TANTANGAN NORMATIF

D. TANTANGAN NORMATIF

Dimensi kewenangan regulator Kita sering mendengar istilah ‘lembaga super body’ dikaitkan dengan Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK). Padahal, menurut kami ada lembaga yang jauh lebih ‘super body’ dibandingkan KPK: namanya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU memiliki peran sebagai regulator (mengeluarkan peraturan dan memberikan persetujuan terhadap transaksi tertentu), eksekutor (melakukan pemeriksaan terhadap dugaan praktek persaingan tidak sehat), hingga proses semi‐adjudikasi, yang mana keberatan terhadap putusan KPPU dapat disampaikan ke pengadilan. Di satu sisi, pola kerja semacam KPPU ini menjadikan tata kelola semakin efisien, dan dengan demikian semakin responsif menanggapi perubahan. Misalnya, jika dalam proses pemeriksaan ditemui hal‐hal yang harus diatur lebih jauh, KPPU dapat langsung menyusun kajian untuk dibuatkan peraturannya. Tidak ada mata rantai birokrasi yang harus ditempuh terlebih dahulu. Memang kewenangan yang terlalu luas dapat menimbulkan penyalahgunaan apabila tidak ada pengawasannya. Namun yang hendak kami sampaikan adalah: regulasi yang fleksibel membutuhkan infrastruktur kelembagaan dan kewenangan regulator yang memun gkinkannya untuk bekerja ef sien. i

Apabila dikaitkan dengan teori hukum administrasi negara, maka kita dapat mengacu pada teori standar mengenai perbedaan antara kewenangan ‘atribusi’, kewenangan ‘delegasi’, dan kewenangan ‘mandat’. Kewenangan merupakan hak yang dimiliki suatu lembaga negara atau lembaga pemerintahan untuk menyelenggarakan kegiatan atau melakukan kegiatan di bidang hukum publik. Kewenangan atribusi dapat diselenggarakan secara penuh oleh penerima atribusi, atas prakarsa sendiri, dan dapat diselenggarakan secara terus menerus, dengan diskresi penuh sepanjang dalam batas yang diamanatkan di dalam peraturan perundang‐undangan yang memberikan atribusinya. Sementara itu, kewenangan dalam bentuk delegasi diberikan sebatas apa yang didelegasikan oleh peraturan perundang‐undangan yang melandasinya. Untuk kewenangan mandat, cakupanny a lebih terbatas lagi karena sifatnya hanya menjalankan perintah dari atasan.

Dengan diskresi penuh yang dimiliki pemegang kewenangan atributif, jelas ia akan lebih fleksibel dalam mengatur segala hal yang menjadi tanggung jawabnya. Penerima atribusi akan lebih leluasa untuk mengatur hal‐hal yang tidak secara tegas disebutkan di dalam peraturan perundang‐undangan. Misalnya, untuk penyelenggaraan regulasi di bidang pasar modal ada BAPEPAM‐LK (dahulu BAPEPAM), untuk bidang perbankan ada Bank Indonesia (BI), (meskipun kewenangan dari keduanya saat ini akan bergabung secara signifikan ke dalam lembaga baru Otoritas Jasa Keuangan (OJK)), di bidang telekomunikasi ada Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), dan masih banyak lagi lembaga lain. Beberapa pihak memang mempertanyakan struktur dari regulator independen semacam ini. Ada badan regulator yang sepenuhnya independen dari pemerintah, seperti BI atau OJK. Ada pula badan regulator yang tetap di bawah kementerian, namun memiliki kewenangan regulasi yang cukup luas dengan diskresi yang besar, contohnya BAPEPAM‐LK. Contoh lain adalah BAPETEN (Badan Pengawas Tenaga Nuklir) yang secara status sebenarnya merupakan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) yang dalam melakukan tindakannya berada di bawah koordinasi Menteri (Riset dan Teknologi). Namun, BAPETEN memiliki kewenangan penuh dalam membuat segala peraturan di bidang tenaga nuklir, Dengan diskresi penuh yang dimiliki pemegang kewenangan atributif, jelas ia akan lebih fleksibel dalam mengatur segala hal yang menjadi tanggung jawabnya. Penerima atribusi akan lebih leluasa untuk mengatur hal‐hal yang tidak secara tegas disebutkan di dalam peraturan perundang‐undangan. Misalnya, untuk penyelenggaraan regulasi di bidang pasar modal ada BAPEPAM‐LK (dahulu BAPEPAM), untuk bidang perbankan ada Bank Indonesia (BI), (meskipun kewenangan dari keduanya saat ini akan bergabung secara signifikan ke dalam lembaga baru Otoritas Jasa Keuangan (OJK)), di bidang telekomunikasi ada Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), dan masih banyak lagi lembaga lain. Beberapa pihak memang mempertanyakan struktur dari regulator independen semacam ini. Ada badan regulator yang sepenuhnya independen dari pemerintah, seperti BI atau OJK. Ada pula badan regulator yang tetap di bawah kementerian, namun memiliki kewenangan regulasi yang cukup luas dengan diskresi yang besar, contohnya BAPEPAM‐LK. Contoh lain adalah BAPETEN (Badan Pengawas Tenaga Nuklir) yang secara status sebenarnya merupakan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) yang dalam melakukan tindakannya berada di bawah koordinasi Menteri (Riset dan Teknologi). Namun, BAPETEN memiliki kewenangan penuh dalam membuat segala peraturan di bidang tenaga nuklir,

fleksibi litas dalam erumuska regu asi, sepert BRTI. m n l i 105

Terhadap kehadiran para regulator yang contohnya kami sebutkan diatas, bandingkan misalnya dengan UU No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman yang seperti tidak memiliki konsep pembagian kewenangan yang jelas, menyebabkan pengaturannya menjadi sangat tidak fleksibel. Konsep yang dianut oleh UU ini adalah pola delegasi, sehingga penerima delegasi tidak dapat secara fleksibel merumuskan aturan‐ aturan yang diperlukan, hanya bisa membuat sebatas apa yang di‐delegasikan terhadapnya. Pendelegasian tersebut pun dilakukan tanpa arah dan diperlakukan secara berbeda, misalnya ada materi yang didelegasikan kepada peraturan pemerintah (Pasal 31, Pasal 41), peraturan menteri (Pasal 35, pasal 42), atau peraturan daerah (Pasal 36). Padahal, apabila ditetapkan satu regulator ‘semi‐independen’ untuk mengatur segala aspek mengenai perumahan, besar kemungkinan UU ini akan jauh lebih mudah dilaksanakan dan tidak menimbulkan kebingungan. Apalagi masalah perumahan adalah isu yang melibatkan banyak anggota masyarakat, khususnya yang berasal dari kelas menengah.

Apabila dilihat dari kacamata teori regulasi, maka sebenarnya tidak dipersoalkan dari mana kewenangan tersebut berasal, dan tidak pula dipersoalkan pula strukturnya di dalam sistem tata negara dan administrasi negara: apakah berada lepas dari pemerintah, lembaga setingkat menteri, LPNK di bawah koordinasi menteri, atau regulator yang setara dengan direktorat jenderal di kementerian. Yang dipersoalkan sederhana: sejauh mana badan tersebut memiliki diskresi untuk melakukan pengaturan dan melakukan penegakan atas aturan yang dibuat secara bebas dan independen. Semakin fleksibel suatu badan regulator dalam membuat peraturan, maka semakin efisien pula ia dalam bertindak dan menjalankan kewajibannya.

Teori iskur us d s dalam istem regulasi s Saya akan memulai dengan contoh berikut. Pada 12 Desember 2008, BAPEPAM‐LK

mengeluarkan Peraturan IX.E.1. mengenai transaksi afiliasi dan benturan kepentingan transaksi tertentu. Dalam peraturan itu, benturan kepentingan diatur sebagai “perbedaan antara kepentingan ekonomis Perusahaan dengan kepentingan ekonomis pribadi direktur, komisaris, pemegang saham utama Perusahaan dalam suatu Transaksi yang dapat merugikan Perusahaan karena adanya penetapan harga yang tidak wajar” (huruf miring dari penulis). Ketika definisi ini diberlakukan, BAPEPAM‐LK mendapatkan kritik yang sangat tajam dari pelaku pasar modal. Alasannya, untuk menetapkan apakah suatu harga ditetapkan secara tidak wajar tentu membutuhkan penafsiran yang ‘karet’. Pelaku pasar melakukan komunikasi dan lobi yang sangat intensif dengan BAPEPAM‐LK, sehingga akhirnya diputuskan bahwa ketentuan tersebut harus diubah. Pada November 2009, kurang dari satu tahun peraturan itu dibentuk, BAPEPAM‐LK mengeluarkan peraturan yang mengubah definisi tersebut menjadi “perbedaan antara kepentingan ekonomis Perusahaan dengan kepentingan ekonomis pribadi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau pemegang saham utama yang dapat merugikan Perusahaan dimaksud”, menghilangkan rumusa n yang bermasalah.

Kunci keberhasilan mengubah peraturan ini adalah adanya komunikasi yang intensif antara regulator dan pelaku pasar, dimana pelaku pasar melalui akses yang dekat dengan

BAPEPAM‐LK. Masih banyak contoh lain yang menggambarkan respons cepat dari regulator karena desain kelembagaannya yang efisien. KPPU misalnya melakukan revisi sejak tahun 2009 hingga tahun 2012 untuk menyempurnakan rezim hukum yang tepat untuk control penggab ungan (merger), peleburan (konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi).

Apa yang terjadi dalam contoh kasus BAPEPAM‐LK, atau KPPU, di atas dapat dianalisis menggunakan teori Habermas mengenai aksi komunikatif (communicative action ). 106 Pada prinsipnya, para pelaku kepentingan dalam masyarakat akan selalu bergerak untuk mencari kesepahaman dan saling melakukan koordinasi dalam tindakan‐ tindakannya berdasarkan atas argument berbasis nalar (reasoned argument) dan konsensus. 107 Teori ini dapat dipertentangkan dengan teori Ayres dan Braithwaite yang sudah dijelaskan di atas, dimana konteksnya adalah konflik, bukan diskursus. Menurut Ayres dan Braithwaite, antara pengatur dan yang diatur masing‐masing bertindak strategis merespons tindakan pihak lainnya, sementara Habermas justru mendambakan adanya hubungan yang mencapai konsensus. Dalam teori permainan, maka dapat dilukiskan dalam pertentangan antara cooperative game (prisoner’s dilemma) dengan coordination game. Namun, kedua teori tersebut tetap memiliki kesamaan bahwa hubungan antara pengatur dan yang diatur tidaklah satu arah tetapi bersifat timbal balik. Hubungannya pun bersifat berkelanjutan, tidak seperti dalam rezim pemilihan umum dimana hanya terjadi satu hubungan ketika pemilih mencoblos, setelah itu yang dipilih seolah tidak ada tanggung

jawab k epada pemilihnya .

Teori Habermas dapat diterapkan dalam membangun budaya diskursus dan mendukung regulasi yang fleksibel. Fleksibilitas regulasi dapat berjalan efektif apabila didukung dengan iklim diskursus yang menjadi membudaya dalam sistem hukum. Sebaliknya, fleksibilitas regulasi justru menjadi kontraproduktif apabila budaya diskursus ini belum terbentuk. Namun, menjadi pertanyaan mengenai mana yang harus dimulai terlebih dahulu: adanya regulasi fleksibel yang mendorong budaya diskursus, atau sebaliknya? Dalam menggunakan teori diskursus, regulasi akan memiliki legitimasi apabila regulasi tersebut diraih melalui kesepakatan yang inter‐subyektif dan sukarela antar pelaku kepentingan yang terintegrasi ke dalam proses pembentukan regulasi sehingga dapat diterapkan secara wajar ke dalam masyarakat. Hanya norma yang sudah melalui proses diskursus saja yang dapat memiliki validitas sebagai norma yang dapat diterapkan dalam masyarakat. 108 Teori ini juga sejalan dengan gagasan pembentukan peraturan perundang‐ undangan yang mengadopsi keinginan masyarakat (socially responsible lawmaking), dengan lebih memfokuskan pada adanya komunikasi yang berkelanjutan di antara para pelaku.

Persyaratan teori diskursus, tentu saja, adanya kehendak rasional untuk mencapai konsensus di antara pengatur dan yang diatur. Dalam dunia keuangan, isu ini tidak menjadi masalah. Pelaku pasar seperti emiten, pemegang obligasi, atau perusahaan publik umumnya adalah mereka yang memiliki kapasitas dan sumber daya untuk melakukan komunikasi yang intensif kepada regulator. Jumlah mereka relatif sedikit, sementara kepentingannya besar (jumlah dana yang berputar di pasar modal), sehingga tidak sulit untuk menyatukan kepentingan pelaku pasar dalam hal ada regulasi pasar modal yang bermasalah. 109 Dalam lingkungan yang lebih kecil dan penyatuan kepentingan yang lebih mudah, budaya hukum berbasi s diskursus men adi lebi mudah terbentuk. j h