maka mereka tetap melakukan aktivitasnya di wilayah adatnya seperti biasa yaitu meramu dan membuat ladang. Namun Taman Nasional dengan mendasari pada peta yang dibuatnya secara sepihak kemudian menganggap perbuatan masyarakat membuat ladang adalah pelanggaran hukum.

Pada Agustus 2007, lima orang penduduk Suku Dayak Limbai yaitu Pori,Toroh,Ibu Ocih,Ibu Tiran dan Manan‐Tumenggung Suku Dayak Limbai‐, membuka ladang di pinggiran

Sungai Ella, di jalan menuju tempat keramat BatuBetanam. Taman Nasional melaporkan kepada polisi dengan tuduhan merusak lingkungan tamannasional, yang ditindak lanjuti dan dilakukan pengecekan lokasi.Esoknya polisi lengkap bersenjata berusaha menangkap warga.Namun berhasil dihalangi tokoh masyarakat yang menyatakan bahwa warga ini masih berada dalam perlindungan adat. Polisi dan taman nasional selanjutnya meminta T oroh b in Udat dan Manan membuat surat pernyataan tidak membakar ladang.

Menurut masyarakat, wilayah tempat pembukaan ladang adalah wilayah adat suku Dayak Limbai dan yang dilakukan merupakan adalah babas muda 67 , yang telah dilakukan

secara turun temurun dalam sistem perladangan tradisional suku dayak.Klaim masyarakat ini di dasarkan sejarah turun temurun, peninggalan sejarah dan hasil pemetaan partisipatif y ang dil akukan pada 1998 yang disimpan di Kampung Sungkup.

Sebelum meninggalkan kampung, polisi dan taman nasional meminta dilakukan pertemuan di Kampung Sungkup dengan menghadirkan para pihak di kecamatan Menukung.Masyarakat menyetujui dan mendukung dilakukan pertemuan penyelesaian masalah dengan memperjelas dan menegaskan kembali batas antara wilayah adat masyarakat dengan Taman Nasional.Namun, lima hari sebelum pertemuan, polisi m enang kap Toroh, semen ra Tumenggung Manan tidak ditangkap. ta

Pertemuan yang direncanakan, diselenggarakan dan dihadiri seluruh pihak pemerintahan dan keamanan di Kecamatan Menukung. Namun pihak taman nasional sebagai pihak yang mengusulkan tidak muncul, sehingga pertemuan menjadi sia‐sia. Setelah kegagalan pertemuan pertama, dengan fasilitasi dari Kecamatan, terselenggara pertemuan dengan Taman Nasional. Dalam pertemuan ini masyarakat minta penjelasan tentang dua hal, yaitu 1) Tapal batas taman nasional dengan wilayah adat, dan batas dengan PT. Sari Bumi Kusuma yang juga berada di wilayah adat, 2) Penahanan terhadap warganya.Namun pihak Taman Nasional tidak bisa memberikan penjelasan dan keputusan, dengan alasan harus berkonsultasi dengan atasannya.Sementara Pori yang memenuhi panggilan polisi sebagai saksi, langsung ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka.

Kondisi tersebut membuat warga marah, karena wilayah yang menjadi lahan perladangan dan membuat ladang adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup dantradisi.Dan yang menjadi sasaran penahanan polisi salah satunya adalah pimpinan adat. Untuk itulah mereka melakukan protes dan mengirimkan surat kepada Taman Nasional selaku pelapor dan Polres Melawi yang melakukan penangkapan. Adapun tuntutan suku Dayak Limbai sebagai berikut:

1. Menuntut Polres untuk membebaskan warga masyarakat yang ditahan danmenyerahkan prosesnya kepada aturan adat/huku adat setempat; m

2. Menuntut Taman Nasional untuk mencabut laporannya terhadap wargamasyarakat Dayak Limbai Ketemenggungan Siyai

3. Menjatuhkan sanksi adat kepada Taman Nasional dan Polres Melawi hukum adat yang

melanggar Kesupan Adat 68 , Kesupan Masyarakat 69 , Kesupan Temenggung 70 dan

Kesupan PengurusKampung 71 . Kemudian mereka juga menjatuhkan kepada yang sama

sanksi adatPerusak nama baik Temenggung dan Masyarakat 72 .

4. Menjatuhkan sanksi adat kepada Taman Nasional berupa Hukum Adat Perampasan Hak 73 ,karenaTaman Nasional telah mengklaim Hutan Adat Masyarakat

Ketemenggungan Siyaisecara sepihak sebagai wilayah taman nasional.

Surat tersebut dibawa dan disampaikan langsung oleh tokoh adat, pengurus kampung dan masyarakat ke Taman Nasional dan Polres Kabupaten Melawi.Pihak Taman Nasional dan Polres kabupaten Melawi menolak dihukum adat dengan alasan bahwa mereka tidak tunduk ke hukum adat dan tunduk kepada hukum nasional. Sedangkan Pori dan Toro bin udat dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 50 Ayat (3) huruf e UU

Kehutanan 74 dan dihukum 7 (tujuh) bulan penjara dan denda Rp. 50.000.000. Toro bin Udat dan Pori mengajukan banding atas putusan ini.

Konflik ini telah menyebabkan suku Dayak Rimbai kehilangan akses terhadap SDA dan semakin termarginalkan. Menurut pemantauan Agustinus Agus dan Sentot Setyasiswanto ,jenis‐jenis pelanggaran utama oleh pengelola TNBBBR meliputi: Pelanggaran Hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam, hak untuk menjalankan aktivitas mata pencaharian turun temurun, hak atas bahan pangan yang layak, hak atas

perumahan, dan hak untuk menjalankan budaya turun temurun. 75 Dengan pelaku berasal dari pengelola TNBBBR, termasuk di dalamnya satuan‐satuan pengamanan hutan (Polisi Hutan),

dan Kepolisian Resort yang melakukan penangkapan dan penahanan secara sewenang‐ w enang.

Dari kasus ini kita mendapatkan gambaran bahwa :

a. Perbedaan cara pandang terhadap ruang dan wilayah antara masyarakat adat Dayak Limbai dengan pihak taman nasional. Masyarakat adat berpegang kepada pembagian ruang, wilayah, dan peruntukan mereka yang diatur menurut hukum adat, dan juga batas wilayah yang menurut masyarakat adat sudah dilakukan pada 1987 dan hasil pemetaan partisipatif yang juga mengikutkan taman nasional pada 1998. Sedangkan taman nasional berpegang pada SK Menteri Kehutanan.