Posisi Pancasila Dalam Negara Hukum Indonesia

C. Posisi Pancasila Dalam Negara Hukum Indonesia

Posisi Pancasila bagi Indonesia sebagai suatu negara dan bangsa memiliki variasi yang sangat beragam. Berbagai pendapat dan gagasan posisi Pancasila pernah dikemukakan oleh para pakar. Keanekaragaman ini disebabkan sudut pandang pakar atau para ahli dalam memandang dan mengartikan Pancasila dan ini merupakan konsekuensi logis dari keberadaan Pancasila sebagai ideologi terbuka. Dalam pandangan filsafat misalnya, Pancasila bisa diartikan sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar falsafah ideologi bangsa. Dari aspek politik, Pancasila dianggap sebagai modus vivendi atau kesepakatan luhur yang mempersatukan semua ikatan primodial ke dalam suatu bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia yang sangat luas dan majemuk dalam prinsip persatuan (Mahfud MD, 2010:52).Pandangan ini tentu tidak sama ketika Pancasila dipandang dari segi yuridis dan konstitusional. Bahkan secara yuridis dan konstititusional pun, terdapat beberapa makna dan pandangan mengenai nilai‐nilai Pancasila yang pernah dikemukakan oleh para pakar dan ahli. Ada yang menyebutnya sebagai staatsfundamenatlnorm (Notonegoro pada pidato Dies Natalis Universitas Airlangga Pertama, 10 November 1955), Gurndnorm (Usep Ranuwijaya, 1983: 48), Paradigma hukum, Pandangan yang beragam ini tidak dapat dipertentangkan antara satu pandangan dengan pandangan yang lain, melainkan saling melengkapi satu sama lain.

Dalam pandangan Darji Darmodiharjo, menurut sejarahnya, Pancasila diadakan atau dirumuskan dengan tujuan untuk dipakai sebagai dasar negara Indonesia merdeka / Republi k Indonesia (Darji Darmodiharjo dalam Darji Darmodih arjo, dkk , 1 979: 9) .

A. Hammid S. Attamimi mengemukakan Cita Hukum (Rechtsidee) digunakan untuk menggantikan kata ideologi dalam kaitan Pancasila dengan kehidupan hukum bangsa Indonesia (A. Hamid S. Attamimi dalam Oetoyo Oesman dan alfian (Editor), 1991: 63). Sebelum amandemen UUD 1945, penegasan Pancasila sebagai Cita Hukum (Rechtsidee) terdapat pada Penjelasan tentang Undang‐Undang Dasar 1945, angka III yang menentukan sebagai berikut:

“Undang‐Undang Dasar menciptakan pokok‐pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan di dalam pasal‐pasalnya. Pokok‐pokok pikiran tersebut meliputi suasan kebatinan dari Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Pokok‐pokok pikiran ini mewujudkan cita‐cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang‐ Undang Dasar) maupun hukum tak tertulis. Undang‐Undang Dasar menciptakan p okok‐pokok pikiran ini dalam pasal‐pasalnya”

Menurut A. Hammid S. Attamimi istilah “Cita‐cita Hukum” di dalam Penjelasan UUD tesebut kurang tepat, yang lebih tepat adalah “Cita Hukum”, karena cita adalah gagasan, rasa, cipta, pikiran, sedangkan cita‐cita adalah keinginan, kehendak, harapan, yang selalu ada dipikiran atau di hati (A.Hammid S. Attamimi, 1990:308).

Cita hukum menurut Rudolf Stamler, sebagaimana dikutip A. Hammid S. Attamimi (A. Hamid S. Attamimi, 1990: 308‐309) adalah konsturuksi pikir yang merupakan keharusan bagi mengarahkan hukum kepada cita‐cita yang diinginkan masyarakat. Lebih lanjut, cita hukum ini berfungsi sebagai bintang pemandu (Leitstern) bagi tercapainya cita‐cita masyarakat. Meski merupakan titik akhir yang tidak mungkin dicapai, namun cita hukum memberi manfaat karena mengandung dua sisi: dengan cita hukum, hukum positif yang berlaku dapat diuji, dan kepada cita hukum, hukum positif sebagai usaha menuju sesuatu yang adil dengan sanksi pemaksa dapat diarahkan.

Selain itu, Pancasila juga biasa diistilahkan sebagai Staatsfundamentalnorm. Istilah Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm pertama kali diungkapkan oleh Notonagoro dalam Pidatonya padaDies Natalis Universitas Airlangga yang Pertama (10 November 1955). Staatsfundamentalnorm diartikan oleh Notonagoro dengan istilah Pokok Kaidah Fundamentil Negara. Berikut petikan Pidato tersebut:

“Di dalam tertib hukum dapat diadakan pembagian susunan yang hierarchis dari pada peraturan‐peraturan hukum, dan dalam susunan itu undang‐undang dasar, yang merupakan hukum ddasar negara, tidak merupakan peraturan hukum yang tertinggi, seperti juga dinyatakan dalam penjelasan resmi dari pada Oendang‐oendang Dasar 1945, karena diterangkan masih mempunyai dasar‐dasar pokok. Dasar‐dasar pokok undang‐undang dasar ini, yang pada hakekatnya terpisah dari undang‐undang dasar, dinamakan pokok kaidah negara yang fundamentil (Staatsfundamentalnorm), yang mengandung tiga syarat mutlak, yaitu ditentukan oleh pembentuk negara, memuat ketentuan‐ketentuan pertama yang menjadi dasar negara dan kedua bukan yang hanya mengenai organisasi negara.

Maka dari itu karena memenuhi pensifatan ini Pemboekaan Oendang‐oendang Dasar 1945 mempunyai kaedah pokok fundamentil Negara Indonesia.”

(Pidato Notonagoro dalam Pidatonya pada Dies Natalis Universitas Airlangga yang Pertama /10 Nove mber 195 ). 5

Sedangkan menurut A. Hammid S. Attamimi, Staatsfundamentalnorm diartikan dengan istilah norma fundamental negara (A. Hammid S. Attamimi, 1990 : 359).

Norma Fundamental Negara yang merupakan norma tertinggi dalam suatu negara ini merupakan yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat ‘pre ­supposed’ atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam suatu negara dan merupakan norma yang menjadi tempat bergantungnya norma‐norma hukum di bawahnya (Maria Farida Indrati, 2007: 46).

Hamid Attamimi berpendapat dengan ditetapkannya Pancasila sebagai cita hukum dan sekaligus sebagai norma fundamnetal negara, maka sistem hukum Indonesia, baik dalam pembentukannya, dalam penerapannya, maupun dalam penegakkannya, tidak dapat melepaskan diri dari nilai‐nilai Pancasila sebagai cita hukum yang konstitutif dan regulatif, dan dari ketentuan‐ketentuan Pancasila sebagai norma tertinggi yang menentukan dasar keabsahan (legitimacy) suatu norma hukum dalam sistem norma hukum Republik Indonesia (A.Hamid S. Attamimi, 1990 : 359).