Desain Judicial Preview dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

a) Desain Judicial Preview dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Judicial preview atau pratinjau yudisial merupakan sebuah mekanisme yang dirancang dengan melibatkan cabang kekuasaan kehakiman untuk menilai RUU yang telah disetujui

bersama oleh DPR dan Presiden, namun belum disahkan oleh Presiden menjadi UU. Pelibatan cabang kekuasaan kehakiman hanya dalam tahapan ini dipilih semata agar cabang kekuasaan kehakiman tidak terlalu dalam masuk dalam ranah cabang kekuasaan negara yang lain, yaitu cabang kekuasaan legislatif. Namun, sebelum beranjak lebih jauh mengenai desain pratinjau yudisial dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, lebih tepat bila ditelaah terlebih dahulu dalam perspektif historis ketatanegaraan Indonesia wacana mekanisme judicial preview.

Dalam konteks sejarah ketatanegaraan Indonesia, sebenarnya wacana judicial preview bukanlah wacana yang murni baru. Fakta sejarah mencatat dalam Sidang Tahunan

MPR RI Tahun 2001 muncul wacana untuk memberikan kewenangan pratinjau yudisial kepada Mahkamah Konstitusi, sebagaimana dikemukakan oleh Nursyahbani Katjasungkana bahwa, “[…] judicial review dan judicial preview menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi karena dirasakan begitu banyak peraturan perundang‐undangan yang bertentangan dengan konstitusi, meskipun Mahkamah Konstitusi nantinya akan mendapatkan banyak pekerjaan tambahan […]” (MPR RI, 2001: 7; Sari, 2009: 102). Namun, pada waktu itu belum mencapai kesepak atan untuk memberikan kewenangan tersebut kepada Mahkamah Konstitusi.

Selanjutnya, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) pernah mengusulkan pembentukan constitutional panel review di dalam Baleg DPR RI untuk menganalisa suatu RUU sebelum disahkan, dengan komposisi Anggota Baleg DPR RI ditambah para ahli di bidang UU yang sedang dirumuskan (Soeroso, 2009). Namun, usul tak direspon baik oleh DPR karena: (1) mekanisme pembentukan UU yang selama ini dijalankan, DPR sudah sering mengundang pakar‐pakar hukum terkait penyusunan suatu UU, artinya panel yang diusulkan secara de facto telah include dalam mekanisme legislasi, tetapi tak banyak berarti dengan masih banyaknya UU yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi; (2) adanya UU yang dimohonkan pengujian ke Mahkamah Konstitusi merupakan konsekuensi logis karena Indonesia menganut sistem multipartai, sehingga produk UU yang dibentuk merupakan presentasi dari kompromi politik (Soeroso, 2009).

Barulah kemudian pada awal Oktober 2009, Marzuki Alie selaku Ketua DPR RI, mengatakan bahwa DPR akan mengintrodusir sistem baru dalam rangkaian proses penyusunan legislasi, yaitu sebelum sebuah UU disahkan, DPR akan berkonsultasi dengan Mahkamah Konstitusi dengan tujuan agar pekerjaan panjang anggota DPR dalam menyusun UU tidak sia‐sia karena produknya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Praktis usulan dengan nada “cuci tangan” atas buruknya kinerja DPR direspon negatif oleh berbagai pihak (Rofiandri, 2009), bahkan Mahkamah Konstitusi secara tegas menolak adanya mekanisme tersebut (Tresna, 2009). Namun demikian, Ketua Mahkamah Konstitusi masih pada posisi terbuka dengan melihat usulan mekanisme judicial preview sebagai bentuk kegelisahan terhadap banyaknya produk UU setelah disahkan lalu diuji ke Mahkamah Konstitusi, serta menunggu jika DPR hendak berkonsultasi pada Mahkamah Konstitusi, dengan catatan jika lembaga yudikatif sampai melakukan judicial preview, itu artinya yudikatif sudah masuk ke dalam pilihan politik, sehingga secara teoritis menjadi lemah (Syafirdi, 2009). Dikarenakan ditolak oleh pu lik, maka wacana tersebut lenyap dari pemberitaan. b

Dalam konteks kekinian, gagasan untuk menghadirkan judicial preview atau pratinjau yudisial menjadi relevan, karena tidak adanya peningkatan kualitas legislasi yang dihasilkan oleh DPR. Bukan dalam konteks untuk cuci tangan sebagai tugas dan kewenangan DPR, namun harus dilihat dari perspektif yang lebih luas menyangkut hajat hidup rakyat Indonesia. Wacana tersebut adalah semata untuk memenuhi dan melindungi hak konstitusional warga negara sebagai konsekuensi mendaulat diri sebagai negara hukum dan konstitusionalisme di Indonesia. Selain itu, wacana pratinjau yudisial juga tidak dapat semata dilihat dari perspektif teoritis terkait mencampurkan cabang kekuasaan negara, ataupun dalam perspektif normatif bahwa tidak ada mekanisme tersebut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Secara teoritik tentu melibatkan cabang kekuasaan kehakiman dalam proses legislasi adalah suatu hal yang dianggap tabu. Namun, dalam konteks yang lain, terobosan yang sudah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan yang bersifat Dalam konteks kekinian, gagasan untuk menghadirkan judicial preview atau pratinjau yudisial menjadi relevan, karena tidak adanya peningkatan kualitas legislasi yang dihasilkan oleh DPR. Bukan dalam konteks untuk cuci tangan sebagai tugas dan kewenangan DPR, namun harus dilihat dari perspektif yang lebih luas menyangkut hajat hidup rakyat Indonesia. Wacana tersebut adalah semata untuk memenuhi dan melindungi hak konstitusional warga negara sebagai konsekuensi mendaulat diri sebagai negara hukum dan konstitusionalisme di Indonesia. Selain itu, wacana pratinjau yudisial juga tidak dapat semata dilihat dari perspektif teoritis terkait mencampurkan cabang kekuasaan negara, ataupun dalam perspektif normatif bahwa tidak ada mekanisme tersebut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Secara teoritik tentu melibatkan cabang kekuasaan kehakiman dalam proses legislasi adalah suatu hal yang dianggap tabu. Namun, dalam konteks yang lain, terobosan yang sudah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan yang bersifat

kekuasaan yudikatif dalam membuat norma baru (legislating from the bench) (Avilizatos, 1995: 566) sebagai perwujudan dari aktivisme yudisial (judicial activism) (Swygert, 1982: 439‐45 8; Butt, 2012).

Dengan demikian, jangan terlalu negatif menilai pratinjau yudisial sebagai mekanisme haram dan tabu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dengan nada sumbing disertai anasir politis semata upaya cuci tangan DPR untuk melimpahkan beban legislasi ke Mahkamah Konstitusi. Pratinjau yudisial harus dimaknai lebih netral sebagai upaya baru untuk memenuhi dan melindungi hak konstitusional warga negara. Lebih jauh, mekanisme pratinjau yudisial juga berdampak penting bagi perbaikan pembangunan hukum Indonesia yang sesuai dengan nilai‐nilai konstitusi dengan cara justifikasi RUU sebelum disahkan dan diundangkan oleh Presiden. Dengan perspektif yang lebih jernih, pratinjau yudisial dapat didesain dengan memperhatikan praktik yang jamak terjadi berbagai negara, namun tidak lupa untuk memegang teguh karakteristik hukum Indonesia.

Lebih jauh untuk mendesain pratinjau yudisial dalam konteks ketatanegaraan Indonesia harus dipahami terlebih dahulu mengenai justifikasi teoritik terhadap judicial preview . Jimly Asshiddiqie menjelaskan nomenklatur judicial preview sebagai berikut:

Jika pengujian itu dilakukan terhadap norma hukum yang bersifat abstrak dan umum (general and abstract norms) secara “a posteriori”, maka pengujian itu dapat disebut sebagai “judicial review”. Akan tetapi jika pengujian itu bersifat “a priori ”, yaitu terhadap rancangan undang‐undang yang telah disahkan oleh parlemen tetapi belum diundangkan sebagaimana mestinya, maka namanya bukan “judicial review”, melainkan “judicial preview”. Jika ukuran pengujian itu dengan menggunakan konstitusi sebagai alat pengukur, maka kegiatan pengujian itu dapat disebut sebagai constitutional review atau pengujian konstitusional, yaitu pengujian mengenai konstitusionalitas dari norma hukum yang sedang diuji (judicial review on the constitutionality of law) (Asshiddiqie, 2005: 6‐7).

Dengan pendekatan teoritik tersebut dapat diketahui bahwa desain judicial preview harus ditempatkan ketika RUU telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, namun belum d isahkan oleh Presiden menj di UU dan b a erlaku mengika t umum (pre­promulgation).

Lebih lanjut dalam rangka mendesain judicial preview harus ditelaah pula desain Mahkamah Konstitusi di negara lain. Mengutip hasil penelitian Violaine Autheman yang melakukan komparasi peradilan tata negara di dunia dikenal beberapa model peradilan tata negara di dunia yang memberikan ciri‐ciri spesifik berdasarkan kewenangan yang dimiliki. Berdasarkan penelusuran Autheman ditemukan bahwa pada dasarnya terdapat dua aliran model pengujian konstitusional di dunia, yaitu American Model dan European Model. Perbedaan utama di antara kedua model tersebut adalah difusi atau konsentrasi kewenangan dalam menilai kesesuaian norma dengan konstitusi. Dalam American Model pengujian konstitusional diletakkan pada Mahkamah Agung atau sebuah kamar konstitusional di dalam Mahkamah Agung, sedangkan untuk European Model untuk saat ini sangat bervariasi strukturnya, ada yang menggunakan model Mahkamah Konstitusi atau Dewan Konstitusi. Bahkan terdapat pula yang menggunakan kamar konstitusional di dalam

Mahkamah Agung yang serupa dengan American Model. Model seperti itu merupakan model yang memadukan keduanya, yang dikenal dengan Mixed Euro­American Model sebagai variasi model induk, baik European Model ataupun American Model (Autheman, 2004: 3‐4). Berpijak pada klasifikasi yang dibuat oleh Autheman, terlihat bahwa Indonesia tergolong pada jenis peradilan konstitusi yang mengadopsi German Model sebagai bagian dari European Model. Dalam German Model, peradilan konstitusi didesain bukan semata mengad ili konstitusionalitas dari legisla namun juga mengadili perbuatan ketatanegaraan. si,

Menurut klasifikasi Autheman, Perancis menjadi negara yang mengintrodusir ada mekanisme preventif terhadap pengujian legislasi. Terdapat la Conseil Constitutionnel atau Dewan Konstitusi yang berwenang memutus apakah RUU yang sudah diputuskan dan disahkan oleh parlemen menjadi UU bertentangan atau tidak dengan UUD (Bell, 1992: 29). Tidak semua RUU memiliki tingkat urgensi yang sama dalam hal pemeriksaan oleh Dewan Konstitusi, hanya UU organik yang mempengaruhi secara pemerintahan secara fundamental, harus diperiksa oleh Dewan Konstitusi sebelum disahkan. Sementara RUU lain tidak perlu diperiksa oleh Dewan, walaupun demikian ketika Presiden Republik, Ketua Senat, Ketua Dewan Nasional, Perdana Menteri, atau 60 Anggota Perwakilan dan Senat dapat mengajukan semua jenis RUU untuk diperiksa oleh Dewan Konstitusi sebelum ditandatangani oleh presiden (Ery, 2006: 38). Dalam hal ini berkembang juga kritik diantara para ahli mengenai legitimasi dan kewenangan Dewan Konstitusi, yaitu bahwa cara kerja mereka ini kadang‐ kadang lebih bersifat politis daripada hukum, dan mereka cenderung terjebak menjadi legislator daripada menjadi interpreter konstitusi (Asshiddiqie, 2005: 83).

Selain terkait model peradilan konstitusi yang jamak diterapkan, Autheman juga mencatat terkait dinamika yurisdiksi atau kompetensi yang diberikan kepada peradilan konstitusi, yaitu terkait diskursus preventive v. subsequent (repressive) control dan abstract v. concrete constitutional control (Autheman, 2004: 7). Dalam konteks kajian untuk menakar peluang judicial preview di Indonesia, diskursus mengenai preventive v. subsequent (repressive) control juga menjadi hal yang paling dipermasalahkan. Hal tersebut dikarenakan adanya pemahaman jika sebuah peradilan konstitusi sudah diberikan kewenangan mengadili legislasi secara ex­post, maka tidak tepat jika diberikan kewenangan secara ex­ ante karena akan menyandera peradilan konstitusi jika di kemudian hari norma yang telah diuji secara ex­ante kemudian diujikan lagi secara ex­post. Terlebih dalam konteks Indonesia, Mahkamah Konstitusi didudukkan sebagai negative legislator yang berwenang menghapus atau menghilangkan norma yang bertentangan dengan konstitusi melalui judicial review, maka jika Mahkamah Konstitusi juga melaksanakan judicial preview berarti Mahkamah Konstitusi juga melaksanakan fungsi sebagai positive legislator karena turut merumuskan legislasi (Mahfud MD., 2011).

Namun demikian, bukan berarti tidak ada negara yang menggabungkan fungsi judicial preview dan judicial review pada kompetensi peradilan konstitusi. Portugal misalnya,

merupakan negara yang menggabungkan fungsi pengujian secara ex­ante (vide Article 278 Portugal Constitution) dan ex­post (vide Article 277 Portugal Constitution) terhadap

konstitusionalitas legislasi. Maka dari itu, argumentasi ketidaklaziman menggabungkan judicial preview dan judicial review tidak sepenuhnya menjadi pendapat umum para ahli

hukum tata negara di dunia. Dalam hasil penelitian Autheman terlihat bahwa hampir di seluruh benua terdapat negara yang menggabungkan kedua kewenangan pengujian tersebut. Tentu saja hal tersebut dibingkai dalam kerangka karakteristik negara masing‐ masing sebagai keharusan transplantasi hukum.

Selanjutnya, dalam konteks untuk mentransplantasikan judicial preview di Indonesia, harus dicermati betul desain sistem yang hendak ditransplantasikan dengan memperhatikan karakteristik hukum di Indonesia, khususnya terkaitnya hadirnya judicial preview dalam proses pembentukan UU, yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan (vide Pasal 1 angka 1 UU 12/2011). Pratinjau yudisial harus ditempatkan pada posisi yang sedikit mungkin mencampuri kekuasaan legislasi dalam membuat UU. Untuk itu, pratinjau yudisial dapat diletakkan pada tahapan pembentukan UU ketika RUU sudah disetujui oleh DPR dan Presiden, namun secara resmi belum disahkan menjadi UU oleh Presiden. Pilihan penempatan tersebut didesain dengan memperhatikan pada tahapan mana sebuah dokumen beralih nomenklatur dari RUU menjadi UU, dan tahap sebelum pengesahan (pre­promulgation) merupakan tahapan paling

ideal un tuk memasukk n mekanisme pratinjau yudisial (judicial preview). a Dalam desain pratinjau yudisial dirancang hanya merupakan kewenangan DPR

untuk dapat mengajukan pengujian dari RUU yang sudah disetujui bersama antara DPR dan Presiden. DPR wajib untuk mengajukan pengujian tersebut kepada Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk dari tahapan pembentukan UU yang menjadi domain kewenangan DPR dalam fungsi legislasi. Sedikit berbeda dengan pengujian UU (vide Pasal 56 UU 24/2003), Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan pengujian RUU hanya dapat memberikan 2 (dua) jenis keputusan, yaitu dikabulkan dan ditolak. Namun, dalam konteks operasionalnya, Mahkamah Konstitusi didesain dapat memberikan putusan sebagai berikut:

1. Putusan dikabulkan seluruhnya, jika RUU yang diajukan oleh DPR tidak terdapat potensi pertenta gan dengan UUD NRI Tahun 1945; atau n

2. Putusan dikabulkan untuk sebagian dengan conditionally decision, jika RUU yang diajukan oleh DPR terdapat materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari RUU yang berpotensi bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, maka Mahkamah Konstitusi berwenang membuat putusan yang menafsirkan secara conditionally constitutional; atau

3. Putusan ditolak, jika RUU yang diajukan oleh DPR materi muatannya secara keseluruhan bert entang n dengan UUD NRI Tahun 1945. a

Secara sederhana desain dan penempatan pratinjau yudisial dapat dilihat pada bagan berikut ini: