KKP HAM dan “Teater Keadilan”

A. KKP HAM dan “Teater Keadilan”

Lumpuhnya penegakan hukum sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan dan tradisi sistematis penggelapan fakta dan bukti yang dilakukan oleh rezim otoriter‐totaliter Orde Baru. Tindakan itu terus dilakukan sebagai cara untuk menutupi semua warisan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan selama rezim tersebut berkuasa. Karenanya, saat sejarah (historiografi) selalu ditekuk dan dipelintir untuk kepentingan rezim berkuasa, biasanya juga terjadi banyak hambatan dalam mengungkap kebenaran dan menegakkan keadilan. Pilihannya akan jatuh pada kompromi politik. Sikap ini merupakan cara paling populer untuk menghindar dari persoalan dasar dan sama sekali bukan penyelesaian terhadap warisan kekera san, pela gg ran HAM dan kejahata masa lalu. na n

Priscilla B. Hayner mengatakan bahwa hukum (proses peradilan dan pengadilan) seringkali tidak mampu menyelesaikan secara tuntas dan memuaskan dalam mencari solusi terhadap kekerasan yang berakibat pada pelanggaran HAM dan kejahatan masa lalu warisan rezim totaliter‐otoriter dan perang saudara. Demikian tulisnya,

“Dunia kini tampaknya menghadapi masalah keadilan dan pertanggungjawaban secara terus­menerus, baik setelah akhir rezim militer atau pemerintahan represif, atau setelah perang saudara. Telah menjadi jelas bahwa terdapat sejumlah besar hal yang timbul dari kondisi­ kondisi tersebut yang tidak bisa diselesaikan secara memuaskan oleh pengadilan – bahkan bila badan peradilan bekerja dengan baik, dan tidak ada batasan dalam menghukum para pelaku kejahatan, yang jarang ditemui. Banyak pendekatan alternatif dan komplementer mengenai pertanggungjawaban secara perlahan­lahan dikembangkan. Kebutuhan konkret para korban dan komunitas yang dirusakkan oleh kekerasan tidak dapat diselesaikan dengan penuntutan, selain memberikan sedikit kelegaan bila para pelaku tersebut dibuktikan bersalah. Kondisi­kondisi institusional atau kemasyarakatan yang memungkinkan kekerasan besar­besaran untuk terjadi – struktur militer, peradilan atau perundang­undangan yang seharusnya membatasi tindakan pejabat, misalnya – bisa tidak berubah meskipun pemerintahan berganti menjadi lebih demokratis dan kurang menindas. Banyak pertanyaan tetap tidak terjawab, tentang apa yang terjadi pada masa penindasan, dan ketegangan antar­komunitas tetap ada, malah semakin parah, jika diabaikan begitu saja.” (Hayner, 2005 : 22).

Refleksi Hayner tersebut sangat relevan dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia. KontraS dan ICTJ (International Center for Transitional Justice) mengeluarkan laporan evaluasi terkini bagaimana kegagalan Indonesia dalam menyelesaikan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan di masa lalu, termasuk dalam kasus tragedi kemanusiaan di Timor‐Leste. Dalam laporan yang diberi judul“Keluar Jalur/Derailed” tersebut ada bagian penting yang menyoroti hasil kerja Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) HAM antara Indonesia dan Timor‐Leste. Demikian dituliskan dalam laporan tersebut:

“Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) yang merupakan komisi bilateral Indonesia dan Timor­Leste untuk pelanggaran HAM di Timor Timur tahun 1999, menggelar sejumlah dengar pendapat publik (public hearing) yang bermasalah karena orang yang diduga sebagai pelaku kekerasan diberi peluang untuk menghadirkan versi berbeda yang tak terbantahkan dihadapan media nasional. Meski begitu, Komisi ini menemukan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk pembunuhan, perkosaan, dan penyiksaan memang dilakukan oleh kelompok milisi dengan dukungan dan keterlibatan militer, polisi dan otoritas sipil Indonesia. Diterimanya laporan Komisi ini oleh Presiden dari kedua negara menunjukkan pergeseran dramatis sikap pemerintah Indonesia yang sebelumnya menyangkal tanggung jawab atas kekerasan di Timor Timur. Namun, penerimaan laporan tersebut diduga bukan dilakukan sebagai upaya positif menuju pertanggungjawaban atas kejahatan yang terjadi, tapi lebih sebagai perjanjian ‘bawah tangan’ untuk menutup pintu keadilan atas kekerasan di Timor Timur. Sehingga mengabaikan hak­hak korban sebagaimana dijamin dalam hukum internasional .” (ICTJ (International Center for Transitional Justice) dan KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), Maret 2001: 3).

Masih dalam konteks yang sama, Suparman Marzuki dalam penelitiannya menegaskan bahwa KKP HAM antara Indonesia dan Timor‐Leste mengalami kerancuan dan cacat sejak penyusunan Kerangka Acuan (TOR). Kelemahan mendasar dari KKP HAM yang mendapat kritik tajam, yaitu: (a) tidak membedakan antara kategori pelaku dan kejahatan yang tingkatannya berbeda; (b) diberikannya kewenangan untuk merekomendasikan amnesti, tetapi dibatasinya mekanisme akuntabilitas dan tidak disebutnya reparasi; (c) diberikannya akses bagi Komisi terhadap bukti‐bukti rahasia (confidential evidence) yang dikumpulkan melalui mekanisme keadilan transisi sebelumnya; (d) keprihatinan berkaitan kemandirian Komisi dari pemerintah Timor‐Leste dan Indonesia; dan (e) lemahnya konsultasi publik yang dilakukan dalam pembuatan TOR, serta kurangnya dukungan publik di Timor‐Leste terhadap proses KKP. (Marzuki, 2012: 197).

Pembentukan KKP HAM, semula ada niatan baik untuk memperbaiki kegagalan Pengadilan HAM ad hoc kasus Timor‐Leste yang sangat mengusik rasa keadilan rakyat Timor‐Leste. Namun dengan tidak dibukanya peluang bagi tuntutan hukum(an) dan pertanggungjawaban bagi para pelaku pelanggar(an) HAM dan kejahatan kemanusiaan di Timor‐Leste, maka KKP HAM tidak lebihnya sebuah panggung teatrikal. Pertunjukkan yang akhir ceritanya sudah bisa ditebak yaitu membebaskan para pelaku pelanggar(an) HAM dan kejahatan kemanusiaan di Timor‐Leste bebas dari jerat hukum(an) dan tanggung jawabnya sebagai individu. Selain itu, ada gagasan dasar yang sangat mengganggu akal sehat kemanusiaan berkaitan dengan pembentukan KKP HAM. Di dalam TOR awal dikatakan bahwa pengadilan akan melukai usaha rekonsiliasi dan persahabatan antara Timor‐Leset dan Indonesia. Maka dengan demikian, KKP HAM sebenarnya tak ubahnya sebuah kedok untuk memberikan impunitas kepada para pelaku pelanggar(an) HAM dan kejahatan kemanusiaan berat di Timor‐Leste dalam skenario besar yang sangat indah: rekonsiliasi dan persahabatan.

Tidak adanya rumusan yang detail dan lengkap dalam kerangka acuan KKP HAM untuk menyelidiki pelaku pelanggar(an) HAM dan kejahatan kemanusiaan sampai dalam wilayah kewenangan hukum jelas merupakan usaha sistematis dari Komisi ini untuk segera mengubur persoalan HAM dan kejahatan kemanusiaan masa lalu di Timor‐Leste. Dan yang paling menyedihkan sejak awal KKP HAM dengan sengaja melupakan keberadaan para korban dan penyintas. Kelompok ini tentu saja menuntut agar “kebenaran dan keadilan” bisa benar‐benar disambungkan antara “logika dan perasaan”. Namun, pada praktinya, mereka harus menerima kenyataan betapa hukum benar‐benar lumpuh. Mengapa hukum menjadi lumpuh? Karena rezim (militer) Orde Baru berhasil dengan gemilang melakukan pembangunan (kekerasan) di Timor‐Leste. Sebagai fakta sejarah yang tidak terbantahkan, selama

24 tahun rezim (milter) Orde Baru membangun “fisik” Timor‐Leste, namun sekaligus juga merusak dan menghancurkan kehidupan “psikis”‐nya selama 24 tahun invasi di wilayah tersebut. Dan penghancuran “psikis” rakyat Timor‐Leste memuncak saat terjadi proses alih kekuasaan pada tahun 1999.

Joseph Nevins menggambarkan bagaimana kekerasan diwujudkan sebagai ungkapan sifat kekanak‐kanakan rezim (militer) Orde Baru. Legalisasi kekerasan dalam proses alih kekuasaan di Timor‐Leste benar‐benar telah membuat hukum lumpuh. Demikian tulisnya:

Jose Ramos‐Horta sebelumnya memandang teror itu sebagai pelaksanaan dari ancaman lama pihak Indonesia, “Sebelum penarikan [Indonesia] mereka mau menimbulkan kehancuran luas dan destabilisasi seperti yang mereka janjikan”, jelasnya pada 2 Februari 1999. “Kami terus­menerus mendengarnya selama bertahun­tahun dari tentara Indonesia di Timor Timur. Mereka mengatakan kepada rakyat kami bahwa jika suatu hari mereka harus pergi mereka akan menghancurkan seluruh Timor Timur.” (Nevins, 2008: 112‐113).

Teror dan ancaman tersebut sungguh direalisasikan oleh (militer) Indonesia. Kebrutalan dan kekerasan aparat (militer) negara Indonesia secara leluasa dilakukan karena mendapat legalitas dalam ingatan sejarah. Legalitas aparat (militer) negara Indonesia untuk melakukan kekerasan di Timor‐Leste belum pernah mendapat counter­memory yang menyatakan bahwa tindakan itu adalah salah dan secara moral keliru. Maka dari itu, adanya data, bukti, dan fakta yang cukup kuat untuk mengungkapkan kebenaran, ternyata masih berujung pada kenyataan negatif pada usaha untuk menuntut keadilan yang dikehendaki para korban. Dalilnya pun akan berbunyi demikian: pengungkapan kebenaran ternyata tidak secara niscaya diikuti oleh perwujudan keadilan. Karena itu, pembentukan KKP HAM antara Indonesia dan Timor‐Leste semakin menegaskan bahwa Komisi ini dibentuk sebagai usaha “pura‐pura” untuk mewujudkan keadilan bagi para korban. Maka, Komisi ini bukan tempat untuk menjawab keadilan, namun lebih ruang untuk meremukkan konsep kead an itu send i. il ir

Dari kenyataan ini, penyelesaian pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan berat masa lalu harus bisa melampuai ruang pengadilan. Seperti dikatakan oleh Catherine M. Cole demikian,

“When addressing crimes against humanity, the law is often called upon (a) to place those crimes into the public record; (b) to convey to the public both

the documentary facts of what happened and the historical context of those crimes, and finally (c) to perform the restoration of the rule of law.” (Cole, 2007: 169).

Selain itu, kita bisa berkaca dari proses pengadilan Nuremberg, ruang pengadilan atas kasus kejahatan kemanusiaan (Holocaust) di Jerman. Pengadilan ini juga merepresentasikan apa yang disebut dengan panggung teater. Lawrence Douglas menuliskannya demikian:

“The trial was understood as an exercise in the reconstitution of the law, an act staged not simply to punish extremes crimes but to demonstrate visibly

the power of the law to submit the most horrific outrages to its sober mistrations. In this regard, the trial was to serve as a spectacle of legality, making visible both the crimes of the Germans and the sweeping neutral authority of the rule of law.” (Cole, 2007: 169).

Douglas menggunakan terminologi yang persis sama seperti dalam bahasa panggung atau teater yaitu “act”, “stage” dan “spectacle”. Penggunaan bahasa itu bukanlah sebuah kesengajaan dan kebetulan. Memang demikianlah apa yang juga kita saksikan dalam pembentukan berbagai Komisi dan pengadilan untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM dan kejahatan masa lalu. Tidak jauh bersingsut dari tampilan teatrikal, KKP HAM juga telah mempertontonkan secara sempurna dan sangat menawan akhir sebuah cerita dari remuknya keadilan bagi Douglas menggunakan terminologi yang persis sama seperti dalam bahasa panggung atau teater yaitu “act”, “stage” dan “spectacle”. Penggunaan bahasa itu bukanlah sebuah kesengajaan dan kebetulan. Memang demikianlah apa yang juga kita saksikan dalam pembentukan berbagai Komisi dan pengadilan untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM dan kejahatan masa lalu. Tidak jauh bersingsut dari tampilan teatrikal, KKP HAM juga telah mempertontonkan secara sempurna dan sangat menawan akhir sebuah cerita dari remuknya keadilan bagi

KKP HAM yang semula dibentuk untuk memperbaiki kegagalan Pengadilan HAM ad hoc akhirnya berhasil membuat “spectacle” yang sangat dramatis tentang usaha tersebut. Akhir ceritanya berhasil membuat para penonton terperangah yaitu tidak ada satu pun para pelaku pelanggar(an) HAM dan kejahatan kemanusiaan di Timor‐Leste mendapat hukuman. Dalam kasus pelanggar(an) HAM dan kejahatan kemanusiaan di Timor‐Leste hanya dua orang yang dihukum yaitu Abilio Soares dijatuhi hukum 3 tahun, namun dalam tingkat PK bebas dan Eurico Gutteres dijatuhi hukuman 10 tahun dan dalam tingkat PK juga bebas. Tokoh lain yang dimainkan dalam teater tersebut, seperti Timbul Silaen, Endar P, Adam Damiri, S. Suratman, M. Noer Muis, Yayat Sudrajat, Hulman Gultom, Sodjarwo, Herman Sedyono, Lilik Koeshardianto, Gatot Subiaktoro, Syamsudin, Sugito, Asep Kuswani, Adios Salova, Leoneto Martins, akhirnya divonis bebas. Fakta ini menjadi signifiant yang sangat keras bahwa proses pengadilan bagi kejahatan kemanusiaan sebenarnya tidak lebih dari sebuah teater keadilan. Hal ini menegaskan kembali apa yang dituliskan oleh Hannah Arendt saat dia merefleksikan proses pengadilan Adolf Eichman. Demikian katanya, “It was precisely the play aspect of the trial that collapsed under the weight of the hai r ­raising atrocities.” (Cole, 2007: 169).

Menggunakan apa yang digagas oleh Arendt, proses peradilan di ruang pengadilan bagi kejahatan kemanusiaan di Timo‐Leste berakhir bagaikan dalam sebuah panggung teater. Panggung itu menampilkan permainan yang sangat buruk bagi para korban dan pencari keadilan, namun akan memberikan sebuah “happy ending” bagi para pelaku. Tontonan yang sempat kita lihat baik dalam proses Pengadilan HAM ad hoc di Jakarta dan KKP HAM rasanya tidak bisa menjawab tuntutan mendasar atas pengalaman penderitaan yang dialami secara kolosal dan masif rakyat Timor‐Leste. Inilah kenyataan yang sangat dramatis dan selalu kita saksikan dalam usaha untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan. Penderitaan kolosal rakyat Timor‐Leste akibat pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan harus mengalami reduksi total dalam skenario besar dalam panggung teater yang bernama pengadilan ad hoc dan komisi rekonsiliasi dan persahabatan. Arendt menyatakan dengan dengan sangat lugas Menggunakan apa yang digagas oleh Arendt, proses peradilan di ruang pengadilan bagi kejahatan kemanusiaan di Timo‐Leste berakhir bagaikan dalam sebuah panggung teater. Panggung itu menampilkan permainan yang sangat buruk bagi para korban dan pencari keadilan, namun akan memberikan sebuah “happy ending” bagi para pelaku. Tontonan yang sempat kita lihat baik dalam proses Pengadilan HAM ad hoc di Jakarta dan KKP HAM rasanya tidak bisa menjawab tuntutan mendasar atas pengalaman penderitaan yang dialami secara kolosal dan masif rakyat Timor‐Leste. Inilah kenyataan yang sangat dramatis dan selalu kita saksikan dalam usaha untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan. Penderitaan kolosal rakyat Timor‐Leste akibat pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan harus mengalami reduksi total dalam skenario besar dalam panggung teater yang bernama pengadilan ad hoc dan komisi rekonsiliasi dan persahabatan. Arendt menyatakan dengan dengan sangat lugas