Peluang Judicial Preview dalam Desain Konstitusi Indonesia

b) Peluang Judicial Preview dalam Desain Konstitusi Indonesia

Sifat absorbsi dari transplantasi mengharuskan sistem yang diimpor menyesuaikan dengan kondisi khas yang dimiliki suatu negara. Montesquieu menegaskan bahwa hukum merupakan kristalisasi dari jiwa bangsa (volksgeist) yang sudah barang tentu berbeda, unik, khas, dan memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan bangsa yang lain (Montesquieu, 1762: 7). Namun, Watson berusaha menganotasi pendapat Montesquieu dengan menyatakan bahwa transplantasi memiliki karakteristik meresap dalam pembangunan hukum suatu negara (Watson, 1974: 21). Lebih lanjut dapat ditelaah desain konstitusi Indonesia untuk menerima suatu sistem hukum baru, khususnya terkait judicial preview atau pratinjau yudisial.

Dalam konteks desain konstitusi, Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang relatif terbuka terhadap adanya transplantasi hukum, yang dibuktikan dengan susunan kekuasaan negara yang mengadopsi trias politica dengan pemisahan 3 (tiga) cabang kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif sejak awal Indonesia merdeka. Walaupun dalam perkembangan kekinian, cabang kekuasaan negara tidak lagi terkungkung dalam paradigma trias politica dikarenakan banyaknya kritik dan ketidakpuasan terhadap kinerja ketiga cabang kekuasaan tersebut (Asshiddiqie, 2010: 20). Dampaknya dibentuk lembaga negara baru yang melaksanakan sebagian fungsi hasil penyapihan dari fungsi cabang kekuasaan negara dalam kerangka trias politica, yang berdampak pada lahirnya cabang kekuasaan negara keempat (the fourth branch of government) (Fisher, 1998: 153; Campbell, 1998: 161‐162). Pun, menerapkan pemisahan kekuasaan, ternyata Indonesia tidak secara ketat mengadopsi sistem tersebut, karena dalam desain konstitusi Indonesia juga turut menerapkan ajaran check and balances yang diterapkan di Amerika Serikat dalam hal interaksi antar cabang kekuasaan. Pemisahan kekuasaan yang menuntut adanya tembok separasi yang jelas di antara cabang kekuasaan, dimodifikasi dengan adanya penghubung di antara cabang kekuasaan, sehingga di antara masing‐masing cabang dapat melakukan saling kontrol saling imbang ketika menjalankan kewenangannya, sehingga tidak ada salah satu

cabang yang lebih dominan di ntara caba g kekuasaan. a n

Beranjak dari uraian singkat di atas, terlihat bahwa sejatinya desain konstitusi Indonesia tidak menutup diri dari perkembangan ketatanegaraan dengan melihat pada praktik sukses di negara‐negara lain. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Roscoe Pound yang menyatakan, “history of a system of law is largely a history of borrowings of legal materials from other legal systems and of assimilation of materials from outside of the law” (Pound, 1938: 94). Bahwa sistem hukum sebagian besar merupakan “pinjaman” dari sistem hukum lain dan percampuran dengan hal‐hal di luar hukum. Dengan begitu, secara desain konstitusi, Indonesia terbuka dengan wacana transplantasi hukum.

Dalam memasukkan pratinjau yudisial sebagai bagian dari sistem hukum di Indonesia setidaknya terdapat 2 (dua) alternatif cara, yaitu: Pertama, melalui constitutional policy . Secara sederhana constitutional policy dapat dimaknai sebagai kebijakan konstitusional. Dalam kajian teoritik constitutional policy dapat dikategorikan sebagai bentuk dari constitutional transplants (Perju, 2012: 1306; Choudhry, 2006: 19‐25; Frankenberg, 2010: 563–579). Maksud sebenarnya adalah mekanisme untuk memasukkan pratinjau yudisial ke dalam sistem hukum Indonesia melalui pengakuan konstitusi dengan disebut secara eksplisit dalam pasal‐pasal konstitusi. Hal tersebut dikarenakan constitutional transplants dimulai dari constitutional text (Perju, 2012: 1313). Selain itu, karena mekanisme pratinjau yudisial merupakan suatu mekanisme yang melibatkan interaksi antar organ pengampu cabang kekuasaan, maka pengaturan dalam konstitusi menjadi penting, mengingat salah satu materi muatan konstitusi adalah mengatur mengenai organ‐organ utama negara, kewenangan dan hubungan di antara organ‐organ negara tersebut (Maarseveen & Tang, 1978: 232).

Sejauh ini misalnya, dapat ditelusuri kebijakan konstitusional yang hampir serupa dengan pratinjau yudisial dan telah digariskan dalam desain konstitusi, antara lain: (1) relasi antara Presiden (kekuasaan eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat (kekuasaan legislatif) dalam pembahasan rancangan undang‐undang (vide Pasal 20 (2) UUD NRI Tahun 1945); (2) relasi yang ditimbulkan oleh kewenangan Mahkamah Konstitusi (kekuasaan yudikatif) dalam pengujian undang‐undang sebagai hasil kerja antara Dewan Perwakilan Rakyat (kekuasaan legislatif) dan Presiden (kekuasaan eksekutif) (vide Pasal 24C (1) UUD NRI Tahun 1945); (3) relasi yang ditimbulkan oleh kewenangan Mahkamah Agung (kekuasaan yudikatif) dalam pengujian peraturan perundang‐undangan di bawah undang‐undang sebagai produk Presiden (kekuasaan eksekutif) (vide Pasal 24A (1) UUD NRI Tahun 1945); (4) relasi antara Mahkamah Agung (kekuasaan yudikatif), Dewan Perwakilan Rakyat (kekuasaan legislatif), dan Presiden (kekuasaan eksekutif) dalam pengisian jabatan hakim konstitusi (vide Pasal 24C (3) UUD NRI Tahun 1945); dan berbagai relasi lain antar organ negara sebagai engemban cabang kekuasaan negara. p

Namun demikian, memasukkan pratinjau yudisial melalui constitutional policy merupakan high cost mechanism dikarenakan harus melalui amandemen konstitusi. Jika memasukkan mekanisme pratinjau yudisial dalam sistem ketatanegaraan Indonesia melalui amandemen konstitusi, tentu menjadi hal yang relatif berat, karena dibutuhkan momentum dan konsensus bersama untuk melakukan perubahan kembali konstitusi (vide Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945). Terlebih konstitusi dalam arti formal adalah suatu dokumen nyata sebagai seperangkat norma hukum yang mungkin diubah hanya menurut ketentuan khusus yang dimaksudkan a gar peru bahan norm a ini sulit dilakukan (Asshiddiqie & Safa’at, 2006: 111).

Kedua , melalui legal policy. Maknanya pratinjau yudisial masuk dalam sistem hukum Indonesia melalui pilihan kebijakan legislator dengan diatur dalam UU. Menggunakan media

legislasi untuk memasukkan transplantasi hukum merupakan cara yang cepat dan efektif, namun pada umumnya legal drafter kurang cermat dalam melakukan transplantasi hukum, yang membuat hukum yang ditransplantasikan tidak dapat diterapkan dengan baik (Xanthaki, 2008: 659). Dalam konteks perancangan legislasi, G.C. Thornton menjelaskan 5

(lima) tahapan, yaitu: (1) Understanding the proposal; (2) Analysing the proposal; (3) Designing the law; (4) Composing and developing the draft; dan (5) Verifying the draft

(Thornton, 1996: 128). Menurut Xanthaki, perumusan konsep transplantasi dimulai pada tahap 2 berdasarkan analisis usulan legislatif, namun harus dicatat bahwa proposal atau (Thornton, 1996: 128). Menurut Xanthaki, perumusan konsep transplantasi dimulai pada tahap 2 berdasarkan analisis usulan legislatif, namun harus dicatat bahwa proposal atau

Spesifik dalam konteks hukum positif Indonesia, mekanisme pratinjau yudisial harus dicermati terlebih dahulu peluangnya untuk dimasukkan melalui legal policy dengan memperhatikan: (1) peluang lembaga yudisial yang dilibatkan; dan (2) peluang penempatan pratinjau yudisial dalam tahapan pembentukan UU. Pertama, dalam hal peluang lembaga yudisial yang dilibatkan dalam pratinjau yudisial sebagai mekanisme yang menilai rancangan UU yang telah disetujui bersama antara DPR dan Presiden. Dalam konteks ini terdapat 2 (dua) lembaga selaku pemegang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi (vide Pasal 24 (2) UUD NRI Tahun 1945). Dikarenakan tujuan dari pratinjau yudisial pada pembentukan UU adalah untuk memprevensi adanya norma yang berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara dan/atau bertentangan dengan konstitusi, maka menjadi lebih relevan jika Mahkamah Konstitusi yang dilibatkan dalam mekanisme pratinjau yudisial.

Namun demikian, harus dipahami bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi sudah ditentukan secara limitatif dalam konstitusi (vide Pasal 24C (1) & (2) UUD NRI Tahun 1945). Kewenangan tersebut merupakan kewenangan atributif yang diberikan oleh konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi. Atribusi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang‐undangan (attributie van wetgevingsbevoegheid) adalah pemberian atau penciptaan kewenangan membentuk peraturan perundang‐undangan yang diberikan oleh grondwet (undang‐undang dasar) atau wet (undang‐undang) kepada suatu lembaga negara atau lembaga pemerintahan (Seoprapto, 1998: 167). Kewenangan atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada UU dalam arti materiil dan suatu cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan, serta dapat secara terus menerus dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas‐batas yang diberikan (Soebroto, 2012). Dengan demikian, kewenangan yang diberikan oleh konstitusi merupakan kewenangan atributif yang dapat dilaksan akan oleh Mahk ah Kons tusi secara mandiri. am ti

Apabila hanya berpijak pada kewenangan atributif Mahkamah Konstitusi sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi, maka tentu saja Mahkamah Konstitusi tidak dapat dilibatkan dalam pratinjau yudisial. Namun demikian, pelibatan Mahkamah Konstitusi tetap dapat direkayasa melalui delegasi kewenangan yang diberikan oleh UU. Meminjam penjelasan Maria Farida Indrati Soeprapto, delegasi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang‐undangan ialah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang‐undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang‐undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang‐undangan yang lebih rendah, baik pelimpahan dinyatakan dengan tegas maupun tidak (Seoprapto, 1998: 168). Bentuk kewenangan ini tidak “diberik an” sebagaimana atribusi, melainkan “diwakilkan” (Soebroto, 2012).

Dengan berpatokan pada penjelasan di atas, maka untuk dapat melibatkan Mahkamah Konstitusi dalam proses pembentukan UU dalam konteks mekanisme pratinjau yudisial, kewenangan Mahkamah Konstitusi dapat disisipkan dalam UU yang mengatur lebih lanjut mengenai kelembagaan Mahkamah Konstitusi atau pada UU yang mengatur lebih lanjut mengenai pembentukan UU. Hal tersebut sesuai dengan amanat konstitusi yang memberikan atribusi kepada DPR untuk mengatur mengenai: (1) ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang‐undang (vide Pasal 24C (6) UUD NRI Tahun

1945); dan (2) ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang‐undang diatur dengan undang‐undang (vide Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945).

Selain itu, justifikasi mengenai peluang untuk melibatkan Mahkamah Konstitusi sebagai aktor dalam pratinjau yudisial juga ditemukan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan yang mana memberikan kewenangan kepada legislator untuk mengatur materi muatan yang harus diatur dengan UU setidak‐tidaknya terkait pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD NRI Tahun 1945 dan untuk pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat (vide Pasal 10 (1) huruf a & e UU 12/2011). Dengan begitu berarti DPR merupakan lembaga negara yang memegang fungsi legislasi diberikan kuasa tafsir atas norma konstitusi untuk dijabarkan lebih lanjut dalam UU, terlebih dalam hal pengaturan tersebut diberikan secara eksplisit oleh konstitusi dan semata untuk menjawab kebutuhan hukum masyarakat terhadap norma UU yang sesuai dengan semangat k onsti tusi untuk memenuhi hak konstitusional warga negara.

Kekuasaan penafsiran legislator atas norma konstitusi untuk diatur lebih lanjut dalam UU pun sudah pernah terjadi dan tidak dipermasalahkan dalam konteks ketatanegaraan Indonesia. Misalnya, terkait pergeseran rezim pemilihan kepala daerah dari rezim pemerintahan daerah menjadi rezim pemilihan umum. Dalam konstitusi secara tegas disebutkan dalam Pasal 22E ayat (2) bahwa pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (vide Pasal 22E (2) UUD NRI Tahun 1945). Namun, dalam pengaturan UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum justru memasukkan pemilihan kepala daerah ke dalam rezim pemilihan umum dengan menyebut pengisian jabatan kepala daerah dengan terminologi “pemilihan umum kepala daerah” (vide Pasal 1 angka 4 UU 22/2007). Peralihan rezim tersebut berimplikasi pada peralihan kewenangan mengadili perselisihan pemilihan kepala daerah dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi, yang dimasukkan dalam domain kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (vide Pasal 236C UU 12/2008). Namun dalam perkembangan kekinian, pemilihan kepala daerah tidak lagi dimasukkan ke dalam rezim pemilihan umum, tetapi dikembalikan ke rezim pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2011 yang mencabut UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, yang menghilangkan diksi “umum” dalam terminologi “pemilihan umum kepala daerah” (Pasal 1 angka 4 UU 15/2011). Berpijak dari pengalaman tersebut, maka DPR memiliki kekuasaan dalam menafsirkan norma konstitusi ke dalam materi muatan UU. Dalam konteks pratinjau yudisial, DPR dimungkinkan untuk melibatkan Mahkamah Konstitusi sebagai aktor dalam pratinjau yudisial berdasar pada kewenangan atributif yang diberikan kepada DPR untuk membentuk UU terkait kelembagaan Mahkamah Konstitusi dan UU terkait tata cara pembentukan undang‐undang. Dengan demikian, maka memasukkan mekanisme pratinjau yudisial melalui legal policy sangat dimungkinkan dalam konteks ketatanegaraan Indonesia.

Kedua , peluang penempatan pratinjau yudisial dalam tahapan pembentukan UU. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa pratinjau yudisial didesain

ditempatkan pada pre­promulgation phase ketika RUU sudah mendapat persetujuan bersama dari DPR dan Presiden, namun belum disahkan dan diundangkan oleh Presiden. Dengan demikian, pratinjau yudisial juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tahapan pembentukan peraturan perundang‐undangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan. Sedangkan ditempatkan pada pre­promulgation phase ketika RUU sudah mendapat persetujuan bersama dari DPR dan Presiden, namun belum disahkan dan diundangkan oleh Presiden. Dengan demikian, pratinjau yudisial juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tahapan pembentukan peraturan perundang‐undangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan. Sedangkan

Dengan memperhatikan desain pemisahan kekuasaan negara, peluang pelibatan lembaga yudisial, dan peluang penempatannya dalam tahapan pembentukan UU di Indonesia di atas, maka pratinjau yudisial atau judicial preview dapat diusulkan menjadi alternatif solusi untuk memperbaiki kualitas legislasi Indonesia, serta upaya untuk dapat memenuhi dan melindungi hak konstitusional warga negara sebagaimana diamanatkan oleh UUD NRI Tahun 1945. Tentu upaya untuk tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks negara hukum di Indonesia yang mengharuskan konsekuensi logis lahirnya konstitusionalisme dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia.