Penegakan Hukum Lingkungan

B. Penegakan Hukum Lingkungan

Hukum lingkungan yang diatur dalam UU No. 4 Tahun 1982, dirubah dengan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, kemudian diperbarui dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada awalnya diharapkan dapat berfungsi mengendalikan dan mengelola lingkungan hidup dengan baik dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Dalam perkembangannya ternyata keberadaannya belum mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi upaya penyelamatan lingkungan dari ancaman kerusakan dan pencemaran lingkungan. Hal ini disebabkan oleh keberadaan UU lingkungan sejak kehadiran dan bekerjanya tampak tidak lepas dari pengaruh tarik menarik kepentingan politik dan ekonomi terutama antara kepentingan investor, pemerintah, dan masyarakat.

Berbagai kasus penegakan hukum lingkungan yang terjadi diberbagai daerah di Indonesia menunjukan bahwa kepentingan politik dan ekonomi telah mempengaruhi bekerjanya hukum. Hal ini bisa dilihat dari berbagai kasus seperti keputusan PN Medan, 5 Nopember 2007 yang telah membebaskan terdakwa Adelin Lis dalam kasus pembalakan liar (illegal loging) menunjukan bahwa majelis hakim dalam memeriksa dan membuat keputusan tampak terpengaruh intervensi kepentingan lain sehingga keputusan yang dijatuhkan menjadi tidak adil. Disamping itu juga berkaitan dengan pemahaman, penafsiran dan pengambilan keputusan yang dilakukan hakim yang lebih berorientasi pada hukum formal yang positifis. Hakim tidak berusaha mencari cara lain (terobosan hukum) untuk menemukan hukum yang bisa dijadikan pijakan dalam rangka merumuskan keputusan yang berkual itas dan adil.

Sebagai reaksi atas keputusan tersebut, Komisi Judisial berusaha untuk memeriksa hakim yang menangai kasus tersebut, tetapi tampaknya terkendala alasan kewenangan. Sementara pengadilan yang lebih tinggi, yakni PT Sumatera Utara telah memeriksa hakim yang mengani kasus tersebut. Demikian juga, Kejaksaan Tinggi setempat atas perintah Jaksa Agung berusaha untuk menguji (eksaminasi) tuntutan jaksa. Sebagai rekasi atas keputusan tersebut sebanyak 21 LSM di Medan menyatakan bahwa pembebasan Adelin Lis oleh PN Medan sebagai preseden buruk penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Aparat penegak Sebagai reaksi atas keputusan tersebut, Komisi Judisial berusaha untuk memeriksa hakim yang menangai kasus tersebut, tetapi tampaknya terkendala alasan kewenangan. Sementara pengadilan yang lebih tinggi, yakni PT Sumatera Utara telah memeriksa hakim yang mengani kasus tersebut. Demikian juga, Kejaksaan Tinggi setempat atas perintah Jaksa Agung berusaha untuk menguji (eksaminasi) tuntutan jaksa. Sebagai rekasi atas keputusan tersebut sebanyak 21 LSM di Medan menyatakan bahwa pembebasan Adelin Lis oleh PN Medan sebagai preseden buruk penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Aparat penegak

Kasus yang hampir sama dinilai sarat dengan pengaruh politik yakni peradilan kasus pencemaran lingkungan Teluk Buyat, Sulawesi Utara (2005‐2006). Pihak yang dituduh bertanggung jawab, yakni PT Newmont Minahasa yang dianggap telah melakukaan pembuangan limbah tambang di Teluk Buyat divonis bebas oleh pengadilan negeri setempat. Demikian juga ketika diajukan kasasi MA telah membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Banyak pihak yang menyoroti bahwa keputusan tersebut mengadung indikasi adanya intervensi pihak eksternal (politik). Atas dasar itu, Walhi atas organisisi lingkungan berusaha menggugat PT PT Newmont Minahasa melalui pengadilan negeri Jakarta Pusat namun gugatan yang diajukan Walhi juga ditolak.

Pada waktu Direktur PT Newmont Minahasa, Richard B. Ness ditahan oleh Polri Duta besar Amerika Serikat, Ralp L. Boyce mendatangi Presiden dan Kapolri dan meminta supaya iklim investasi yang kondungsif dijaga dan investor Amerika dilindungi. Beberapa saat kemudian Direktur PT Newmont Minahasa, Richard B. Ness dibebaskan. Hal ini menandakan bahwa politik kepentingan Amerika Serikat telah mencampuri bekerjanya hukum lingkungan di Indonesia dalam kasus persidangan pencemaran Teluk Buyat. Sikap Duta Besar Amerika Serikat mendapat reaksi keras sejumlah LSM dan Ormas termasuk Muhammadiyah.

Demikian juga kasus PT Lapindo, sampai sekarang penyelesaian melalui jalur hukum masih menunjukan gambaran yang gelap dan mengandung misteri. Berbagai upaya masyarakat yang menjadi korban dan LSM yang berusaha memperjuangkan hak‐hak masyarakat belum menunjukan adanya tanda‐tanda kearah titik terang penyelesaiannya. YLBHI berusaha mencari terobosan dengan menggugat PT Lapindo dan pemerintah (pusat dan daerah) yang dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum ke PN Jakarta. Namun gugatan yang dilakukan YLBHI tidak dapat dikabulkan.

Upaya Kepolisian untuk melakukan penuntutan jalur pidana belum direspon oleh Kejaksaan. Berkas perkara dari Kepolisian masih belum bisa diterima Kejaksaan dengan alasan bahwa para ahli masih berbeda pendapat penyebab terjadinya semburan lumpur PT Lapindo apakah disebabkan karena faktor kecerobohan manusia atau karena faktor alam akibat terjadinya gempa di Yogyakarta yang getarannya terasa di Jawa Timur. Kejaksaan Agung melalui pernyataan Hendarman Supandji pada waktu itu mengatakan bahwa berdasarkan pada asas hukum yang mengatakan selama keterangan para ahli masih berbeda pendapat maka diambil sikap yang menguntungkan bagi terdakwa. Atas dasar itu, Kejaksaan belum b isa memp oses berkas perkara ke Pengadilan. r

Apa yang dikatakankan Kejagung sulit untuk diterima oleh logika hukum karena dalam banyak pengalaman menangani kasus sudah biasa terjadi perbedaan pandangan para saksi ahli. Untuk menilai keterangan saksi ahli bisa dilakukan verifikasi berdasarkan metode keilmuan yang bisa dipertangungjawabkan baik di luar pengadilan maupun di dalam pengadilan. Kalau logika semacam itu dijadikan dasar untuk mengajukan suatu kasus ke pengadilan maka bisa dipastikan akan menghambat jalannya penegakan hukum. Dalam hal ini, Kejagung tampaknya mengalami ketakutan untuk membawa kasus PT Lapindo ke Pengadilan.

Berdasarkan bukti‐bukti ilmiah para ahli berpendapat bahwa semburan lumpur PT Lapindo bukan karena faktor alam, seperti Gempa Bumi tetapi kecerobohan manusia. Hal ini dikatakan oleh para Peneliti dari ITB, ITS dan University of Durham, Inggris menyatakan bahwa semburan lumpur panas PT Lapindo adalah karena kesalahan manusia. Richard J Davies, pakar geologi Department of Earth Science, University of Durham, Inggris mengatakan bahwa semburan lumpur panas PT Lapindo bukan karena peristiwa alam tetapi akibat kesalahan manusia dalam melakukan pengeboran migas. Menurut Richard J Davies semburan lumpur panas PT Lapindo tidak terkait dengan akibat gempa Yogyakarta, 27 Mei 2006. Geteran gempa Yogya yang sampai ke Sidoarjo amat kecil, yang kekuatannya seperti air gelombang atau air beriak akibat dilempar kerikil.

Upaya hukum lain melalui jalur negosiasi sampai sekarang belum ada kejelasan penyelesainya. Peran Pemerintah untuk turut menyelesaikan baru sebatas langkah normatif, yakni dengan cara membuat Kepres No. 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Sembuaran Lumpur Sidoarjo dan Perpres No. 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lupur Lapindo. Menurut Pasal 15 ayat (2) Perpres No. 14 Tahun 2007 pembayaran ganti rugi dilakukan dengan dua cara 20 persen uang muka dari total ganti rugi, sisanya dibayar paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah dua tahun habis. Ketika masa kontrak rumah habis PT Lapindo belum mampu melunasi sisanya sebesar 80 persen. Karena belum ada kejelasan penyelesaiannya masyarakat protes dan demonstrasi. Sekalipun Presiden berjanji akan merespon tuntutan masyarakat tetapi sampai sekarang belum ada kejelasan penyelesaiannya. Ketidakjelasan penyelesaian lumpur PT Lapindo mengundang anggapan bahwa persoalan lumpur PT Lapindo akan selalu mengambang karena mengadung muatan politik.

Di Jawa Tengah pengadilan kasus lingkungan seperti yang terjadi di PN Karanganyar dalam kasus pencemaran persawahan dan sejumlah aliran sungai di Jaten dan Kebak Kramat Karanganyar diadukan masyarakat ke kepolisian dan kejaksaan. Setelah memakan waktu lebih dari 2 tahun (2003‐2005), mulai awal tahun 2005 disidangkan di PN Karangnyar dan pada tanggal 24 Mei 2005 PN Karanganyar telah menjatuhkan vonis dengan hukuman yang amat ringan dibandingkan dengan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 45 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengeloaan Lingkungan Hidup. PN Karanganyar hanya menjatuhkan putusan untuk 5 terdakwa rata‐rata antara 4‐6 bulan penjara dan denda antara Rp. 20‐75 juta.

Pada waktu proses hukum di pengadilan pemerintah pernah meminta masyarakat untuk mencabut gugatannya. Pernyataan tersebut dianggap oleh aktivis lingkungan dan masyarakat sebagai bentuk intervensi politik terhadap bekerjanya hukum. Sejumlah aktivis organisasi lingkungan memprotes dan melakukan demonstrasi di pengadilan untuk memberikan dukungan kepada lembaga pengadilan dalam menangani penyelesaian sengketa lingkungan supaya tidak terpengaruh pernyataan dari elite kekuasaan. Mereka mendesak kepada petinggi kekuasaan untuk tidak mencampuri bekerjanya lembaga pengadilan dan meminta kepada lembaga pengadilan untuk bersikap independen dan dalam menggunakan instrumen hukum yang ada mengacu pada spirit yang didasarkan nilai‐nilai keadilan .

Kasus lain di Jawa Tengah adalah kontraversi pembangunan PT Semen Gresik di Sukolilo, Pati menunjukan indikasi bahwa perencana pembangunan lebih menekankan pada pertimbangan ekonomi dan politik dan kurang memperhatikan aspek lingkungan. Pro dan kontra pendirian PT Semen Gresik tidak hanya di kalangan masyarakat tetapi juga para Kasus lain di Jawa Tengah adalah kontraversi pembangunan PT Semen Gresik di Sukolilo, Pati menunjukan indikasi bahwa perencana pembangunan lebih menekankan pada pertimbangan ekonomi dan politik dan kurang memperhatikan aspek lingkungan. Pro dan kontra pendirian PT Semen Gresik tidak hanya di kalangan masyarakat tetapi juga para

Dikalangan akademisi juga berbeda pendapat dalam masalah Amdal yang digunakan untuk menganalisis dampak lingkungan pendirian pabrik PT Semen Gresik di Sukolilo, Pati yang sudah disyahkan Gubernur Jawa Tengah. Akedemisi Undip sebagai pembuat Amdal berpendapat metode pembuaan Amdal sudah benar dan sesuai dengan kondisi lapangan, sementara akademisi lain berpendapat bahwa Amdal yang dibuat tim Undip bermasalah dan dianggap tidak memenuhi kaidah dasar sebuah Amdal, memiliki banyak cacat dan kontraversial. Karena itu, Amdal yang telah disyahkan Gubernur perlu direvisi agar dikemudian hari tidak menimbulkan masalah terhadap lingkungan. Karena persoalannya menyangkut kepentingan masyarakat, PT Semen Gresik dan Pemerintah maka akan lebih baik apabila pemerintah tidak memaksakan diri dengan alasan pertimbangan ekonomi, seperti lapangan kerja dan pertumbuhan eko nomi .

Berdasarkan analis studi terhadap berbagai kasus tersebut di atas menunjukan bahwa pengaruh politik dan kepentingan ekonomi menyebabkan bekerjanya hukum yang dijalankan aparat penegak hukum dalam mengatasi masalah lingkungan tidak berjalan independen dan mandiri. Hal ini menjadi penghambat lembaga hukum dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum. Menurut Stephen Trudgill, faktor penghambat dalam mengatasi masalah lingkungan adalah faktor politik, disamping faktor sosial, ekonomi,

teknologi, pengetahuan, dan kesepakatan 2 . Dalam banyak kasus sering kali terjadi penekanan yang berlebihan faktor politik dan ekonomi, sehingga kebenaran pengetahuan ilmiah terpaksa dikorbankaan. Akibatnya, sudah jelas kepentingan lingkungan dikalahkan

oleh kepentingan politik dan ekonomi yang nota bane hasil kreasi manusia sepenuhnya 3 . Stanlay Diamond 4 mengatakan bahwa terperuknya penegakan hukum di berbagai negara berkembang, termasuk di Indonesia sangat berkaitan dengan kultur dan kondisi politik suatu masyarakat. Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa produk hukum dan penegakannya amat dipengaruhi kepentingan politik.

Roberto M. Unger 5 mengatakan bahwa pemahaman hukum dan bekerjanya hukum tidak bisa bebas dari konteknya. Hukum bekerja tidak di ruang hampa tetapi bekerja dalam realitas yang tidak netral dari pengaruh lain, dan nilai yang ada di belakangnya adalah subjektif. Hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah, melainkan dikontruksi secara sosial. Karena itu, penggunakan hukum yang hanya bersifat formal akan gagal untuk mengatasi problem kemasyarakataan. Dia mencoba mengetengahkan visinya mengenai tatanan masyarakat dan tatanan hukum masa mendatang melalui gerakan aktivitas transpormatif yang dilakukan atas dasar hak‐hak individu yang dilindungi hukum dan menyadarkan birokrasi kekuasan dan aparat penegak hukum untuk bekerja dengan penuh tanggun g jawab.

Dari sisi penegakan hukum lingkungan yang dilakukan lembaga formal, seperti pengadilan dan pemerintah selama ini belum bergesar dari pendekatan positivis dan formal. Aparat penegak hukum dalam merespon dan menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan menunjukan sikap yang formalis, deterministik, dan memberi peluang terjadinya perilaku eksploitatif di kalangan pelaku usaha (investor). Instrumen hukum yang dipakai hanya berorientasi prosedur dan tidak dapat diandalkan sebagai pilar utama untuk mengatasi Dari sisi penegakan hukum lingkungan yang dilakukan lembaga formal, seperti pengadilan dan pemerintah selama ini belum bergesar dari pendekatan positivis dan formal. Aparat penegak hukum dalam merespon dan menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan menunjukan sikap yang formalis, deterministik, dan memberi peluang terjadinya perilaku eksploitatif di kalangan pelaku usaha (investor). Instrumen hukum yang dipakai hanya berorientasi prosedur dan tidak dapat diandalkan sebagai pilar utama untuk mengatasi

Secara normatif UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup diperbarui dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mencantumkan ketentuan ganti rugi yang begitu besar dan sanksi hukuman yang begitu berat, namun ketentuan tersebut ternyata dalam praktek belum menjamin para pencemar dan perusak lingkungan dapat dijerat dengan hukuman yang setimpal. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa data persidangan penegakan lingkungan hidup yang dilakukan di pengadilan sebagaimana telah disebutkan di atas. Para pihak yang didakwa melakukan perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dapat lolos dari jeretan hukum atau memperoleh hukuman yang teramat ringan.

Bekerjanya hukum lingkungan di pengadilan yang dilakukan aparat penegak hukum hanya berorientasi pada ketentuan hukum formal. Hakim tidak melihat pada petimbangan hukum lain yang terdapat dalam asas‐asas hukum yang hidup di masyarakat atau asas hukum mempunyai kedudukan lebih tinggi, seperti prinsip pencegahan secara dini, prinsip kehati‐hatian (precautionary), prinsip pembelaan melalui “due diligence” dan prinsip pertangungjawaban ketat (strict liability). Di samping itu, hakim juga tidak melihat fakta hukum yang terungkap di persidangan sehingga keputusan hakim dalam menyelesaikan sengketa lingkungan dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan lingkungan.

Karena itu, pendekatan seperti itu kiranya perlu segera diakhiri, diganti dengan semangat pendekatan hukum progresif yang dimulai dari kesadaran yang tumbuh dari semua kalangan yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan untuk memahami bahwa persoalan lingkungan sudah mencapai tarap yang mengkhawatirkan. Karena itu, perlu ada terapi kejut yang segera digulirkan dalam berbagai upaya dan langkah dalam rangka memberikan dorongan yang lebih kuat lagi. Untuk mengatasinya perlu dilakukan gerakan penyadaran secara progresif dengan melibatkan pertisipasi masyarakat, aparat penegak hukum, dan pemerintah akan tugas dan tangung jawabnya dalam menyelesaikan dan memecahkan masalah‐masalah lingkungan.